opiniPUASA Ramadhan itu merupakan kewajiban atas tiap-tiap muslim yang telah baligh, mukallaf, berakal sehat, dan kuat berpuasa dengan ketentuan (syarat) telah mengetahui masuk buan Ramadhan.

Oleh: Ahmad Agus Fitriawan, M.Pd.I
Guru MTs. Yamanka & SMK Avicenna Mandiri
Kec. Rancabungur Kab. Bogor

Perihal mengetahui ma­suk bulan Ramadhan ini sesungguhnya ada beberapa cara: (1) den­gan melihat (ru’yat) bulan bagi yang melihatnya send­iri atau percaya kepada orang lain yang melihatnya, (2) dengan melihat (ru’yat) bulan yang diper­saksikan oleh seseorang uang adil di muka hakim, (3) dengan cara mencukupkan atau menggenap­kan tiga puluh hari bulan Sya’ban bila telah melihat tanggal satu­nya, (4) dengan menerima berita dari orang banyak yang menurut perkiraan tidak akan bersepakat berbuat dusta, dan (5) dengan cara ilmu hisab atau berita yang diterima oleh ahli hisab.

Jika demikian, melihat (ru’yat) bulan dan ilmu hisab dapat dijadikan ketetapan un­tuk memulai puasa Ramadhan, karena kedua hal ini benar-benar sesuai dengan sabda Nabis SAW: “Dari Inbu Umar dari Rasulullah SAW bersadba: Apabila kamu me­lihat bulan Ramadhan maka hen­daklah kamu berpuasa, dan apa­bila kamu melihat bulan Syawal maka hendaklah kamu berbuka. Jika tertutup antara kamu dan tempat terbit bulan maka henda­klah kira-kirakan bulan itu”. (HR. Bukhori-Muslim)

Menurut beberapa ulama bahwa yang dimaksud dengan ka­ta-kata “faqduru” adalah dihitung menurut hitungan secara ilmu hisab (falak). Sehingga ada seba­hagian ulama muta’akhirin yang menyatakan bahwa awal Ramad­han dan Syawal dapat ditetapkan dengan hitungan ilmu hisab seb­agaimana ditetapkannya waktu shalat fardhu lima waktu, sebab kalau menetapkan waktu untuk semua ibadah dengan melihat (ru’yat) maka akan menimbulkan kesulitan (masyaqat). Misal mau melakukan shalat maghrib hen­daklah melihat matahari sudah terbenam di ufuq barat, bila mau shalat dzuhur maka harus meli­hat matahari telah tergelincir se­dikit ke sebelah barat, demikian juga mau shalat shubuh harus melihat fajar shodiq di sebelah timur.

Namun pendapat ini disang­kal oleh Jumhur Fuqaha Salaf dengan mengemukakan, bahwa ilmu falak atau ilmu bintang tidak diyakini secara pasti, karena kita ketahui bahwa awan, udara dan hawa senantiasa bergerak (berja­lan), sehingga dapat mengakibat­kan adanyan perubahan, bahkan sesekali suka meleset.

BACA JUGA :  REFLEKSI HARI PENDIDIKAN NASIONAL: REPRESI SISTEM PENDIDKAN DALAM BENTUK KOMERSIALISASI

Disamping itu, menurut Jum­hur Fuqaha bahwa pendapat yang boleh memulai puasa bulan Ramadhan dengan hitungan ilmu falak atau ilmu bintang sebena­rnya mengabaikan keumuman hadits Nabi SAW: “Berpuasalah kamu sewaktu melihatnya (bu­lan Ramadhan) dan berbukalah kamu sewaktu kamu melihatnya (bulan Ramadhan), maka jika ada yang menghalangi antara kamu dan terbit bulan maka hendak­lah kamu menyukupkan (meny­empurnakan) bulan Sya’ban 30 hari” (HR. Bukhori).

Selanjutnya Jumhur Fiqaha menyatakan bahwa perhitungan ilmu falak atau ilu bintang tidak boleh dijadikan ketetapan untuk memulai puasa Ramadhan, sebab ilmu tersebut hanya merupakan perkiraan dan praduga, sehingga belum dapat diyakini kebenara­nnya guna diamalkannya. Oleh karena itu, untuk memulai puasa Ramadhan hendaklah berpegang kepada hasil “Ru’yat”.

Memang benar, bahwa hasil ru’yat itu dapat dijadikan ketetapan untuk memulai puasa Ramadhan atau mengakhirinya, dan setida­knya hasil ru’yat itu wajib diamal­kan oleh orang yang meru’yatnya, yaitu berpuasa meskipun orang lain berbuka (tidak berpuasa) atau sebaliknya orang lain masih ber­puasa dia berbuka.

Para madzhab sepakat bah­wa melihat (ru’yat) bulan dapat ditetapkan buat mengawali puasa Ramadhan, sedang hasil ru’yat masih diperselisihkan oleh mereka, karena ru’yat itu benar-benar sesuai dengan kehendak Rasulullah SAW.

Tetapi ru’yat itu sendiri se­benarnya menurut Madzhab Syafi’i harus disaksikan oleh seorang laki-laki beragama Is­lam yang berakal dan adil, dan tidak dibedakan antara langit mendung atau cerah. Sedangkan menurut Madzhab Maliki harus disaksikan oleh dua orang laki-laki yang adil, adapun Madzhab Hambali harus disaksikan oleh seorang laki-laki atau perempuan yang adil buat memulai puasa Ramadhan dan dua orang yang adil untuk mengakirnya. Namun Madzhab Hanafi antara memu­lai puasa Ramadhan dan Syawal, yaitu cukup disaksikan seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk Ramadhan, dan untuk Sy­awal harus disaksikan dua orang laki-laki dan dua orang perem­puan, yang semuanya beragama Islam, berakal dan adil.

Selain itu, ru’yat yang dilaku­kan oleh seseorang di suatu dae­rah dapat berlaku untuk seluruh daerah sekalipun letaknya berjau­han dan berbeda tempat terbit­nya, demikian menurt Madzhab Hanafi, Maliki dan Hambali. Se­dangkan menuut Madzhab Syafi’i kedua daerah/lebih dekat tepat terbitnya, bila berjauhan maka tiap daerah mempunyai keten­tuan tersendiri.

BACA JUGA :  BERGERAK BERSAMA, MELANJUTKAN MERDEKA BELAJAR

Dengan demikian ru’yat yang dapat dijadikan ketetapan adalah ru’yat yang memenuhi ketentu­an, kemudian hasil ru’yat terse­but disampaikan kepada pengua­sa, lalu penguasa memerintahkan berpuasa kepada seluruh isi neg­eri yang beragama Islam. Hal ini sejalan dengan apa yang disurat­kan dalam sebuah riwayat seperti di bawah ini: “Bahwasannya Ibnu Umar melihat bulan, maka diberi­tahukannya hal ini kepada Rasu­lullah SAW. Rasulullah SAW terus berpuasa dan menyuruh orang banyak agar berpuasa pula”. (HR. Abu Daud).

Sesungguhnya ru’yat dan his­ab dapat berjalan bersama-sama, bahkan sebenarnya hisab dapat lebih dapat lebih memudahkan ru’yat, karena sudah dapat dikira-kira letak bulan, dan mungkin ada bulan yang tidak dapat diru’yat karena terlalu dekat dengan ma­tahari yang hanya dapat diketa­hui oleh penghitungan ilmu falak (ilmu hisab). Oleh karena itu, his­ab pun sama pentingnya dengan ru’yat, sedang kita ketahui bahwa ru’yat itu hanya dapat dilakukan bila keadaan cerah, namun bila mendung harus mencukupkan tiga puluh hari bulan Sya’ban bila kita melihat bulan tanggal satu­nya, jika tidak melihat maka su­dah barang tentu ilmu hisab pun harus digunakannya.

Sekarang ini ilmu hisab amat penting, sebab guna menghitung kedudukan bulan berapa derajat di atas ufuk atau di bawah? Juga berapa derajat di lintang utara atau selatan? Nah, jika telah dik­etahui kedudukan bulan maka akan diketahui pula hilalnya, se­hingga lebih memudahkan ru’yat buat menetapkan awal puasa Ra­madhan.

Karena itu ilmu hidab yang dapat digunakan buat menetap­kan awal puasa Ramadhan sama halnya ru’yat, terutama bila mendung, tidak melihat bulan tanggal satu bulan Sya’ban, dan bila kedudukan bulan dekat ma­tahari yang tidak dapat dilihat­nya. Sekalipun hasil hisab dapat dijadikann ketetapan untuk men­gawali puasa bulan Ramadhan, tetapi harus dikemudiankan ses­udah ru’yat, maksudnya ru’yat dulu, lalu mencukupkan tiga pu­luh hari bulan Sya’ban bila me­lihat bulan tanggal satunya, ke­mudian hisab setelah tidak dapat ru’yat dan tidak dapat melihat bulan tangga satu bulan Sya’ban.

Namun yang lebih baik lagi hasil hisab dibuktikan dengan ru’yat, sehingga benar-benar ya­kin. Wallahu’alam (*)

 

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================