LANGKAH Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengimpor 2000 ton ikan tuna, menuai kritik anggota dewan. Rapat kerja dengan Komisi IV DPR RI ini pun, berlangsung hangat.
Oleh : Alfian Mujani
[email protected]
Agenda rapat dengan Susi sebetulnya memÂbahas perubahan anggaran di APBN-P 2016. Namun seorang anggota Komisi IV, Sudin, sekonyong-konyong mengkritik kebijakan Susi yang dinilainya membuka keran impor ikan cuÂkup besar seperti cakalang. Di sisi lain, KKP mencatat produksi ikan tengah melimpah.
“Ada impor ikan, sementara laporan KKP katanya hasil kelautan meningkat, impornya cukup banyak yang sampai 2.000 ton,†kata Sudin dalam rapat di DPR, Jakarta, Rabu (8/6/2016).
Ikan yang diimpor yang dimakÂsud Sudin yakni impor ikan cakalang yang saat ini masuk ke Pelabuhan Muara Baru, Jakarta Utara. “Ikan 2.000 ton bukan impor ikan spesifik. Kalau mau impor ikan salmon malah dipersulit, tapi impor cakalang gamÂpang,†tambahnya.
Sudin menuturkan, jika alasanÂnya untuk memenuhi kebutuhan baÂhan baku industri pengolahan dalam negeri, hal tersebut dianggap tak relÂevan karena produksi ikan cakalang berlimpah. “Kalau buat bahan baku masih bisa, kecuali pada musim terÂtentu,†jelasnya.
Anggota Komisi IV lainnya, HerÂman Khoirun juga mengajukan keÂberatan yang sama atas kebijakan imÂpor tersebut. “Impor cakalang yang dibuka luas apakah ini dampak dari Permen yang terbit?†tanya Herman kepada Susi yang didampingi seluÂruh pejabat eselon I KKP.
Menanggapi kritikan tersebut, Susi menjelaskan, bahwa impor ikan malah mengalami penurunan. Malahan, data impor selama dirinya menjabat sampai hari ini jauh lebih terbuka dibanding tahun-tahun lalu.
“Policy impor dari dulu samÂpai sekarang sama. Sebetulnya dari data, impor ikan kita turun, hanya jenis ikan tertentu, saya akui juga ada kesulitan impor salmon dari pengusa restoran, saya sudah minta itu diperbaiki,†jelas Susi.
Dia mengungkapkan, kalau pun ada jenis ikan cakalang yang perlu diimpor, itu dilakukan karena sistem logistik belum berjalan dengan baik. “Kalau sistem logistiknya sudah baÂgus bisa turun.
Ada industri yang selalu andalÂkan impor dari dulu, tapi itu hanya 2,1% dari jumlah ikan yang kita punÂyai. Nggak ada diperluas impor, yang ada sekarang kita lebih terbukai inÂformasinya. Yang 2.000 ton (impor) akan kita cek darimana asalnya,†ujar Susi.
Jadi Lokasi ‘Pencucian’
Susi mencurigai ikan impor yang masuk hanya untuk menjadikan InÂdonesia sebagai tempat ‘pencucian’ atau transit saja. Hal lantaran negara-negara tetangga kesulitan mengekÂspor produk ikan mereka ke negara-negara Eropa.
“Dari negara luar dapat yellow card, sehingga nggak boleh jualan ke negara Eropa. Jangan sampai jadi tempat pencucian saja, semua yang masuk akan kita awasi,†kata Susi.
Dirinya, sambungnya, belum mengetahui asal muasal ikan cakaÂlang impor tersebut. KKP pun akan melakukan pemeriksaan asal negaÂra eksportir. “Pengusaha dan negaÂra asal akan di-trace, yang penting jangan sampai ganggu sehingga neÂlayan susah. Vietnam dan Thailand sudah dapat yellow card, sehingga tak bisa jual ke Eropa,†jelas Susi.
Pada kesempatan tersebut, dia membantah kalau izin impor atas ikan impor diperlebar. Malahan yang terjadi ada tren penurunan impor ikan, informasi impor saat ini juga jauh lebih transparan.
Policy impor dari dulu sampai sekarang sama. Sebetulnya dari data, impor ikan kita turun, hanya jenis ikan tertentu, saya akui juga ada keÂsulitan impor salmon dari pengusa restoran, saya sudah minta itu diperÂbaiki,†jelas Susi.
Dari catatan Izin Pemasukan Hasil Perikanan (IPHP) KKP sampai dengan April 2016, ikan yang diimÂpor terbanyak yakni jenis makarel dengan volume 23.652 ton, sarden 19.823 ton, kemudian ikan tuna, cakalang, dan tongkol 18.210 ton, kepiting rajungan 4.460 ton, kerang 3.757 ton, dan salmon 2.900 ton
Gunakan Pesawat
Dalam rapat kerja dengan KomiÂsi IV DPR, Susi mengatakan ingin mengurangi penggunaan kapal laut dalam pengawasan di wilayah laut. Susi ingin pengawasan wilayah laut lebih banyak dengan menggunakan pesawat.
Alasannya, penggunaan pesawat mampu menghemat dari sisi angÂgaran maupun waktu dibandingkan memakai kapal laut. “Itu akan menÂgurangi 90% cost operasional kapal patroli kita dan itu penghematan yang hampir Rp 700 miliar per taÂhunnya,†kata Susi.
“Kecepatan pesawat 300 km/jam sementara kalo kapal 25 km/jam, kaÂpal 1 hari Rp 50 juta- Rp 200 juta terÂgantung ukurannya. Kalau pesawat hanya Rp 50 juta saja tidak sampai 5 jam sudah mencapai 1500 km,†lanÂjut Susi.
Ia menambahkan nantinya untuk patroli akan digunakan kapal yang berukuran besar dengan kemamÂpuan yang lebih baik dibantu dengan pesawat udara jenis propeller twin engine.
“Jadi kita menambah kapal patrÂoli yang besar-besar saja dengan keÂmampuan yang lebih cepat. Dibantu dengan pesawat udara dan itu juga pesawat udaranya pesawat udara propeller twin engine, jadi sangat murah,†katanya.
Selain itu, Susi akan mengganÂdeng TNI untuk mewujudkan renÂcana penggunaan pesawat untuk pengawasan wilayah laut.
“Saya mengerti kesulitan banÂyak untuk pengadaan pilot dan sebÂagainya. Tapi demi uang yang begitu besar, saya bekerja sama dengan AL, juga AD untuk nanti membantu KKP dalam melaksanakan operasi ini,†tuÂtur Susi. (dtc|net)
Bagi Halaman