SEPERTI ritual wajib tahunan, berbagai harga bahan kebutuhan pokok melonjak naik setiap awal Ramadhan. Kenaikan ini akan terus berÂlangsung hingga menjelang perayaan Idul Fitri.
Drama pasar tahunan ini sungguh sangat menyedihkan. Bawang merah yang konon melimpah meroket hingga Rp 40.000 perkilo. Apalagi daging sapi yang produksinya meÂmang dinyatakan belum bisa memenuhi perÂmintaan pasar dalam negeri, nyaris tak bisa diturunkan dari kisaran harga Rp 120.000-Rp 130.000 perkilo.
Ritual kenaikan harga aneka barang kebuÂtuhan pokok setiap puasa ini, mengesankan bahwa negara tak pernah hadir untuk meÂmikirkan mayoritas penduduk muslim yang sedang menjalankan ibadah puasa. Begitu juga para pedagang dan para spekulan, mereÂka seperti mempraktikan ajimumpung, mumÂpung permintaan melonjak, maka mereka berlomba mengeruk untung sebanyak-banÂyaknya. Itulah hukum pasar kapitalisme. Dan, negara tunduk dan patuh terhadap hukum pasar yang jauh dari nilai-nilai gotongroyong.
Lonjakan harga setiap bulan puasa dan menjelang Ramadhan ini juga menjadi bukti bahwa pemerintah memang tidak memiliki jurus yang jitu untuk mengatasi masalah ini. Atau bisa juga memang dibiarkan seperti itu. Jika saja pemerintah memikirkan masalah ini secara serius, mestinya lonjakan harha pada bulan Ramadhan tidak perlu terjadi. Toh dari tahun ke tahun masalahnya tak ada yang baru. Kebutuhan meningkat pada saat puasa, ini suÂdah terjadi lama.
Karena kita sudah sama-sama tahun, mesÂtinya pemerintah melalui Bulog dan kemenÂterian terkait, sudah menyiapkan segalanya agar pada saat mayoritas penduduk negeri ini membutuhkan pangan, tidak terjadi lonjakan harga. Pemerintah mestinya bisa menjamin stabilitas harga karena tren peningkatan kebuÂtuhan pangan ini sudah bisa dibaca jauh-jauh hari sebelumnya.
Namun sejauh ini, upaya konkret yang dilakukan pemerintah hanyalah operasi pasÂar, yaitu menggelontor komoditas tertentu langsung ke pasar. Dalam praktinya, operasi pasar justru menjadi ladang penyimpangan baru. Ada praktik-praktik permainan antara para pihak yang teribat dalam operasi pasar ini dengan para tengkulak dan para spekulan. Unjung-ujungnya harga yang sampai ke tanÂgan konsumen tetap mahal.
Sebagai contoh, belum lama ini pemerinÂtah melalui sejumlah BUMN melakukan opÂerasi basar gula pasir. Mereka menjual gula pasir dengan harga Rp 12.000 perkilo. Namun dalam praktiknya gula murah itu justru jatuh ke tangan tengkulak dan pedagang besar. Harga yang sampai ke tingkat konsumen tetap berada di kisaran Rp 16.000 perkilo. Praktik-praktik seperti ini harusnya tak perlu lagi.
Begitu juga dengan harga daging. PemerÂintah seharunya bisa segera menghadirkan daging sapi yang bisa dibanderol Rp 80.000 perkilo. Bahkan sebetulnya pemerintah bisa menjual daging sapi Rp 60.000 perkilogram. Toh semua orang tahu bahwa harga beli dagÂing sapi dari Australia hanya dikisaran Rp 30.000-Rp 35.000 perkilo. Bahwa sampai di sini harganya tetap selangit, karena pemerinÂtah terlampau baik berbagi keuntungan dengan para pemburu rente. (*)
Bagi Halaman