ANAK-ANAK remaja dan manusia yang dewasa tidak berperilaku jahat karena adanya jaminan hukum atas perilakunya maka itulah bentuk gagalnya transfer nilai moral pada anak remaja dan dewasa. Harusnya manusia itu tidak ada hukuman juga berperilaku baik. Itulah wujud kebersihan penerapan nilai moral. Dengan fakta itu maka manusia pada dasarnya lebih banyak yang tidak moral. Dari dulu hingga kini manusia tercatat menjadi manusia yang tidak bermoral dan cenderung ingin melawan aturan moral. Dari jaman nabi Adam hingga kini masih seperti ini aja kita ini.

Oleh: BAHAGIA, SP., MSC. SEDANG S3 IPB
Dosen Tetap Prodi Pendidikan Agama Islam UIKA Bogor Dan Ketua Bidang
Literasi Ikatan Guru Indonesia Kota Bogor (IGI Kota Bogor

Nabi Adam jatuh ke bumi setelah makan buah terlarang yang dilarang Oleh Tu­han. Dalam artian ia tetap kurang bernoral. Terwar­iskan pula perilaku itu hingga kini. Harusnya hukum itu hanya pelengkap untuk menggerakan agar manusia itu bermoral bukan substansi utama yang membuat manusia berperilaku moral. Un­tuk itu kegagalan utama penera­pan moral terletak kepada kedua orang tua sia anak itu. Kita harus sepakat bahwa orang tua tadilah akan membawanya menjadi apa dan bagaimana untuk menjadi manusia yang baik. Lagi-lagi tu­juan menikah harus hal pertama harus diperhatikan. Jika ia hamil duluan barulah menikah maka bukan komitmen untuk mem­bangun keluarga.

Menikah setelah kejadian itu lebih kepada pemuasan nafsu sahwat yang kemudian meng­hasilkan anak. Tentu anak suci yang dihasilkan diluar dari ke­absahan menikah. Aturan meni­kah yang benar baik agama dan undang-undang yaitu seseorang yang masih suci. Semakin ban­yak yang melakukan ini maka semakin banyak manusia yang gagal moral. Saat itu pula akan gagal membentuk manusia yang bermoral darinya sebab awalnya saja sudah melawan aturan mor­al. Kita bisa bayangkan betapa tidak baiknya orang tua itu kini. Jika banyak dari mereka mempu­nyai anak namun anak itu hasil hubungan gelab. Anaknya dititip­kan atau bahkan menjadi korban pembunuhan. Makin banyak yang melakukan ini maka makin banyak perilaku tidak bermoral.

Lagi-lagi orang tua yang salah. Mengapa anak-anaknya menjadi demikian. Setelah tujuan meni­kah itu untuk apa dan diketahui maka jelas pasangan yang mau menikah sudah menunjukkan nilai moral yang baik. Mereka sudah bekerja sama agar mem­bangun rumah tangga meskipun goncangan kehidupan yang be­rat. Disini nampak lagi komitmen kedua-duanya untuk memban­gun rumah tangga dengan baik. Mandiri dan giat untuk bekerja demi pemenuhan kebutuuan hidup. Jika komitmen, konsis­tensi, dan kerjasama belum ter­bangun dengan baik maka saat ia punya anakpun akan sulit untuk menerapkan nilai konsistensi, nilai-nilai kerjasama, dan nilai berjuang untuk hidup.

Tentu betapa pentingnya penetapan perilaku itu untuk membangun rumah tangga. Setelah mereka menikah dan bayi sudah dikandung olehnya maka mulailah ajarkan moral semen­jak dalam kandungan. Kita tahu anak kita dalam kandungan akan merasakan apa yang kita lakukan. Bagaimana perasaan kita. Meski satu sisi sulit untuk diteliti na­mun kita tahu jika ia butuh ajaran moral sehingga ia mendengarkan saat ia dalam kandunganya. Mu­lailah kita menunjukkannya hal-hal yang baik. Mengajarkan kisah-kisah agama termasuk kisah-kisah nabi agar ia terbiasa mendengar hal yang baik. Terbiasalah kita mengelus-elus dirinya saat ia dalam kandungan.

Terasalah baginya kasih say­ang dari orang tuanya. Ia mera­sakan dari sentuhan tangan sang ayah dan sang Ibu untuknya. Terbiasalah kita memperlakukan istri itu dengan baik. Terbiasalah kita memberikan ibunya vitamin agar si anak juga mendapatkan gizi dan vitamin dari ibunya. Se­makin sering suami marah-marah untuk istrinya maka semakin bersarlah kemungkinan berubah psikologisnya. Nampak hal ini butuh konsistensi dan kerjsama sama. Dan bahkan butuh kesaba­ran. Jika langkah kedua ini bisa dilalui oleh orang tua dengan baik dalam pase ini maka langkah ini bisa ia lalui dengan baik.

Kita yakin anak kita akan ter­lahir normal, cakep, aktif dan pe­nyayang. Karena kita telah mel­atihnya saat dirinya masih dalam kandungan. Orang tua juga yang paling tahu keadaann anak itu saat anak itu tidak bermoral. Lakukan analisis apa yang anda lakukan saat ia sedang dalam kandungan. Terlupakan untuk melakukan hal sepele tadi maka kita harusnya menyesal dengan tindakan kita. Langkah awal un­tuk mendidiknya kita lupakan saat itu. Apalagi orang tua yang tidak pernah meraba kandungan istrinya. Sibuk kerja atau bahkan dianggap hal yang tidak wajar. It­ulah awal mula anak itu menjadi jauh dari orang tuanya.

Ia tidak merasa jika ada yang perhatian dengannya. Keyakinan sama, sejauh seperti ini nampak sulit untuk dibentuk. Kita boleh jadi memberikan nafkah ekono­mi kepada istri saat ia hamil na­mun kita lupa melakukan kasih sayang kepadanya. Hal itu akan berpengaruh terhadap si anak dalam kandungan. Artinya har­uslah waktu luang itu ada untuk rumah. Setelah ia lahir maka hal terberat kembali harus dilalui oleh orang tua dirumah. Ia akan mulai melihat dunia, menden­garkam, dan meniru tindakan apa yang kita lakukan. Semakin hari semakin mengerti bagaima­na menjadi orang tua yang baik.

Saat ia sudah terlahir maka hal dasar yang harus kita lakukan yaitu memberikan sentuhan aga­ma kepadanya. Jika ia Islam maka lakukan Adzan shalat. Hal ini un­tuk merangsang dirinya agar ia tahu bahwa itu suara ayahnya. Ayahnyalah yang adzan jangan yang lain. Suara ayahnya tadilah yang membuatnya kenal den­gan ayahnya. Itu suara ayahnya. Kemudian anak tadi dirangsang untuk dekat dengan ibunya. Dia­jarkan bagaimana berjuang un­tuk hidup. Dari rahim ia belum mandiri. Kini ia harus mandiri. Pemberian asilah untuk perkena­lan dengan ibunya didunia.

Ia tahu jika ibunya telah memberikannya asi yang baik. Saat ibunya menyusi maka disa­na banyak hal pelajaran. Perta­ma, ibu dan anak akan semakin dekat. Si anak akan mengenali jika yang memberi asi tadi ibu­nya. Bersamaan dengan pelukan ibunya dan memberikan susu ke­pada anak tadi. Disanalah tercer­min ajaran kasih sayang kepada anak. Semakin sering ibunya me­nyusuinya kemudian dekat den­gannya maka perilaku kasih akan terbangun pada anak-anaknya. Disanalah pula mulai diajarkan berbagai hal terutama yang me­nyentuh panca indranya. Jika panca indranya sudah tersentuh oleh orang tuanya maka kita ya­kin semua panca indra akan ber­muara kedalam hati.

Darisanalah tumbuh perilaku kasih anak, meniru perilaku orang tuanya, melihat, dan ber­perangai seperti yang ia lihat. Ibunyalah yang pertama kali bisa mendidiknya dengan baik. Bay­angkan, jika orang tua tidak ada waktu untuk memberikan susu kepada anak-anaknya. Mengapa kita selau melupakannnya. Jangan sekali-kali anak mudah dititipkan kepada neneknya padahal ia ma­sih butuh kasih dan sayang orang tuanya. Ia masih butuh hangatnya pelakukan ibunya.

Disinipun kita sudah nampak gagal untuk itu. Orang tua mu­lai melakukan hal terbaik untuk anak-anaknya. Kedua, kedekatan ibu dengan anak akan menjalim komunikasi yang baik antara mereka. Apa yang diberi tahu oleh ibunya maka disana pula terjadi transfer nilai pendidikan. Ibunya yang sering menyapanya kemudian memberikan kalimat-kalimat moral, dongeng-dongen sebelum tidur yang mengandung nilai moral, perilaku lembut dan sentuhan yang lembut. Komuni­kasi itu secara langsung terjadi saat anak masih kecil.

Ayahnya juga lakukan hal yang sama, mengajaknya ber­canda, mengajaknya tertawa, berusaha untuk berbicara yang baik-baik karena anak akan men­dengar apa saja yang disampai­kan oleh orang tuanya. Jangan lupa merangsanganya dengan ayat-ayat Tuhan sebelum ia tidur, jangan lupakan dongeng sebe­lum tidur meski ia masih belum bisa bicara. Namun kita yakini anak itu bisa melihat, menden­gar dan sewaktu-waktu akan berperilaku seperti apa yang ia lihat. Ada korelasinya disini, jika kita yakini, kita melakukan maka anak tadi akan tumbuh menjadi anak yang baik.

Setelah ia mulai tumbuh menjadi anak yang bisa berbi­cara maka mulailah pelajarannya berbeda-beda. Jika ia sudah balik maka bedalah didikannya dibuat. Namun tetap sama yaitu tetap jaga panca indra. Jaga apa yang ia lihat, jaga apa yang kita tun­jukkan, jaga pendengarannya, dan jaga perangai kita. Usahakan anak-anak tidak melihat ibunya bertengkar. Usahakan jangan melarang hal-hal sepele baginya padahal sangat berarti. Misalkan, saat ia ingin menonton televisi. Namun kita sibuk dengan kertas-kertas kita dirumah dan urusan kantor. Padahal momen itulah yang telah kita lupakan.

Saat ia sudah tumbuh de­wasa, ia sudah mengerti maka mulailah pelajaran makin diting­gikan. Ada beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, un­tuk membangun keakraban so­sial diantara ayah dan ibu serta anak maka mulailah dari makan bersama pagi dan malam hari. Siang hari nampak sulit karena biasanya salah satu dari orang tua bekerja. Namun tetap bisa dilakukan oleh Ibunya dirumah. Makan bersama dimeja makan sangat bermakna. Berbagai nilai bisa dipetik dari meja makan itu. Disana berlalu nilai etika. Ajar­kan kepadanya bagaimana mem­beri makan orang tua. Caranya Ibunya memberikan sendokan nasi pertama untuk ayahnya.

Kemudian ibunya dan dirin­ya. Disana akan ada pertanyaan baginya mengapa demikian. Mungkin hari pertama belum nampak namun kalau sering di­lakukan maka anak tadi akan mengerti ternyata orang tua harus diharga dimeja makan. Termasuk dalam hal pengambi­lan nasi dan sayuran. Dari meja makan itu juga terjalin komuni­kasi karena makan dan minum dimeja makan pastinya saling tegur menergur. Disamping itu kebersamaan begitu nampak pada keluarga yang menerapkan makan bersama. Bahkan sangat mungkin cerita-cerita singkat tentang suatu hal bisa dibicara­kan saat makan bersama tadi.

Dari sana juga diajarkan bagaimana menghargai makan­an. Makanan tidak boleh ter­sisa. Makan harus pakai tangan kanan sehingga ia terbiasa den­gan aturan. Makan tidak boleh serakah karena makan serakah akan menjadi penyakit sehingga suatu saat ia tidak mau egois. Darisanalah pendidikan moral dimulai. Jika sudah punya anak dua maka sekaligus perilaku ber­bagi juga bisa ditanamkan pada anak-anak kedua-duanya. Nam­pak jelas diantara keluarga itu. Secara langsung dari meja makan juga anak-anak diajarkan berdoa sebelum dan sesudah makan. Bagaimana jika orang tuanya ti­dak pernah lakukan ini.

Ada baiknya juga lakukan lagi pada sore harinya/makan malam bersama. Makan malam bersama bisa dilakukan sekaligus men­gulang perilaku paginya namun kali ini bisa ditanyakan sedikit atau banyak tentang aktivitas si anak pada pagi harinya. Biasanya anak-anak terbuka sehingga kita tahu sedang dalam masalah atau tidak. Apakah ada perubahan psikologisnya, kita bisa tahu hal itu. Ketiga, dari rumah belajar disipilin. Orang tua bisa mener­apkan disipilin mulai dari rumah saat mau ibadah. Usahkan anak tepat wkatu ibadah, tepat waktu pulang, dan tempat waktu untuk tidur sehingga tepat waktu untuk berangkat sekolah.

Keempat, tumbuhkan sikap sabar. Sikap sabar dapat dipu­puk dari rumah. Banyak caranya, orang tua bisa menunda-nunda keinginan anak dalam waktu yang tidak lama. Berikan alasan yang logis kepada anak. Misal­kan, ia sedang beli sepatu maka orang tua tidak langsung saat itu membelikannya. Tujuannya agar anak bisa bersabar. Kelima, jan­gan deskiriminasi. Disini orang tua harus pandai. Jika anak su­dah dua atau lebih maka kasih sayang jangan sampai terpecah. Perhatikan keduanya dan per­lakukan kedua/ketiganya dengan baik. Keenam, uji kejujuran, kon­sistensi dan berkelanjutan. Uji kejujuran ini sangatlah mudah, diantara kita pasti ada saja caran­ya. Mungkin mengulang-ngulang ceritanya yang minggu yang lalu. Kita pura-pura bertanya ke­padanya.

Jika jawabannya tetap saja sama maka pastinya ia sedang jujur. Keenam, liburan bersama. Liburan bersama, pergi ke alam bebas. Cara ini untuk meng­ingatkannya akan fungsi eko­sistem alam. Jika sering dibawa ke alam maka ia akan mengerti fungsi alam. Jika merusaknya menyebabkan masalah iklim. Ketujuh, ajarakan pembagian peran. Pembagian peran disini penting untuk mengatasi koflik dalam rumah bersama dengan adik-adiknya. Jika ia seorang ka­kak. Misalkan, pembagian tugas bersih-bersih rumah. Saat anak diberikan tugas untuk membersi­hkan sesuai dengan tugasnya ke­mudian ia tidak menyelesaikan­nya maka belum amanah.

Kedelapan, ajarkan protectif. Protectif artinya bukan berarti tidak bergaul namun rasa curiga terhadap orang lain harus dilaku­kan. Jangan mudah percaya ter­hadap orang lain. Hal ini untuk menghindarinya masuk dalam pergaulan bebas. Kesembilan, selektif. Selektif, pilih-pilih ber­teman. Jangan gampang terbawa oleh perilaku teman yang terma­suk buruk. Terakhir, orang tua harus mengajari anaknya agama dengan baik sehingga ia tumbuh menjadi manusia yang sehat baik mental dan spritual. Orang tua yang sering mengajarkan anak agama akan mendapatkan pa­hala sedekah yang lebih banyak lagi. Apalagi anaknya menjadi manusia yang beperangai sopan dan santun. (*)

 

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================