gulaSWASEMBADA gula sampai kini belum bisa terwujudkan jika sampai kini bangsa kita masih mengandalkan impor bahan baku gula. Negeri mandiri gula pasti hanya sebatas wacana. Kita masih bergantung kepada negeri lain untuk mendapatkan bahan baku gula yaitu tebu. Padahal negeri kita negeri yang termasuk bisa swasembada gula. Volume impornya semakin bertambah setiap tahun. Menurut BPS tahun (2009) volume impor mecapai 1.660.200 ton/tahun meningkat tahun (2010) menjadi 2.021.576 ton/tahun. Volume impor meningkat lagi tahun (2011) menjadi 2.717.019 ton/tahun.

Oleh: BAHAGIA, SP., MSC. S3
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB,
Dosen Tetap Universitas Ibn Khaldun Bogor

Dibandingkan den­gan priduksi lokal baik perusahaan dan petani lokal maka volume im­por dan produksi lokal tidak jauh berbeda. Misalkan tahun (2009) produksi gula sekitar 2.290.116 ton/tahun, (2011) 2.267.887 ton/ tahun, (2012) 2.591.681 ton/ta­hun. Data diatas gambaran bah­wa kita masih kekurangan gula. Bahkan tahun 2011 volume impor lebih banyak dibandingan den­gan produksi lokal. Pada tahun yang lain juga hampir 60 persen kita masih impor. Lantas apa yang bisa kita hasilkan sendiri. Harusnya volume impor hanya untuk memenuhi kekurangan se­dikit saja.

Pemeirntah malah menjadi­kan keran impor sebagai gerbang utama. Saat ini harga gula dipsar mencapai 16 ribu/perkilogram. Harga gula belum pernah sam­pai 16 ribu selama empat tahun terakhir. Rata-rata harga gula selama empat tahun mulai dari 2010-2014 berkisar Rp. 11562,5 9 (BPS,2014). Ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Per­tama, gula naik karena pasokan gula yang memang kurang kare­na sentra produksi gula tidak banyak. Jika ada masalah pada sentra gula maka tidak akan ada pasokan dari daerah lain. Kedua, konsumen banyak membeli gula karena gula bisa disimpan dalam waktu yang lama.

Harga akan turun kembali setelah beberapa minggu jika itu yang benar. Ketiga, keran impor gula belum dibuka sehingga tidak ada cara lain menambah pasokan gula. Jika dilakukan belum tentu bisa karena waktu puasa dan leb­aran sudah hampir tiba. Kelima, pedagang dan perusahaan ber­main harga. Permainanya sangat mudah. Jika sentra produksi tebu dan gula menaikkan harga maka kacaulah pasar. Kendali harga ada ditangan perusahaan besar yang mengusahakan tebu. Produksi gula kini yang terban­yak yaitu di Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, dan lampung.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Produksi gula pada sentara tersebut pastinya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan akan gula yang meningkat setiap tahun. Satu sisi sentra produksi gula tidak bertambah luas. Meski tidak ada perimanan pasar bisa dipastikan kebutuhan akan gula akan kurang. Jika dibandingkan dengan produksi tebu lokal baik perusahaan dan rakyat maka sangatlah memprihatinkan. Jumlahnya tidak jauh berbeda dengan volmue impor. Nampak pengem­bangan kebun tebu tidak optimal pada negeri kita. Petani-petani banyak yang beralih pofesi bukan lagi menjadi petani tebu.

Dukungan pemerintah yang kurang untuk petani tebu. Pasar untuk tebu sangatlah sulit. Dika­langan masyarakat hanya digu­nakan sebagai minuman segar biasa yang dicampur es. Pedagang pengepul tebunya juga tidak jelas dan bahkan sangat jarang. Saat petani ingin mengembangkan tebu pada suatu daerah akan ber­pikir sekian kali. Alasannya karena pedagang yang beli tebu sangat jarang. Perusahaan besar yang mengusahakan kebun tebulah yang bisa membeli tebu para pet­ani. Petani tentu sangat sulit untuk memproduksi sekala luas dengan jaminan pasar yang tdiak jelas.

Ala hasilnya petani tebu gu­lung tikar dan tidak melirik tebu sebagai komoditas yang menjan­jikan. Kondisi ini sangat ironi. Produk tebu justru dikuasai oleh perusahan besar swasta dan negara. Mereka mengusahakan kebun tebu dengan luas. Terse­bar di Propinsi Jawa timur, jawa tengah dan pripinsi Lampung. Kawasan ini kawasan sentra tebu karena perusahaan besar baik swasta dan negeri ada disini. Se­cara langsung petani yang dibina oleh perusahaan inilah yang ma­sih eksis mengusahakan kebun tebu. Sisi yang lain kebun tebu harus dikembangkan agar meng­hidnari permainan dari pihak pe­rusahaan terkait dengan gula.

Mereka pasti tahu produksi tebu tidak ada, selain dari yang disebutkan. Tentu pasar gula lokal akan dikuasai oleh perusa­han bukan petani. Hal ini sangat memprihatinkan. Bisnis gula ini dibacan oleh pedagang. Mereka bersiap sudah lama untuk menai­kkan harga gula pada momen ter­tentu. Untuk membuat keseim­bangan pemerintah memutuskan untuk impor tebu. Ricuhpun ter­jadi, akhirnya terjadi persaingan gula lokal dan gula impor dipasar. Kondisi pasar akhirnya tidak se­hat lagi. Persaingan harga mem­buat pedagang yang beli gula dari perusahaan besar harus gigit jari. Kondisi ini akan menumbuhkan rasa dendam pedagang terhadap pemerintah.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Lagi-lagi pedagang sulit untuk mengambil barang dagangan sep­erti gula sehingga bukan hanya petani yang dirugikan tetapi juga pedagang. Pemerintah tidak me­nyadari dengan gerakan impor tebu justru mematikan salah satu komoditas tebu tanah air. Yang tertinggal hanya petani-petani tebu yang dibina oleh perusa­haan perkebunan. Buat apa pet­ani tebu kalau kita impor. Artinya bukan untuk memberdayakan petani. Mereka juga akan pergi meninggalkan profesi sebagai petani tebu. Padahal yang ha­rus kita lakukan bagaimana agar produksi tebu tetap pada tingkat lokal.

Untuk itu, ada beberapa solusi yang harus dilakukan. Pertama, pengelolaan zonasi ke­bun yang seimbang. Kita terlalu mengejar kebun sawit sebagai komoditas andalan perkebunan. Tebu dan komoditas lain kurang diperhatikan. Pemerintah juga terlalu kaku dalam membuat zo­nasi pertanian. Kawasan jawa di­pusatkan untuk tanaman pangan. Padahal pabrik gula banyak dipu­lau Jawa. Apa salahnya kebun itu diatur luasnya sehingga zonasi untuk pengembangan tebu terus ada. Ketiga, pengembangan tebu harus dihidupkan kembali pada kalangan petani.

Petani bebas binaan dari pe­rusahan. Jangan hanya kelompok tani binaan perusahaan saja yang ada. Menata luasan tebu memang sangat memprihatinkan jika dibandingkan dengan perkebu­nan sawit. Padahal minyak gore­ng dan gula sama-sama dibutuh­kan. Bahkan, masyarakat hampir setiap hari membutuhkan gula dan sama dengan minyak. Selain itu, memperbaiki kelembagaan petani. Harus dibentuk kelompok tani tebu yang jelas anggotanya. Jelas waktu produksinya. Perjelas juga pasarnya dan kapan waktu tanamnya. Bangun sistem sosial petani dan pedagang yang har­monis sehingga mencetak bisnis sosial yang saling untung. (*)

 

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================