Nia S. Amira
[email protected]
Kata apa pun yang ingin anda katakan, makanan pembuka yang hangat ini akan memberikan anda sensasi rasa bahan-bahan yang dicelupkan ke dalam kuahnÂya, terutama mereka yang memÂbuat makanan ini dari resep wariÂsan keluarga.
Soto (baca: sup Indonesia) konon berasal dari masakan Cina (selanjutnya dibaca: Tionghoa) yang disebut Caudo (Dennys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya). Caudo sangat popular di Semarang, saat di mana penÂduduk Cina yang datang, tinggal dan mengembangkan bisnis merÂeka di sebagian besar wilayah peÂsisir pulau Jawa.
Pertama-tama disebut sebÂagai Caudo lambat laun menÂjadi Coto, kemudian Tauto dan akhirnya Soto. Orang Makassar menyebutnya Coto, orang PeÂkalongan menamakannya Tauto, dan sebagian besar masyarakat Indonesia memberi nama Soto pada hidangan yang terdiri dari kuah yang ditambahkan dengan irisan daging atau ayam ini.
Makanan khas negeri tirai bambu yang dibawa para pedaÂgang asal Cina ke nusantara ini telah menjadi bagian dari makanÂan budaya masyarakat IndoneÂsia. Dengan bumbu-bumbu yang telah disesuaikan dengan lidah orang Indonesia, lahirlah Soto Semarang, Soto Kudus, Soto MadÂura, Soto Bangkong, Soto Betawi, Soto Bogor, dan sebagainya.
Menurut Dr. Lono SimatuÂpang, antropolog dari Universitas Gadjah Mada, Soto adalah camÂpuran dari berbagai macam tradiÂsi. Di dalamnya ada pengaruh loÂkal dan budaya lain. Mi atau soun pada Soto, misalnya, berasal dari tradisi Cina. Bangsa Cina yang memiliki teknologi pembuatan mi dan soun.
Pengaruh dari budaya India mungkin saja terdapat pada Soto bila dilihat dari bumbu-bumbu yang dipakai saat memasak kaldu Soto, seperti kunyit, langkuas. Karena merupakan campuran berbagai tradisi, asal usul Soto menjadi sulit ditelusuri. Soto ibarat musik dangdut yang mendapat pengaruh dari berbÂagai tradisi.
Bagaimana Soto bisa meÂnyebar ke berbagai daerah di Indonesia? Melihat dari sisi antropologi, makanan menyebar bersama dengan penyebaran maÂnusia. Makanan Penyebaran keÂmudian diterima di tempat yang baru. Selain itu, makanan juga menyebar karena ada proses inÂdustri. Penyebaran makanan diiÂkuti dengan upaya untuk melokaÂlisasi. Proses lokalisasi mungkin sama untuk melokalisasi agama yang telah dikembangkan di InÂdonesia. Proses lokalisasi memÂberi kesempatan untuk adanya berbagai macam Soto di negara ini. Keunikan rasa yang berasal dari daerah tempat berkembangÂnya Soto yang pada akhirnya menggunakan nama daerah tersebut akhirnya menjadi brand product daerah tersebut dan yang membawa orang untuk perÂgi ke suatu tempat tertentu demi memuaskan hasratnya mencicipi Soto khas dari daerah tertentu, misalnya saja Soto Bogor.
Meski mungkin Soto Bogor bisa dijumpai di Jakarta, namun nikmat menyantap Soto Bogor di kota aslinya berbeda karena rasa kelokalan yang sudah terÂbangun sejak awal, sehingga orang-orang Jakarta pun tetap akan mencari dan menikmati Soto Bogor hanya ke tempat sanÂtapan itu berasal.
Seperti halnya sejarah Soto di Jawa Tengah, awalnya dijual denÂgan cara dipikul, keluar masuk kampung oleh orang Tionghoa yang berkuncir ala Master Kung Fu. Soto masih menjadi primaÂdona makanan khas lokal hingga sekarang. Isi Soto identik dengan mie atau soun, daging ayam atau daging sapi, menggunakan perÂasan jeruk limau, bawang goreng, koya, dan tentu saja dengan meÂnambahkan nasi sebagai teman makan Soto.
Bagi Halaman