TERDENGAR agak aneh memang mendengar kaÂsus daging oplosan sapi dan babi kembali marak. Tak sepatutnya kekhusyukan umat muslim menÂjalankan ramadan dibuat rusuh oleh pelaku pasar yang sangat kriminil. Tak heran jika Komisi PengaÂwas Persaingan Usaha (KPPU) menjadikan daging sapi sebagai kasus baru yang masuk agenda persiÂdangan. Diselidiki sejak 2013, baru tahun ini KPPU membawa kasus itu ke meja hijau. Langkah serupa dilakukan Polri.
Memang bukan hal mudah membuktikan adÂanya kartel. Kartel–yang dimaknai sebagai kerja sama sejumlah perusahaan yang bersaing untuk mengoordinasi kegiatannya sehingga dapat menÂgendalikan jumlah produksi dan harga barang/jasa untuk memperoleh keuntungan di atas keuntungan wajar–secara klasik dilakukan lewat tiga hal, yaitu harga, produksi, dan wilayah pemasaran.
Kartel pangan tumbuh subuh di negeri ini buÂkan hanya karena kue ekonomi dan peluang keunÂtungannya amat besar, melainkan juga didorong kecenderungan perilaku pelaku ekonomi untuk menjadi pemburu rente (rent seeker), lemahnya penegakan aturan main dan pengawasan, serta buruknya aransemen kelembagaan dan kualitas kebijakan (ekonomi). Akibatnya, hampir pada seÂtiap jengkal aktivitas ekonomi pangan, baik yang pasarnya diatur maupun yang diserahkan kepada pasar, selalu muncul peluang kartel pangan, tak terÂkecuali daging. Ekonomi rente dalam impor daging memang menggiurkan.
Untung besar inilah yang membuat banyak pihak ngiler menekuni impor, baik daging beku maupun sapi bakalan. Karena itu, ketika pemerinÂtah (melalui Kementerian Pertanian dan KementÂerian Perdagangan) memangkas kuota impor, dari rata-rata 250 ribu sapi menjadi hanya 50 ribu sapi bakalan pada kuartal III 2015, muncul perlawaÂnan. Pemangkasan impor tidak hanya mengancam kelangsungan usaha para pengusaha penggemukan sapi (feedlot), tetapi juga memangkas drastis keunÂtungan mereka. Dugaan para feedloter menahan sapi siap potong atau menaikkan harga sapi hidup siap potong secara sepihak merupakan wujud perÂlawanan itu. Tujuannya agar kuota impor ditambah.
Kedua, salah merancang insentif. Untuk menyÂelesaikan masalah daging, selama bertahun-tahun konsentrasi pembenahan pada utak-atik kuota imÂpor. Memang ada upaya di hulu, seperti program inÂseminasi buatan dan melarang pemotongan betina produktif, tapi perkembangannya tidak signifikan. Sampai sekarang soal perlunya breeding modern berikut infrastruktur pendukungnya tidak tersenÂtuh. Basis produksi sapi masih bertumpu pada peÂternak kecil yang mengusahakan 2-4 sapi secara sambilan, bukan orientasi bisnis. Demikian pula mahalnya biaya distribusi dan logistik belum ada solusinya. Mengapa membawa sapi dari Australia jauh lebih murah daripada dari Kupang, NTT?
Insentif membuat orang lebih suka berdagang ketimbang bersusah-payah memproduksi. Rente ekonomi dalam sistem tata niaga daging sapi tidak memihak kepada peternak sapi, tapi kepada para makelar, broker, atau belantik. Mereka pengendali harga dan pengendali pasok yang mudah mendisÂtorsi pasar. Mereka selalu diguyur ‘stimulus’ dari kebijakan pemerintah yang lebih berpihak kepada impor. Tidak banyak insentif untuk berproduksi dan beternak lebih produktif. Negara telah kalah dan kita akan tetap jadi importir.
Ketiga, rezim perizinan yang tertutup. PenentuÂan jumlah kuota impor daging sapi tahunan dibahas di Kementerian Perekonomian dengan melibatkan kementerian teknis: Kementerian Pertanian, KeÂmenterian Perindustrian, dan Kementerian PerdaÂgangan. Untuk mendapatkan jatah kuota impor, perusahaan harus memenuhi enam kriteria: cold storage memenuhi syarat teknis, kinerja dan reÂalisasi impor sebelumnya, berpengalaman dalam impor, menyerap sapi/daging lokal, memiliki alat angkut khusus daging, dan industri pengolahan daging. Lubang muncul saat pembagian kuota imÂpor per perusahaan. Siapa penentunya? Ketiga keÂmenterian saling lempar. Sampai sekarang masalah ini tak terbuka.
Padahal, keterbukaan informasi dalam penÂgadaan barang/jasa merupakan amanat UU KeterÂbukaan Informasi Publik No 14 Tahun 2008. Impor daging bukanlah rahasia negara, seperti dikecuÂalikan dalam UU No 14/2008. Karena itu, tidak ada alasan pembenar merahasiakan perusahaan yang kebagian kuota impor. Justru ketertutupan kian meyakinkan dugaan ada moral hazard.
Untuk mengurai ekonomi rente, pemerintah haÂrus transparan dalam pemberian kuota impor. Salah satu caranya bisa dilakukan dengan tender atau opsi kuota tarif. Agar instabilitas harga tidak selalu beruÂlang, pemerintah harus menghitung cermat rasio imÂpor dengan kemampuan produksi domestik secara berkala. Insentif harus dirancang ulang, dengan semÂinimal mungkin membuka peluang orang lebih suka berdagang ketimbang berproduksi. Secara gradual, perintisan breeding modern berskala besar harus dilakukan. Dengan pelbagai langkah itu, bukan musÂtahil Indonesia bisa kembali swasembada daging.(*)
Bagi Halaman