KEBIASAAN menghisap tembakau memang telah di kenal sejak lama. Suku Indian di Amerika punya kebiasaan menghisap tembakau pada saat-saat tertentu, tidak setiap hari seperti yang terjadi sekarang ini. Kebiasaan merokok yang terjadi sekarang adalah akibat modernisasi produk rokok. WHO memperkirakan ada lebih dari satu milyar manusia sedunia memiliki kebiasaan menikmati asap beracun ini dengan menghabiskan lebih dari lima triliun batang rokok pertahun.

Oleh: AHMAD SASTRA
Dosen Pascasarjana UIKA Bogor

Bahkan data yang bisa di­lansir WHO menunjukkan negara-negara berkem­bang lebih tinggi kon­sumsi rokoknya dibanding negara maju. Rokok bahkan sudah dikonsumsi oleh anak-anak dibawah 15 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Di Indonesia, 140 milyar terbuang dalam sehari karena kon­sumsi rokok. Artinya jika sehari saja masyarakat Indonesia tidak merokok, maka ada penghematan sebesar 140 milyar.

Data yang dilansir WHO (World Health Organization) sejak tahun 1950 disebutkan sekitar 300.000 kematian pertahun akibat kebiasaan merokok. Angka ini melonjak men­jadi 1 juta kematin pada tahun 1965, 1,5 juta di tahun 1975 dan 3 juta kema­tian setahunnya di tahun 1990. Dari 3 juta kematian itu, 2 juta terjadi di negara-negara maju dan 1 juta sisanya (33,3%) di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Pada tahun 2000 terdapat 3,5 juta kematian pertahun­nya dimana 1,1 juta kematian terjadi di negara-negara berkembang. Pun­caknya akan terjadi pada tahun 2025 kelak, bila tidak ada tindakan yang memadai, diperkirakan aka nada 10 juta kematian pertahunnya di mana 7 juta di antaranya (70%) akan terjadi di negara berkembang di berbagai bela­han dunia (Tjandra : 1997).

Data yang dilansir oleh BPS/Ke­menkes tahun 2013 menunjukkan kenaikan pengguna rokok setiap hari sebesar 0,6 persen dari tahun 2007 yakni dari 23,7 persen menjadi 24,3 persen. Jika diasumsikan jum­lah penduduk usia diatas 10 tahun yang merokok setiap hari maka dapat dilihat datanya 0,243 x 199.178.321 = 48.400.332 jiwa. Rata-rata batang per­hari yang dihisab = 12 batang. Jika satu bungkus merk “x” seharga 12.500, maka dalam sehari komunitas pero­kok telah “membakar rupiah” sebesar 48.400.332 x 12.500 = 605.004.150. Bahkan belanja rokok merupakan belanja dengan urutan kedua setelah beras dari 14 jenis belanja keluarga miskin (Republika, 1/6).

Darurat Rokok dan Narkoba

Disisi lain, Indonesia juga telah dikepung dengan peredaran narko­ba yang telah merambah di seluruh sudut nusantara dan menjangkau se­luruh komponen bangsa, dari rakyat jelata hingga pejabat negara. Den­gan kata lain, Indonesia telah masuk dalam darurat rokok dan narkoba. Meski telah menelan banyak korban jiwa bahkan mengancam sebuah generasi, namun pemerintah dinilai belum maksimal menangani masalah narkoba ini.

Selain kemakruhan, bahkan ada yang mengharamkan rokok dan ke­haraman narkoba dilihat dari sudut pandang Islam, semestinya dalam pendekatan rasional keduanya meru­pakan barang yang layak untuk di­jauhi. Untuk rokok ditinjau dari perspektif kemanfaatan, maka tidak ditemukan manfaat apapun dari kon­sumsi rokok bagi orang yang meng­hisapnya. Ditinjau dari kesehatan, jelas rokok merupakan barang yang justru bisa merugikan kesehatan orang yang menghisapnya. Setida­knya bagi penghisap rokok akan ter­ancam penyakit kanker, impotensi dan gangguan janin bagi ibu hamil. Ditinjau dari perspektif finansial, kon­sumsi rokok termasuk merugikan se­cara ekonomi, bahkan bisa dikatakan pemborosan dan pemubaziran. Bagaimana tidak dikatakan mubazir jika lebih dari 600 milyar terbuang percuma dalam sehari bagi hanya un­tuk belanja rokok masyarakat Indo­nesia.

BACA JUGA :  TIPS JITU BERHENTI MEROKOK

Ditinjau dari perspektif intelek­tual, merokok merupakan pilihan yang tidak logis dan anomali, sebab menurut otak merokok itu merugikan kesehatan sekaligus ekonomi, namun tetap dilakukan, meskipun hati kecil­nya mengatakan merokok itu tidak baik. Buktinya, apakah seorang suami akan mengizinkan jika istrinya minta izin untuk merokok, tentu saja tidak bukan ? Rokok dan narkoba adalah setali mata uang, keduanya tidak jauh berbeda. Sebab hampir semua peng­guna narkoba juga sekaligus perokok, meski tidak setiap perokok adalah pengguna narkoba. Namun tidak ja­rang, pengguna narkoba diawali oleh kebiasaan merokok.

Ditinjau dalam perspektif kepribadian, perokok adalah orang yang telah memberikan contoh perilaku buruk kepada kelu­arga maupun orang lain. Percepatan pertambahan perokok di Indonesia bisa jadi disebabkan anak-anak yang sering melihat orang-orang dewasa merokok, sehingga mereka cender­ung penasaran dan meniru. Bisa jadi anak yang merokok karena melihat ayahnya juga merokok. Jika demiki­an, maka jumlah perokok dari tahun ke tahun dipastikan akan bertambah sebagai efek domino. Berdasarkan penelitian seorang anak mulai mero­kok pada usia 10 – 14 terutama anak perempuan. Setidaknya ada tiga fak­tor penyebab, pertama, faktor per­sonal. Kedua, faktor sosio kultural dan ketiga, faktor pengaruh kuat lingkungan.

Ditinjau dari perspektif lingkun­gan, maka jelas asap rokok telah men­gakibatkan pencemaran udara. Bah­kan asap rokok juga membahayakan orang-orang sekitar yang secara tidak sengaja ikut menghirup asap rokok (perokok pasif ), karena telah meng­hisap asap sampingan (sidestream smoke). Asap rokok mengeluarkan 4000 bahan kimia seperti nikotin, gas karbon monooksida, nitrogen oksida, hydrogen cyanide, ammonia, acrolein, aceliten, benzaldehyde, ure­thane, benzene, methanol, couma­rin, ortocresol, perylene dan lainnya. Sedang istilah tar maknanya adalah kumpulan dari ribuan bahan kimia dalam komponen padat asap rokok setelah dikurangi nikotin dan air. Se­tiap isapan asap rokok mengandung 100.000.000.000.000 radikal bebas dan lebih banyak lagi oksidan yang akan masuk ke paru-paru.

Ditinjau dari perspektif psikologi, perokok adalah orang yang tidak mampu mengendalikan diri dari ke­inginan yang sesungguhnya disadari sebagai perbuatan yang tidak baik. Apakah seorang perokok secara psikologis juga merupakan orang yang tidak mampu mengendalikan diri dalam konstek yang lain. Apakah perokok lebih emosional, sedang bu­kan perokok lebih rasional ? Apakah seorang perokok merupakan orang yang mengalami ganggung psikologis semacam strees, hingga rokok sebagai katarsitas psikologisnya ? Seberapa jauh kebiasaan merokok berpenga­ruh terhadap psikologis pelakunya ? Tentu hal ini masih perlu penelitian yang lebih mendalam. Padahal jika benar, Islam telah memberikan jalan untuk meraih ketenangan batin den­gan memperbanyak zikir kepada Al­lah, simpel dan berpahala.

Sementara jika berkenaan dengan narkoba, maka tidak diragukan lagi keharamannya menurut Islam. Tentu saja ditinjau dari berbagai aspeknya, narkoba adalah barang yang sangat buruk dan merugikan sang pengguna dan juga menyusahkan keluarga dan orang lain secara permanen. Selama seseorang kecanduan dan menggunakan nar­koba, maka dirinya akan selalu men­jadi sumber masalah bagi orang lain di sekitarnya.

Bahkan efek domina dari peng­gunakan narkoba berupa perilaku-perilaku yang menyimpang. Pernah dikisahkan ada seorang yang tergoda syetan untuk memilih apakah minum memabukkan, membunuh atau berzi­na. Akhirnya dia memilih minum den­gan harapan tidak akan merugikan orang lain. Ternyata setelah mabuk, orang itu lantas berzina dan mem­bunuh. Beberapa bentuk bentrokan massal dan tawuran seringkali diaki­batkan oleh kondisi mabuk.

Ramadhan Bulan Perubahan Diri

BACA JUGA :  BERGERAK BERSAMA, MELANJUTKAN MERDEKA BELAJAR

Momen Ramadan sebagai bulan tarbiyah dari Allah kepada hamba-hambaNya untuk mempu mengendal­ikan diri dari perbuatan yang dilarang Allah hendaknya menjadi momen terbaik untuk melakukan sebuah hi­jrah diri menjadi lebih baik. Puasa Ra­madan setidaknya digunakan untuk melakukan latihan untuk meninggal­kan sama sekali rokok dan narkoba. Sebab apapun alasannya, keduanya lebih baik jika ditinggalkan, sebelum mengalami penyesalan yang tiada berujung, atau kematian menjemput.

Dalam kondisi normal tidak ber­puasa, rata-rata perokok berat dari pagi hingga sore akan menghabiskan sebungkus rokok, namun ketika ber­puasa ternyata bisa meninggalkan sama sekali. Kemampuan meninggal­kan rokok saat puasa adalah semata-mata karena memiliki niat yang kuat dan berkomitmen untuk tidak me­langgar perintah Allah. Nah, kenapa moment Ramadan tidak sekalian dijadikan sebagai momen untuk me­ninggalkan rokok dan narkoba sama sekali.

Bulan Ramadan sebagai bulan yang istimewa karena pelipatgandaan pahala bagi pelaku kebaikan, terma­suk sedekah. Jika kebiasaan merokok sehari 2 bungkus seharga 25.000 ru­piah, maka sebulan telah menghabis­kan 750.000 rupiah. Jika diibaratkan satu rupiah sebagai satu kebaikan dan selama Ramadan dilipatgandakan se­banyak 70 kebaikan, maka 750.000 x 70 sama dengan 5.250.000 kebaikan selama sebulan. Ini baru dari kebai­kan sedekah dari uang belanja rokok saja. Mana yang lebih baik, menye­dekahkan uang belanja rokok dengan pahala jutaan atau untuk beli rokok dan mengakibatkan penyakit dan kerugian finansial ? Tidak perlu kecer­dasan tinggi untuk menjawab pertan­yaan ini bukan ?

Sepanjang melaksanakan puasa Ramadan, sesungguhnya merupakan tarbiyah Allah kepada hambaNya un­tuk bisa menjalani sebuah perilaku yang lebih baik dari sebelumnya, leb­ih rajin dari sebelumnya, lebih soleh dari sebelumnya dan lebih taqwa dari sebelumnya. Itulah kenapa, ujung dari puasa adalah meraih ketaqwaan. Ketaqwaan artinya ketaatan kepada perintah Allah dan menjauhi segala bentuk kemaksiatan. Jika sebelum puasa dan setelah puasa tidak men­galami perubahan yang lebih baik, tentu saja dipertanyakan apakah suk­ses puasanya atau tidak ? Jika setelah puasa konsumsi rokoknya tambah banyak, tentu puasanya juga layak di­pertanyakan.

Alangkah indahnya jika setiap muslim bisa merealisasikan perubah­an diri menjadi lebih baik pasca Rama­dan. Sebab jika hari ini hari ini lebih baik dari hari kemarin berarti berun­tung, jika hari ini sam dengan hari ke­marin artinya merugi dan jika hari ini lebih buruk dari hari kemarin artinya celaka alias bencana. Ibarat kepom­pong, setelah melakukan puasa, dia menjelma menjadi kupu-kupu yang indah dan menyenangkan. Artinya ku­ku-kupu adalah perubahan diri yang lebih baik dari sebelumnya seekor ulat yang menakutkan. Jika seluruh masyarakat Indonesia beriman dan bertaqwa, maka rokok dan narkoba tak kan pernah ada, sebab tak satupun yang sudi mengkonsumsinya.

Sebagai sesama muslim, penulis mengingatkan sebuah kebajikan un­tuk lebih baik berhenti merokok, se­lain terkait dengan penghematan dan kesehatan sebagai refleksi kesyukuran rejeki harta dan kesehatan dari Allah, tidak merokok juga memberi kontri­busi positif jangkan panjang bagi kete­ladanan yang baik untuk generasi men­datang. Untuk memupuk tekad mulia itu, Ramadan inilah moment yang te­pat. Semoga Allah memberikan jalan terbaik untuk kita semua, meski penu­lis tahu bahwa hidup adalah pilihan bagi orang-orang yang berakal. Mari kita kampanyekan Ramadhan sebagai titik awal untuk berhenti merokok/ narkoba dan untuk selamanya. Mari kita jaga kesucian bulan Ramadhan dengan perilaku sholeh. (*)

 

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================