Selanjutnya, cukai rokok di Indonesia sangat mendesak dinaikkan, karena UnÂÂdang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai mengamanatkan bahwa cukai rokok maksimum mencapai 57 persen. Dengan demikian, saat ini masih ada ruang untuk menaikkan cukai rokok sekitar 17 persen lagi. Itu pun sejatinya belum ideal kalau diÂÂjadikan basis pengendalian (pembatasan) konsumsi rokok. Bandingkan dengan cukai minuman keras, yang mencapai 100 persen. Bandingkan juga di berbagai negara, cukai rokoknya rata-rata mencapai 75-80 persÂÂen. Di Thailand, cukai rokok mencapai 80 persen. Cukai rokok di Indonesia masih terÂÂgolong terendah di dunia.
Memang, pada konteks pengendalian tembakau yang komprehensif, instrumen pengendalinya bukan hanya cukai, tapi juga larangan total iklan rokok (total ban advertisÂÂing), penerapan kawasan tanpa rokok, laranÂÂgan penjualan eceran, peringatan kesehatan bergambar (pictorial health warning), plus larangan menjual kepada anak-anak.
Meski demikian, cukai merupakan inÂÂstrumen paling ampuh untuk menekan konÂÂsumsi rokok. Menurut kajian Lembaga DeÂÂmografi UI (2009), menaikkan cukai justru berdampak positif terhadap makroekonomi dan kesehatan masyarakat. Pasalnya, menaiÂÂkkan cukai tidak akan mematikan industri rokok, bahkan pendapatan pemerintah akan meningkat tajam. Pemerintah bisa menganÂÂtongi cukai lebih dari Rp 200 triliun jika cuÂÂkai rokok mencapai 57 persen.
Masih terlalu kecil pendapatan yang diperoleh pemerintah dari cukai rokok dibandingkan dengan pendapatan bersih pengusaha rokok. Lihatlah, orang-orang terÂÂkaya di Indonesia adalah pengusaha rokok (Djarum, Gudang Garam). Dan masih terÂÂlalu kecil pula pendapatan cukai rokok jika dikomparasikan dengan dampak kesehatan dan sosial-ekonomi yang diderita masyaraÂÂkat dari dampak buruk rokok, yang menuÂÂrut kajian Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan (Soewarta Kosen, 2008) bisa mencapai empat kali lipatnya. Cukai naik, pendapatan pemerintah naik, masyarakat Indonesia pun semakin sehat dan sejahtera.(*)