JAKARTA TODAY– Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menoÂlak jadi eksekutor hukuman kebiri kimia bagi pelaku kejaÂhatan seksual. Polri mengataÂkan siap membantu pelaksanÂaan eksekusi kebiri itu.
“Kita (Polri) siap bantu,†kata Kadiv Humas Polri Irjen Boy Rafli Amar di kantornya, Jalan Trunonoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (14/6/2016).
IDI menolak jadi eksekutor karena suntik kebiri melanggar sumpah profesi dan kode etik kedokteran. Bukankah dokter kepolisian juga terikat dengan sumpah tersebut? “Itu urusan Pak dokter ya. Saya mengaÂtakan kepolisian siap bantu pelaksanaan jika dapat tugas, sama seperti hukuman mati dapat tugas dari jaksa ya kita laksanakan,†ujarnya. “Siapa yang melaksanakan nanti itu urusan kita di dalam (internal), kita siapkan,†sambungnya.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly mengangÂgap wajar penolakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai eksekutor dalam kebiri kimia. Namun karena ini merupaÂkan perintah UU, pemerintah akan mempertimbangkan siapa yang akan menjadi ekseÂkutor suntik kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual. “Itu hak mereka, ini kan kebiri seoÂlah semua orang akan dikeÂbiri, tapi nanti kan ada ketenÂtuannya juga,†ujar Yasonna di kantornya, Jl HR Rasuna Sahid, Kuningan, Jakarta SelaÂtan, kemarin.
Laoly menegaskan semua pihak harus menaati aturan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak yang akan diserahkan ke DPR untuk disahkan menjadi UnÂdang-Undang. Bentuk penamÂbahan pidana sendiri akan diserahkan pada hakim. “KaÂlau IDI tidak mau nanti kita cari dokter yang mau, karena perintah UU, hukuman mati yang nembak juga itu dilarang karena menghilangkan jiwa orang lain apalagi sengaja dan berencana. Nanti kita putusÂkan, mau dokter apa kek, mau hewan kek,†jelas Yasonna.
Anggota Komisi IX DPR AhÂmad Zainuddin mengatakan berdasarkan Peraturan PemerÂintah Pengganti Undang-unÂdang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 terkait hukuman kebiri disebutkan pelaksanaan huÂkuman di bawah pengawasan kementerian yang menyelengÂgarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan kesehatan. Karena itu menuÂrutnya, pelaksana hukuman ini sebenarnya tidak hanya terÂtuju pada IDI. “Dalam Perppu itu kan juga disebutkan tata cara pelaksanaan tindakan huÂkuman diatur dalam PeratuÂran Pemerintah. Jadi perjelas saja siapa eksekutornya dalam PP itu. Pelaksana hukuman ini kan perintah undang-unÂdang nantinya,†ujar ZainudÂdin dalam siaran pers, Selasa (14/6/2016).
Zainuddin mengatakan harus ada pembicaraan antaÂra Kemenkes dan Kemensos untuk memecah kebuntuan soal siapa eksekutor hukuman kebiri. “Bu Mensos dan Bu Menkes harus bertemu. Kalau perlu dengan Polri juga. Harus ada terobosan. Karena hukuÂman kebiri juga tidak boleh sembarangan. Kalau tidak bisa dipulihkan, ini bahaya. Terutama bagi yang taubat. Di PP harus diatur lebih jelas,†cetusnya.
Semangat Perppu yang diteken Presiden Joko Widodo ( Jokowi) karena adanya kegÂentingan situasi di masyarakat terkait keselamatan seksual anak. Namun pada sisi lain, dokter yang diharapkan denÂgan kewenangannya dapat menjadi pelaksana Perppu tersebut terbentur pada Kode Etik kedokteran. “Perppu seÂharusnya juga perlu mengaÂtur lebih tegas hal-hal yang mengakibatkan munculnya pelecehan seksual, seperti miÂras, narkoba dan pornografi,†ucap Zainuddin.
Presiden Joko Widodo telÂah menandatangani Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perppu ini memperÂberat sanksi bagi pelaku keÂjahatan seksual, yakni hukuÂman mati, penjara seumur hidup, maksimal 20 tahun penjara dan minimal 10 taÂhun penjara. Perppu juga mengatur tiga sanksi tambaÂhan, yakni kebiri kimiawi, pengumuman identitas ke publik, serta pemasangan alat deteksi elektronik (cip).
Terpisah, Ketua DPR Ade Komarudin menegaskan bahwa itu merupakan aturan UU yang harus dipatuhi. “Itu kan perintah UU. Perppu kan pengganti UU, seharusnya diÂpatuhi,†kata Ade di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (10/6/2016).
Aturan soal hukuman tambaÂhan berupa kebiri kimia itu ada di Perppu Perlindungan Anak yang diteken Presiden Joko Widodo. Perppu itu lalu harus mendapat persetujuan DPR.
Ade belum memastikan apakah penolakan IDI ini akan menjadi suatu hal yang dipertimbangkan oleh DPR. Tentunya harus ada penjelaÂsan mengapa IDI menolak. “Kalau soal itu menyetujui atau menolak, tanya ke peÂmegang suara. Kan saya 1 dari 560 anggota DPR. Saya ingin tahu juga alasannya apa,†ujar politikus Golkar ini.
DPR hingga saat ini beÂlum mulai membahas PerpÂpu Perlundungan Anak ini. Pemerintah belum menÂgirimkan surat presiden ke DPR. “Belum dapat, sama sekali belum dapat,†ucap Ade.(Yuska Apitya/net)
Bagi Halaman