Umar bin Abdul Aziz per­nah mengatakan bahwa taqwa kepada Allah bukanlah ditandai oleh seringnya puasa di siang hari dan seringnya melakukan shalat malam atau kedua-duan­ya. Akan tetapi, taqwa kepada Allah itu adalah meninggalkan apa saja yang Allah haramkan dan melaksanakan apa saja yang Allah wajibkan. Wajar jika Rasu­lullah bersabda yang diriwayat­kan oleh Ahmad dan ad Darimi bahwa banyak orang berpuasa hanya mendapatkan rasa haus dan lapar dikarenakan perbua­tannya saat puasa justru banyak yang bertentangan dengan hu­kum-hukum Allah.

Karena itu menjadikan al Qur’an sebagai petunjuk atas seluruh perilaku dalam kehidu­pan di dunia adalah refleksi ket­aqwaan seorang muslim. Banyak aspek perilaku dalam kehidupan di dunia, misalnya perilaku eko­nomi, politik, budaya, pendidi­kan, keluarga, kepemimpinan, bahkan berbangsa dan berneg­ara. Sebab ketaqwaan bukan se­batas individual, melainkan juga sosial dan kepemimpinan ber­bangsa dan bernegara.

Fungsi kepemimpinan dalam Islam adalah untuk mengatur urusan rakyat agar tertib sejalan dengan nash Al Qur’an serta tidak terjadi kekacauan dan perselisihan. Rosulullah memerintah­kan kita agar mengangkat salah satu menjadi pemimpin dalam sebuah perjalanan . Islam me­wajibkan kita untuk taat kepada Allah, Rasulullah dan kepada ulil amri yakni orang yang diamanahi untuk mengatur urusan umat, selama pemimpin itu tunduk ke­pada al Qur’an dan as Sunnah.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Ulil Amri menurut Imam Bukhari dan Abu Ubaidah me­miliki makna orang yang diberi amanah untuk mengurus uru­san orang-orang yang dipimpin­nya. Abu Hurairah memaknai ulil amri sebagai al umara (pen­guasa). Maimun bin Mahram dan Jabir bin Abdillah memaknainya dengan ahlul ‘ilmi wa al khoir (ahli ilmu dan kebaikan). Sedan­gkan Mujahid dan Abi Al Hasan memaknai kata ulil amri sebagai al ‘ulama. Ibnu Abbas memaknai ulil amri sebagai al umara wa al wullat atau para penguasa.

Sayyidina Ali bin Abi Thal­ib, karamallahu wajhah dalam Tafsir Al Quran karya Al Baghawi menjelaskan bahwa seorang imam atau pemimpin negara wajib memerintah berdasarkan hukum yang telah diturunkan Al­lah SWT, serta menunaikan ama­nah. Jika dia melakukan itu, maka rakyat wajib untuk mendengar­kan dan mentaatinya. Sebaliknya tidak wajib taat kepada kemimpin tidak memerintah berdasarkan hukum yang telah diturunkan Allah SWT atau memerintahkan kemaksiatan kepada Allah.

Karena itu bulan suci Rama­dhan ini hendaknya menjadikan ketaqwaan bukan hanya melekat kepada individu, melainkan juga sosial dan kebangsaan. Ramad­han hendaknya dijadikan sebagai muhasabah bangsa sudah sejauh mana bangsa ini tunduk terhadap hukum dan aturan Allah, atau justru malah semakin jauh dari syariat Allah dalam menata eko­nomi, politik, budaya, pendidi­kan, sosial, serta hubungan luar negeri. Dengan demikian pen­guasa dan pemimpin yang tidak mendorong terciptanya masyara­kat yang beriman dan bertaqwa akan jauh dari keberkahan Allah.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Negeri bertaqwa adalah neg­eri yang yang rakyatnya memiliki keimanan yang berkualitas di­mana aqidah dan syariah menjadi timbangan setiap perilaku mer­eka. Negeri bertaqwa juga adalah negeri yang hukum dan aturannya berdasarkan aqidah dan aturan hukum Allah dalam seluruh as­pek kehidupan seperti ekonomi, pendidikan, politik, budaya, dan sosial secara menyeluruh.

Keimanan dan ketundukan pada hukum Allah sebagai re­fleksi ketaqwaan inilah yang akan mendatangnya keberkahan hidup berbangsa dan bernegara. Semoga bulan suci Ramadhan ini mengantarkan Indonesia menjadi negeri bertaqwa. Jika­lau Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpah­kan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS Al A’raf : 96).

 

Halaman:
« 1 2 » Semua
============================================================
============================================================
============================================================