“Di sektor manufaktur sekarang line produksi di banyak perusahaan sudah sangat berkurang. Begitu juga di sektor tekstil,” katanya.

Menurutnya, paket kebijakan ekonomi yang diterbitkan Presiden Jokowi belum banyak menolong ekonomi RI. “Paket-paket kebijakan itu niatnya menolong, tapi yang penting sebenarnya adalah bagaimana pemerintah bisa melakukan employment creation (penciptaan lapan­gan kerja). Tapi problemnya, APBN kita lemah, belamja pemerintah juga turun,” tegasnya.

Menurutnya, pelemahan ekonomi Ta­nah Air saat ini juga karena dampak eko­noi global yang juga melemah. China yang selama ini banyak menyerap komoditi Indonesia juga sedang turun permintaan­nya. Dampaknya juga terasa bagi Indone­sia.

“Ekonomi kita sangat terpengaruh oleh ekonomi China. Ekspor komoditas kita ke China tinggi. Tapi problemnya Chi­na lagi susah, malah rakyat mereka seka­rang cari kerja ke sini,” kata Jahja.

Ekonomi Inggris Terpuruk

Sementara itu, keadaan Inggris kian buruk sehari setelah hasil referendum un­tuk keluar dari Uni Eropa (UE) alias Brexit. Gonjang-ganjing yang terjadi di pasar sa­ham dan komoditas selama satu hari lang­sung menggeret status investasi negara yang akrab dengan tim three lions itu.

BACA JUGA :  Atlet Skateboard Kabupaten Bogor Sabet Dua Medali Naschamp 2024

Krisis ekonomi Inggris disertai pele­suan ekonomi dunia pun mencuat se­bagai prediksi. Menurut lansiran situs berita The Guardian, lembaga peringkat Moody’s sudah menurunkan status kredit Inggris dari stabil menjadi negatif.

Keputusan tersebut diakui berasal dari ketidakpastian akses pasar ke wilayah Er­opa yang saat ini mendominasi perdagan­gan Inggris. Alhasil, pertumbuhan ekono­mi nasional diperkirakan bakal melambat. ’’Meskipun dalam jangka panjang Inggris bisa mengamankan jalur perdagangan ke wilayah Uni Eropa dan negara lain, per­tumbuhannya diperkirakan tidak sekuat dari yang semula kami perkirakan (saat inggris menjadi anggota UE, Red),’’ begi­tu pernyataan agensi seperti dilansir The Guardian, kemarin.

Bukan hanya Moody’s, lembaga per­ingkat lainnya, Standard and Poor’s, pun sudah mengeluarkan tanda-tanda bahwa pangkat invetasi Inggris yang saat ini ada di kelas AAA bisa diturunkan.

Hal ini pun membuat pemimpin kam­panye Brexit Boris Johnson sedikit takut. Dia menyatakan tak perlu cepat-cepat memberlakukan pasal 50 perjanjian UE yang bakal mengaktifkan periode nego­siasi selama dua tahun.

BACA JUGA :  Warga Desa Cemplang Bogor Diteror Maling, Satu Bulan 5 Kali Aksi Pencurian

Padahal pihak UE sudah terlanjur sakit hati dan minta Inggris keluar secepat mungkin. Bagaimana tak takut, dampak dari Brexit nampaknya dipandang besar oleh investor global.

Berdasarkan The Guradian, hasil an­gket yang disusul mundurnya Perdana Menteri David Cameron langsung mengu­ras sekitar USD 2 triliun (Rp 26 ribu triliun) dari berbagai pasar dunia.

Bank Nasional Inggris pun harus turun tangan untuk menenangkan pasar yang sudah membuat nilai ponsterling turun ke level terendah sejak 1985. Saham-saham besar di inggris pun ikut berkurang se­banyak GBP 120 miliar (Rp 2.200 triliun). “Kami siap untuk melakukan apapun untuk mencegah dampak dari keluarnya inggris dari UE. Kami mendiskusikan apa saja yang akan menjadi resiko dan akan menanggulanginya,’’ ujar Kepala Bank of England Mark Carney. (Yuska Apitya Aji)

Halaman:
« 1 2 » Semua
============================================================
============================================================
============================================================