DI musim mendekati lebaran, langkah gencar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk membersihkan praktik suap nampaknya malah kian digeber. Yang terbaru adalah Anggota Komi­si III DPR RI, Putu Sudiartana, yang ditangkap bersama pengusaha dan koleganya. Kasus ini kian menambah daftar hitam kinerja DPR RI. Dalam konteks hukum pidana, kejahatan suap (baca korupsi) adalah tindak pidana yang seder­hana tetapi sulit dibuktikan. Biasanya antara pem­beri suap sebagai causa proxima dan penerima suap selalu melakukan silent operation untuk mewujudkan kejahatan tersebut. Bahkan sedapat mungkin meniadakan bukti-bukti bahwa tindak pidana tersebut telah dilakukan.

Oleh karena itu, untuk memberantas praktik korupsi berupa suap-menyuap haruslah dilaku­kan dengan silent operation pula. Tidaklah dapat dimungkiri bahwa terungkapnya banyak kasus korupsi, seperti suap impor daging sapi yang me­nyeret mantan Ketua Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq dan suap SKK Migas yang melibatkan Rudi Rubiandini, tidak terlepas dari operasi tangkap tangan.

Dalam konteks pembuktian, ada beberapa catatan terkait operasi tangkap tangan. Pertama, ada perbedaan prinsip pembuktian dalam perka­ra perdata dan perkara pidana. Dalam perkara perdata, para pihak yang melakukan hubungan hukum keperdataan cenderung mengadakan bukti dengan maksud jika di kemudian hari ter­jadi sengketa, para pihak akan mengajukan bukti-bukti untuk memperkuat argumentasinya di pen­gadilan. Hal ini berbeda dengan perkara pidana, di mana pelaku selalu berusaha meniadakan bukti atau menghapus jejak atas kejahatan yang dilakukan. Operasi tangkap tangan lebih efektif untuk membuktikan kejahatan-kejahatan yang sulit pembuktian, termasuk kejahatan korupsi.

BACA JUGA :  PENYEBAB PEROKOK DI INDONESIA TERUS BERTAMBAH

Kedua, dalam pembuktian perkara pidana ada postulat yang berbunyi in criminalibus pro­bantiones bedent esse luce clariores. Bahwa dalam perkara-perkara pidana, bukti-bukti harus lebih terang daripada cahaya.

Artinya, untuk membuktikan seseorang se­bagai pelaku tindak pidana tidaklah hanya ber­dasarkan persangkaan, tetapi bukti- bukti yang ada harus jelas, terang, dan akurat. Ini dalam rang­ka meyakinkan hakim untuk menjatuhkan pidana tanpa keraguan sedikit pun. Operasi tangkap tan­gan adalah cara paling ampuh untuk membuat bukti-bukti lebih jelas dan terang daripada cahaya.

Ketiga, dalam konteks kejahatan korupsi, operasi tangkap tangan sudah pasti didahului serangkaian tindakan penyadapan yang telah di­lakukan dalam jangka waktu tertentu. Hasil peny­adapan pada dasarnya merupakan bukti permu­laan terjadinya suatu tindak pidana jika antara bukti yang satu dan bukti yang lain terdapat kes­esuaian (corroborating evidence).

Operasi tangkap tangan hanyalah untuk men­gonkretkan serangkaian tindakan penyadapan yang telah dilakukan sebelumnya sehingga bukti permulaan yang telah diperoleh akan menjadi bukti permulaan yang cukup. Artinya, perkara tersebut sudah siap diproses secara pidana kare­na memiliki minimal dua alat bukti.

BACA JUGA :  PENTINGNYA SERAGAM SEKOLAH UNTUK KEBERSAMAAN

Keempat, dalam konteks kekuatan pembuk­tian, operasi tangkap tangan dapat dikatakan memenuhi pembuktian sempurna (probatio plena). Artinya, bukti tersebut tidak lagi men­imbulkan keraguan-raguan mengenai keterli­batan pelaku dalam suatu kejahatan. Kendatipun demikian, hakim dalam perkara pidana tidak teri­kat secara mutlak terhadap satu pun alat bukti. Akan tetapi, operasi tangkap tangan paling tidak dapat menghilangkan keraguan tersebut.

Kelima, ibarat permainan judi, seorang yang terjerat kasus hukum dalam suatu operasi tangkap tangan sama halnya dengan seorang penjudi yang memegang kartu mati dalam per­mainan. Artinya, penjudi yang memegang kartu tersebut tidak akan mungkin memenangi per­tandingan. Demikian pula halnya dengan se­seorang yang tertangkap tangan melakukan suatu tindak pidana sulit melakukan pembelaan bahwa dia tidak terlibat dalam kasus tersebut. Tanpa mengesampingkan asas praduga tak ber­salah, dapat dipastikan seorang yang ditangkap dalam operasi tangkap tangan akan terbukti ber­salah melakukan kejahatan tersebut. Oleh karena itu, hanya ada dua hal yang dapat dilakukan oleh orang yang tertangkap tangan dalam rangka me­ringankan hukuman. Pertama, mengakui kesala­hannya dan tidak memperumit proses hukum. Kedua, berkolaborasi dengan aparat penegak hu­kum untuk mengungkap kasus tersebut jika kasus itu dilakukan secara terorganisasi dan melibatkan banyak pihak.(*)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================