IBARAT jamur di musim hujan, begitulah perumpamaan pembangunan industri pertambangan di Indonesia. BuÂkan saja perusahaan pertambangan skala besar yang berlomba mengeruk kekayaan alam melalui aktivitas pertambangan, perusahaan kecil serta individu pun ikut berebut mengambil untung dari usaha tersebut.
Usaha pertambangan memang memiliki peranan yang sangat penting untuk mendukung perekonomian nasional serta dapat memberikan kontribusi yang sigÂnifikan kepada masyarakat, tetapi tidak dipungkiri bahÂwa usaha pertambangan juga berpotensi menyebabkan gangguan lingkungan dan hutan.
Saat ini Indonesia merupakan salah satu negara di duÂnia yang mengalami krisis lingkungan serius. Penggundulan hutan terus meningkat demi perluasan industri pertamÂbangan. Itu berarti, kerusakan alam hampir tidak dapat dibendung. Hutan yang memiliki fungsi penting dalam menyiapkan carbon, pelindung sumber mata air serta penyeimbang flora dan fauna tidak digubris. Semangat eksploitatif dan tindakan-tindakan ekstraktif telah meracuÂni manusia dalam rangka mewujudkongkretkan pembanÂgunan yang mengayomi masyarakat menuju kesejahteraan yang absurd. Realitas kemiskinan seolah memaksa para pengambil kebijakan agar berkompromi dengan pemodal untuk melakukan pengelolalaan sumberdaya alam.
Perizinan tambang semakin menggelembung sepÂerti tak terkontrol. Berdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian Kehutanan Februari 2014 lalu, di propinsi Kalimantan Timur terdapat 41 pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Untuk kegiatan survey/ ekplorasi dan 71 perusahaan pemegang IPPKH untuk kegiatan operasi produksi dan non tambang. SetidaÂknya, tiap hari 6-7 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dikelÂuarkan sejak 2008. Luas kawasan hutan yang digunakan untuk kegiatan eksplorasi adalah sebesar 402.655,98 ha, sementara untuk kegiatan operasi produksi kaÂwasan hutan yang digunakan mencapai 191.343,04 ha.
Maraknya pembukaan lahan pertambangan nampakÂnya tidak dibarengi dengan kesadaran akan dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan. Lemahnya kesadaran mengenai aspek lingkungan acapkali menjadi ciri khas dalam kegiatan pertambangan di negeri ini, khususnya di sektor penambangan minerba (mineral dan batubara). Bagaimana tidak, kita sering disuguhkan fakta mengenai ratusan ribu hektar bekas wilayah KP (kuasa pertamÂbangan) di penjuru nusantara terbengkalai (rusak) pasca produksi oleh perusahaan tambang yang beroperasi.
Ironisnya, bukan hanya kegiatan penambangan liar (tanpa izin) saja yang sering menimbulkan kerusakan lahan, seolah tidak mau ketinggalan, kegiatan penamÂbangan dengan izin pun tidak luput dari hal serupa.
Dampaknya, jelas mengancam kelestarian lingkunÂgan. Penurunan produktivitas lahan, tanah bertambah padat, terjadinya erosi dan sedimentasi, terjadinya gerÂakan tanah atau longsoran, terganggunya flora dan fauna, terganggunya kesehatan masyarakat, serta peÂrubahan iklim mikro merupakan serangkaian kerugian yang akan diderita tidak hanya oleh lingkungan dan maÂsyarakat sekitar, tapi bangsa Indonesia secara umum.
Secara umum, masalah utama yang seringkali muncul pasca kegiatan pertambangan adalah masalah perubahan Lingkungan, masalah perubahan bentang alam. Perubahan besar yang terlihat kasat mata adalah perubahan morpologi dan topografi lahan, serta penuÂrunan produktivitas tanah. Secara lebih rinci, terdapat pula perubahan atau gangguan yang terjadi pada flora dan fauna yang ada di lahan bekas tambang tersebut.
Pemerintah sebenarnya sudah lama mengeluarÂkan kebijakan mengenai reklamasi wilayah KP ini, sejak rezim UU No.11/1967 tentang Ketentuan Pokok PertamÂbangan sampai UU No.4/2009 tentang Pertambangan minerba (UU Minerba) beserta produk hukum turunanÂnya. Kurang lebih 42 tahun, hingga saat ini kita juga maÂsih bisa menerka problematika seputar reklamasi yang kian mengkhawatirkan. Bahkan, dengan adanya regulasi pemerintah yang terbaru pun melalui Peraturan MenÂteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 07 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Reklamasi Pascatambang Pada Kegiatan Usaha Mineral dan BaÂtubara, belum mampu menjadikan seluruh pelaku usaha pertambangan untuk memenuhi kewajiban reklamasi.
Pelaksanaan kegiatan reklamasi wilayah Kuasa PerÂtambangan hingga detik ini belum begitu terasa efektiviÂtasnya. Padahal peraturan terkait kegiatan pertambangan sudah sangat jelas mewajibkan tindakan reklamasi. PenÂegakan hukum seolah hanya angin lalu. Kurangnya pemaÂhaman (atau sengaja tidak paham) akan ketentuan hukum reklamasi dan pentingnya isu kelestarian lingkungan pasca operasi tambang oleh para pelakunya disinyalir menjadi biang kerok kerusakan lahan tambang yang ada saat ini.
Pengusaha pertambangan begitu mudahnya mengeksploitasi alam secara masif, mengeruk sebanÂyak-banyaknya kekayaan sumber daya demi mendapatÂkan keuntungan yang hanya menguntungkan pihak penguasa semata. Di sisi lain mereka seolah menutup mata akan dampak lingkungan yang ditimbulkan akibat aktivitas mereka. Begitukah wajah dunia pertambangan di Indonesia saat ini? Mereka begitu mudahnya menÂgambil kekayaan yang dimiliki oleh alam, tetapi sangat sulit untuk mengembalikan kembali apa yang telah mereka renggut. (*)
Bagi Halaman