JAKARTA TODAY– Ikatan Dokter Indonesia tetap me­nolak menjadi eksekutor dalam pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak (Perppu Kebiri). Wakil Ketua IDI Daeng Muhammad Faqih meminta pemerintah menunjuk eksekutor lain, dalam menghukum terpidana kasus kekerasan seksual yang divonis hukuman kebiri.

“Kalau ini dijalankan kami minta bukan IDI dan bukan dokter yang menjalankan. Ala­sanya karena kode etik yang melakukan itu,” kata Daeng di Gedung DPR, Jakarta, Senin (25/7/2016).

Dokter, kata Daeng, meng­hadapi kode etik profesi dalam pelaksanaan hukuman kebiri. Jika dokter menjadi eksekutor dalam hukuman kebiri, maka dikhawatirkan akan menjadi yurisprudensi pada pelangga­ran etika lain.

Terlebih, Daeng menutur­kan, pemerintah belum men­etapkan mekanisme hukuman kebiri kimia, apakah melalui suntik atau pemberian obat. Jika dengan obat, masalah ini menurutnya akan selesai ka­rena pelaku tinggal dipaksa minum dengan dijaga petugas.

“Kalau dengan suntik, eti­ka kedokteran berbunyi, ‘Dok­ter hanya melakukan tindakan untuk membantu, menyem­buhkan dan menolong.’ Kalau konteksnya dengan hukuman, itu tidak diperbolehkan,” ujarnya.

BACA JUGA :  Modus Sembuhkan Kesurupan, Guru Silat di Sampang Cabuli Muridnya

Di beberapa negara, lanjut Daeng, eksekusi kasus hukum tidak dilakukan oleh dokter. Misal di Arab Saudi suntik mati atau potong tangan di­lakukan petugas eksekutor dan bukan dokter.

Meski demikian, secara prinsip IDI mendukung pem­beratan hukuman terhadap pelaku kejahatan seksual pada anak. Namun pelaksanaan hu­kuman itu tidak dibenturkan dengan kode etik kedokteran.

“Karena ini dalam rangka hukuman, silakan pemerintah menunjuk petugasnya, dan dilatih. Menyuntik tidak mem­butuhkan keahlian, itu seder­hana, orang awam bisa,” kata Daeng.

Kepala Biro Hukum IDI Na­zwir Nazar mengusulkan, al­ternatif hukuman bagi pelaku kejahatan seksual kepada anak, yakni pemberatan atau tambahan hukuman selama 10 tahun bagi pelaku dewasa yang berusia 20-25 tahun.

Menurut Nazar, pelaku dapat diisolasi dan diberi­kan kerja paksa sosial selama mendekam dalam lembaga pemasyarakatan. Dengan pemberatan hukuman ini, akan menimbulkan efek jera kepada pelaku dan efek aman di kalangan masyarakat.

BACA JUGA :  Tertimpa Pohon Tumbang, 2 Pemotor di Purwakarta Tewas

“Masa iya sih di lembaga pemasyarakatan tidak mere­habilitasi,” kata Nazar.

Deputi Bidang Koordinasi Perlindungan Perempun dan Anak Kementerian Koordina­tor Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Sujatmiko berharap, IDI memperhatikan urgensi dari Perppu Kebiri.

Menurutnya, pemberian hukuman kebiri diberikan kepada pelaku setelah men­jalani hukuman pokok, kalau pokoknya. Kebiri juga bukan dalam rangka memotong li­bido pelaku, melainkan hanya melemahkannya.

“Kebiri ini untuk yang hor­monnya berlebihan, sehingga tidak bisa ditahan makannya diberi terapi untuk menguran­gi libidonya,” ujar Sujatmiko.

Selain itu, Sujatmiko men­egaskan bahwa hukuman ke­biri tidak berlaku jika pelaku kejahatan seksual adalah anak. Untuk menambah hukuman di masyarakat, pelaku kejaha­tan seksual sebutnya juga akan dipublikasi.(Yuska Apitya/net)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================