Setiap skema pembayaran tersebut memiliki nilai plus-minus masing-masing. Namun cara pemÂÂbayaran yang bervariatif memberiÂÂkan kesempatan kepada konsumen untuk memilih yang terbaik sesuai dengan kondisi keuangannya.
Melalui tunai keras, konsumen akan membayar pembelian rumah secara kontan. Cara ini biasanya menguntungkan karena developer akan memberikan diskon yang beÂÂsar dan tidak ada kewajiban utang. Namun tentunya Anda harus punya modal yang besar sesuai harga jual rumah untuk membayar secara tuÂÂnai keras.
Sementara melalui tunai bertaÂÂhap, konsumen akan diberikan baÂÂtas waktu pembayaran, mulai dari 6 bulan, 12 bulan, 24 bulan, hingga ada yang 36 bulan. Biasanya, Anda juga diberikan diskon, tapi tak sebesar tunai keras. Pembayaran angsuran akan langsung ke pihak developer dengan bunga 0 persen dan dilakukan selama tenggat waktu yang dipilih.
Pada skema tunai keras dan tuÂÂnai bertahap, ada satu risiko fatal yang mungkin Anda alami jika Anda bertemu dengan developer bodong. Ada risiko uang Anda dibawa kabur begitu saja tanpa pertanggungjawaÂÂban jika Anda terlalu percaya pada developer.
Sedangkan melalui KPR, bank akan dilibatkan untuk membayar pelunasan kepada developer. NaÂÂmun pengajuan KPR ke bank tidak mudah, karena banyak persyaratan yang harus dipenuhi agar permohoÂÂnan kredit Anda diterima bank.
Melalui KPR, Anda dimungkinkÂÂan untuk mencicil rumah hingga 25 tahun. Meski ada sistem bunga pada KPR, hal ini sangat membantu masyarakat dengan bujet pas-pasan untuk membeli rumah dengan ciciÂÂlan ringan dan tenggat waktu yang panjang.
Selain itu, keuntungan lainnya ialah lebih minim risiko penipuan. Sebab, terdapat pihak bank yang menjembatani antara pembeli dengan developer dan bank akan meminta sertifikat rumah yang dibeli sebagai jaminan. Sehingga jika pengembang kabur sekalipun, maka surat-surat rumah sudah ada pada bank.
Jadi, Anda kemungkinan hanya akan mengalami kerugian uang muka yang telah dibayarkan dan jumlahnya pun hanya sekitar 10- 20% dari harga jual rumah. MakanÂÂya, wajar saja jika banyak yang menÂÂganggap KPR lebih minim risiko dibandingkan tunai keras dan berÂÂtahap.
Meski masih menjadi solusi, kerap kali timbul masalah yang meÂÂnyulitkan para calon debitur saat mengajukan pinjaman KPR.
Berbagai kesulitan seperti penÂÂgajuan yang tidak disetujui hingga turunnya plafon kredit mewarnai serba-serbi pengajuan KPR di IndoÂÂnesia. Tak jarang hanya karena alaÂÂsan-alasan sepele maka pengajuan KPR ditolak.
Misalnya saja akibat tidak diÂÂangkatnya telepon saat pihak bank mengonfirmasi ataupun plafon tuÂÂrun hingga Rp 100 juta bisa menjadi alasan yang membuat proses KPR semakin rumit.
Jika ini terjadi maka pihak calon debitur (konsumen) menjadi sangat dirugikan. Padahal debitur bisa saja sudah menyerahkan uang muka atau booking fee kepada pihak peÂÂmilik rumah sehingga uang tersebut harus hangus dan sebagainya.
Pada kasus plafon kredit yang turun kerap terjadi pada pengajuan KPR untuk rumah second. Hal ini terkait nilai jaminan yang tidak sesÂÂuai dengan kondisi yang diceritakan calon debitur kepada pihak bank. Ini membuat nilai obyek turun saat proses appraisal terjadi.
Satu hal yang dapat mengaÂÂtasi seluruh kemungkinan kesuliÂÂtan tersebut di atas adalah dengan berkonsultasi dengan pihak marÂÂketing perbankan guna mengetaÂÂhui kapan bank akan menghubungi calon debitur. Menjalin komunikasi dengan pihak marketing sangat disarankan saat pengajuan KPR diÂÂlakukan. Kehadiran marketing perÂÂbankan bisa membantu calon krediÂÂtur mendapatkan KPR dengan lebih cepat.
Mintalah masukan kepada pihak marketing terkait pertanyaan apa saja yang akan diajukan bank saat melakukan appraisal. Dengan begiÂÂtu akan memudahkan calon debitur dalam menjawab.(*)