Oleh : Yuska Apitya
[email protected]
BANK Indonesia (BI) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada semester I-2016 bisa 5%. Karena pertumbuhan ekonomi di kurtal II-2016 bisa di atas 5%, atau lebih tinggi dari kuartal I-2016 yang sebesar 4,9%.
Demikian yang diungkapÂkan Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Solikin M Juhro, di Bandar Lampung, Kamis (28/7/2016). “Kalau semester I kan di kuartal I itu 4,9%, kuartal II nya berharap sekitar 5% atau lebih. Jadi semester I bisa 5%,†jelas Solikin.
Optimisme angka pertumbuhan ekonomi semester I-2016 bisa 5% dilandaskan oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah defisit APBN yang hingga saat ini berada di kisaÂran 1,8-1,9%, atau jauh di atas target pemerintah sebesar 2,4%. Besaran defisit di bawah angka 2% sudah dianggap baik. “Perbaikan stimuÂlus fiskal sudah cukup meningkat pesat. Laporan semester satu deÂfisit 1,8% sampai 1,9 %. Pemerintah mencanangkan defisit dulu 2,4% atau tidak boleh lebih dari 3% defisit APBN,†kata Solikin.
Hingga akhir 2016, BI memÂprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa tumbuh di atas 5%. Dirinya optimistis, pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2016 naik ke 5,1-5,2%. “Kalau Bank Indonesia kan sebesar 5,0% sampai 5,4%. Tahun ini memang pokoknya masih segitu antara 5,1% sampai 5,2%,†tutur SoÂlikin.
Belakangan ini, dana asing raÂmai menyerbu pasar Indonesia. Sentimen positif juga mulai terasa di pasar modal dari sebelum diberÂlakukannya tax amnesty alias penÂgampunan pajak. Bahkan beberapa hari terakhir Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka menghijau di atas angka 5.000.
Ramainya dana asing yang maÂsuk ke Indonesia juga dikarenakan rendahnya inflasi yang berada di kisaran 1,8-19%. Selain itu, kebijakan pemerintah dalam menjalankan program tax amnesty juga disambut baik oleh pelaku pasar. “Rupiah menÂguat ada banyak faktor, kan dari segi domestik fundamental membaik, inflasi terkendali, current account deficit lebih rendah. Bicara nilai tukar mestinya kebijakan dianggap direspons positif,†papar Solikin. Sri Mulyani Gairahkan Pasar
Presiden Joko Widodo ( Jokowi) kemarin telah melantik Sri Mulyani untuk menduduki jabatan Menteri Keuangan. Sri Mulyani juga sebelÂumnya sempat menjabat kursi MenÂteri Keuangan di era SBY, hingga keÂmudian melenggang ke Bank Dunia untuk menduduki jabatan Direktur Pelaksana di lembaga internasional tersebut.
Langkah Jokowi menarik kembaÂli salah satu wanita berpengaruh di dunia tersebut juga menuai respons positif di pasar. Terlihat dari angka IHSG yang dibuka menghijau dalam dua hari ini.
Wanita yang akrab disapa Ani ini dianggap mampu mengemban tangÂgung jawab menangani permasalaÂhan ekonomi di Indonesia. “Karena beliau banyak pengalaman di keÂmenterian, mulai dari Kepala BapÂpenas, Menteri Keuangan, IMF, dan World Bank. Beliau dianggap memiÂliki kemampuan dan pengalaman sehingga membentuk wisdom,†tuÂtup Solikin.
Terpisah, Gubernur Bank InÂdonesia (BI), Agus Martowardjojo, menyebut arus deras dari dana asÂing yang masuk (repatriasi) selama pemberlakuan tax amnesty, sebÂagai pisau bermata dua. Di satu sisi, dana yang selama ini mengendap di luar negeri bisa menggerakkan ekoÂnomi sektor riil, namun di sisi lainÂnya bisa memicu bubble jika terlalu banyak masuk instrumen keuangan dan pasar modal.
“Kita juga harus mengantisipasi dana masuk karena program proÂgram pengampunan pajak. Kalau dana ini masuk tentu ini sebuah tantangan bagaimana ini bisa disÂalurkan ke sektor produktif,» kata Agus, kemarin. «Ini yang utama, karena dana yang masuk sangat besar tapi tidak masuk ke sekÂtor produktif. Ini bisa jadi beban, malah bisa membuat kondisi yang kita sebut over hitting atau bubÂble,†tambahnya.
Mantan Menteri Keuangan ini mengungkapkan, sampai tanggal 25 Juli 2016 lalu saja, sudah ada Rp 128 triliun dana asing yang masuk sebÂagai respons atas pemberlakuan tax amnesty.
“Kita sampai Juni saja masuk Rp 102 triliun, sekarang sampai 25 Juli dana masuk sudah sampai Rp 128 triliun. Coba bandingkan denÂgan tahun lalu, satu tahun saja Rp 55 triliun. Artinya itu jumlah yang sangat besar, nah ini masuk ke pasar modal, pasar keuangan seperti SBN (Surat Berharga Negara), juga pada instrumen BI,†terang Agus.(*)
Bagi Halaman