Di level masyarakat Indonesia, hukuman mati tidak menjadi isu sangat serius karena masih banyak praktik adat dan kebiasaan di beberapa masyarakat di Indo­nesia yang ‘menoleransi pengadilan jalanan’ sebagai bagian nilai budaya yang hidup. Juga, masih lekatnya pengaruh hukum agama, sebutlah hukum pidana Islam yang mengatur hukuman mati untuk jenis kejahatan tertentu (Hadd/Qishas). Pengaturan ini membuat se­bagian masyarakat Muslim Indonesia menganggap hu­kuman mati wajar adanya. Bagi sebagian korban dan keluarga korban tindak pidana, hukuman mati untuk pelaku justru dianggap memberikan keadilan bagi mer­eka dan tidak melanggar HAM.

Permasalahan muncul ketika pascareformasi 1998, Indonesia banyak melahirkan UU bernuasa HAM, an­tara lain, UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, dilanjut­kan dengan ratifikasi dua Kovenan Internasional, mas­ing-masing International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Econom­ic Social and Cultural Rights (ICESCR) pada 2005.

BACA JUGA :  PENTINGNYA SERAGAM SEKOLAH UNTUK KEBERSAMAAN

Mandat dari instrumen HAM tersebut (ICCPR), antara lain, negara harus menghargai hak hidup dan mewajibkan negara memiliki policy dan legislasi yang melindungi hak hidup dan martabat kemanusiaan. Maka, kendati tidak eksplisit menyerukan hukuman mati, hadirnya instrumen itu semakin menegaskan ke­senjangan dengan produk perundang-undangan Indo­nesia yang mengatur hukuman mati.

Permasalahan selanjutnya, manajemen dan hu­kum acara eksekusi mati di Indonesia. Rata-rata para terpidana mati harus menunggu cukup lama sejak putusan pengadilan negeri sampai dengan grasi dito­lak dan eksekusi mati dilakukan. Kalangan awam akan bertanya, mengapa harus memenjara orang hingga 20 tahun kalau akhirnya dieksekusi mati juga?

Cara mengeksekusi mati juga perlu dikaji kembali. Apakah masih tepat menggunakan tembakan (senjata api) oleh sekelompok regu tembak kepolisian yang bekerja berdasarkan UU No 2/ PNPS/ 1964 jo Peraturan Kapolri No 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksa­naan Pidana Mati, ataukah ada cara lain yang lebih efektif dan meringankan penderitaan sang terpidana semisal suntikan mati, kursi listrik, kamar gas beracun, digantung, ataupun dipenggal kepalanya, misalnya? Negara-negara di dunia yang masih menerapkan pidana mati bervariasi dalam pilihan metode eksekusi ini. Maka, amat wajar apabila Indonesia meninjau kembali metode eksekusi mati, apalagi produk hukumnya sudah berusia lebih dari 50 tahun (UU No 2/ PNPS/ 1964).

BACA JUGA :  REFLEKSI HARI PENDIDIKAN NASIONAL: REPRESI SISTEM PENDIDKAN DALAM BENTUK KOMERSIALISASI

Apabila permasalahan di atas tidak dituntaskan, ke depannya Indonesia akan terus mengalami kontroversi dan ‘perang urat saraf’ yang akhirnya melebar tak lagi di ranah hukum, juga masuk ke wilayah sosial dan poli­tik ini, baik datang dari dalam maupun luar negeri.(*)

Halaman:
« ‹ 1 2 » Semua
============================================================
============================================================
============================================================