Dengan modal Rp 10 miliar Fred­dy bisa meraup triliunan karena harga satu butir narkoba di pasaran berkisar Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu.

Dia bisa membagi puluhan miliar ke beberapa pejabat. Selama be­berapa tahun bekerja sebagai peny­elundup, ia terhitung menyetor Rp 450 miliar ke BNN dan Rp 90 miliar ke pejabat tertentu di Mabes Polri. Saking dekatnya Freddy dengan pe­jabat itu, ia bahkan pernah difasilita­si mobil TNI bintang dua dari Medan menuju Jakarta. Si jenderal duduk di sampingnya yang sedang menyetir mobil dengan kondisi di bagian be­lakang penuh narkoba. “Perjalanan saya aman tanpa gangguan apap­un,” ucap dia.

Freddy kecewa karena pada akh­irnya ia tetap ditangkap. Barang nar­kobanya disita. Anehnya, barang-ba­rang itu malah beredar di pasaran. Ia mengetahui hal itu dari laporan jaringannya di lapangan. Menurut Freddy, setiap pabrik yang mem­buat narkoba punya ciri masing-ma­sing mulai bentuk, warna, dan rasa. Bosnya yang mengetahui hal itu pun bertanya-tanya.

“Katanya udah deal sama polisi, tapi kenapa lo ditangkap? Udah gitu kalau ditangkap kenapa barangnya beredar? Ini yang main polisi atau lo?” ujar dia. Saat berada dalam pen­jara Freddy masih bisa menjalankan bisnis narkoba. Menurut pengakuan Kepala Lapas Nusa Kambangan Sitinjak, setiap ada pejabat BNN yang mengunjungi Lapas, ia diminta untuk mencopot CCTV yang menga­wasi Freddy Budiman.

BACA JUGA :  Warga Gunungsindur Bogor Digegerkan dengan Penemuan Seorang Pria Gantung Diri dalam Sebuah Gubug

Kemudian Freddy mengaku di­datangi polisi dan ditawari untuk kabur dari penjara. Awalnya ia tak mau karena masih bisa menjalankan bisnis dalam penjara. Tapi karena tahu polisi itu butuh uang, jadi dia menerimanya. “Tapi saya bilang ke dia kalau saya tidak punya uang, lalu polisi itu mencari pinjaman uang ki­ra-kira 1 Miliar dari harga yang disepakati 2 miliar,” katanya.

Freddy pun bebas. Namun, be­berapa hari kemudian ia ditangkap lagi. Ia sadar sejak awal ia hanya di­peras. Freddy pun tak pernah lagi ke­luar dari penjara hingga ia dihukum mati dini hari tadi, Jumat, 29 Juli 2016.

Dalam keterangannya, Ke­pala BNN Komisaris Jenderal Budi Waseso mengungkapkan komit­mennya dia dalam memberantas narkoba. Budi mengatakan dirinya mendukung setiap langkah hu­kum dalam mengusut kebenaran kisah Haris. “BNN akan tetap pada komitmennya dalam memberantas peredaran gelap narkotika hingga ke akar-akarnya dan mendukung terciptanya aparat penegak hukum yang bersih,” kata dia.

Jika seluruh cerita Haris Azhar terbukti bahwa ada pejabat BNN yang membantu terpidana mati dalam kasus kepemilikan narkoba untuk melancarkan bisnis narkoban­ya, Budi Waseso berjanji akan mem­berikan sanksi tegas. “BNN akan memberikan sanksi yang tegas dan keras sesuai dengan aturan hukum yang berlaku,” kata Budi Waseso.

Sementara itu, bekas Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komisaris Jenderal (Purn) Anang Iskandar menegaskan dirinya tidak mengenal Freddy Budiman. Anang menyebutkan bahwa Freddy sudah divonis mati dan mendekam di pen­jara saat dia menjabat sebagai Kepala BNN. “Saya tidak tahu Freddy ada kongkalikong dengan orang BNN. Ketika di BNN, saya buat sistem agar jajaran saya tidak bisa berhubungan dengan penjahat narkoba. Caranya, saya baiat mereka agar tidak mau main-main,” kata Anang, kemarin.

BACA JUGA :  Kecelakaan Pemotor di Kudus Tertabrak Truk saat Hendak Menyalip

Anang juga menyatakan, selalu berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemente­rian Hukum dan HAM agar memasti­kan tidak ada petugas di rumah tah­anan yang membantu narapidana kasus narkoba menjalankan bisnis dari balik jeruji.

Bekas Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, itu pun mengatakan siap membantu jika BNN yang seka­rang dipimpin oleh Komisaris Jen­deral Budi Waseso membutuhkan keterangan soal cerita Freddy yang mengaku menyetor uang miliaran rupiah ke oknum pejabat BNN. “Saya siap bantu, boleh saja,” tegasnya.

Sementara, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Men­ko Polhukam) Wiranto mempertan­yakan tulisan Koordinator KontraS Haris Azhar. “Sumbernya dari mana? Sumber dulu dong. Tidak bisa asal daripada jadi polemik yang tidak-tidak,” ujar Wiranto saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (31/7/2016).

Wiranto mengatakan bahwa semua pihak harus melihat fakta hu­kum yang ada dan melihat seluruh proses hukum. “Ya kita lihat fakta hukumnya dulu deh. Fakta hukum, lewat bagaimana hukum itu berbi­cara,” tandasnya.(*)

 

Halaman:
« 1 2 » Semua
============================================================
============================================================
============================================================