TEMUAN daging oplosan babi di Pasar Anyar Kota Bogor kemarin menjadi preseden buruk bagaimana kotornya perputaran pangan di negeri ini. Ini memang bukan fenomena baru karena hingga hari ini harga daging sapi masih mahal.
Tingkat konsumsi masyarakat terhadap dagÂÂing sapi memang tinggi. Meningkatnya kebutuÂÂhan masyarakat akan daging sapi ini tentu akan mendongkrak pula harga jual komoditas yang satu ini. Hukum pasar pun tak bisa terelakkan bila permintaan masyarakat tinggi. Selain huÂÂkum pasar berlaku, biasanya kondisi tersebut dimanfaatkan oleh sekelompok orang yang mencari keuntungan pribadi dengan melangÂÂgar aturan hukum yang ada.
Kasus penjualan daging babi hutan (celeng) kerap kali ditemukan di sejumlah daerah di tanah air. Hewan yang harap dikonsumsi oleh umat Islam ternyata dijadikan komoditas oleh para penjahat untuk meraup keuntungan. DagÂÂing celeng ini dicampur atau dioplos dengan daging sapi untuk kemudian dijual bebas di pasÂÂaran. Masyarakat yang tak jeli dan tak tahu akan ciri-ciri daging celeng ini pun akan menjadi koÂÂrban. Kasus terakhir yang berhasil dibongkar polisi adanya sindikat pengoplos daging celeng dengan daging sapi di wilayah hukum Polres Bandung. Polisi berhasil menangkap suppliÂÂyer daging celeng yang biasa mengirim ke para pedagang di pasar. Tak hanya suppliyer, polisi pun meringkus pedagang di pasar tradisional yang tega mencampur daging celeng dengan daging sapi.
Tersangka pedagang daging di pasar tradisÂÂional yang diamankan polisi mengaku membeli daging celeng seharga Rp 35 ribu per kilogram dari seorang suppliyer asal Sumatra. Dari ceÂÂleng tersebut kemudian dioplos dengan daging sapi. Hasil oplosan ini kemudian dijual dengan harga Rp 85 ribu per kilogramnya. Sementara harga daging sapi normal di pasaran sekitar Rp 105 kilogram. Selisih harga yang cukup jauh ini tentunya bisa menjadi acuan bagi masyarakat. Konsumen patut menaruh curiga mengapa harÂÂga daging yang dijual di pasaran harganya beÂÂrada di bawah rata-rata? Karena itu masyarakat jangan mudah terkecoh dengan harga murah sebuah produk di pasaran. Justru sebaliknya konsumen patut curiga mengapa harga barang tersebut murah dibanding harga normal.
Ada beberapa pasal yang mengikat pelaku oplosan daging, diantaranya pasal 62 ayat (1) jo pasal 7 dan pasal 8 ayat (1) huruf a UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Subsider pasal 136 huruf b jo pasal 75 ayat (1) UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan, dan pasal 31 ayat (1) UU No 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan. Ancaman hukuÂÂman untuk ketiga tersangka lima tahun penÂÂjara. Penerapan pasal berlapis terhadap para tersangka memang sangat tepat. Selain merugiÂÂkan konsumen secara materil, masyarakat yang membeli daging sapi oplosan ini pun dirugikan secara non-materi lantaran mengkonsumsi dagÂÂing yang dilarang oleh agama Islam.
Selain daging sapi oplosan, kasus yang banÂÂyak ditemukan di masyarakat kita adalah sapi glonggongan. Sapi glonggongan adalah sapi yang diberikan minum sebanyak-sebanyaknya sampai lemas sebelum dilakukan pemotongan. Dengan cara ini diharapkan berat daging sapi akan bertambah dari sapi normal. Para pelaku penggelonggongan diancam jeratan pasal berÂÂlapis, beberapa di antaranya ialah Undang-UnÂÂdang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan dengan ancaman penjara 15 tahun penjara atau denda Rp 300 juta, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, mengedarkan pangan yang mengandung bahan kotor, busuk, tengik, dan terurai, atau bahan yang berasal dari bangkai sangat dilarang. Ancaman adalah penjara selama 1 tahun atau denda sebesar Rp 120 juta serta Undang-Undang (UU) PerlindunÂÂgan Konsumen No 8/1999 dan UU No 7 tahun 1996 tentang Pangan, dengan ancaman kurunÂÂgan lima tahun dan denda sebesar Rp 2 miliar rupiah.(*)
Bagi Halaman