ISLAM adalah suatu pengertian, suatu paham, suatu begrip sendiri, jang mempujai sipat-sipat sendiri pula. Islam tak usah ‘demokratis’ 100%, bukan pada otokrasi 100%, Islam itu……jah, Islamâ€. (M. Natsir, Kapita Selecta : 453). Ungkapan penggagas partai Masyumi ini adalah salah satu pemikiran dan keyakinannya saat menanggapi pujian Soekarno kepada Kemal Attaturk yang mengubah ideologi Islam di Turki menjadi negara demokrasi Barat.
Oleh: DR. AHMAD SASTRA
Dosen Pascasarjana UIKA Bogor
Turki modern yang berasas demokrasi dalam pandangan Natsir merupakan outlook Barat yang justru akan menjadikan ideologi Islam tersingkir dari perÂadaban Turki. Buktinya di tanÂgan besi Attaturk, saat itu Turki benar-benar menjadi negara sekuler dibawah hegemoni dan kendali Barat. Akibatnya, Turki tak lagi menjadi negara adidaya, bahkan Islam dihapus dari agama resmi negara. Wajar jika Erdogan mencoba mengembalikan nilai IsÂlam – meski belum secara ideoloÂgis -, sisa-sisa kaum kemalis miliÂter mencoba melakukan kudeta.
Kegagalan kudeta Turki (15/7/16) dalam pengamatan penÂulis opini, utamanya disebabkan oleh gerakan rakyat yang mayoriÂtas mendukung perubahan yang dilakukan oleh Erdogan selama berkuasa di Turki saat ini. FakÂtor lain adalah telah tumbuhnya kembali kesadaran keberislaman masyarakat Turki, mengingat kejayaan Daulah Ustmani yang berideologi Islam belum hilang dari memori rakyat Turki. Jika inÂgin mengetahui peninggalan keÂjayaan Daulah Islam, maka Turki adalah bukti paling dekat. Karena itu ketika lembaran-lembaran sejarah Turki Ustmani dibuka, maka akan cepat menumbuhkan kesadaran rakyat Turki. KegagaÂlan kudeta Turki juga akan memÂbuka memori sejarah kejayaan Daulah Khilafah Ustmani di kaÂlangan kaum muslimin di negara lainnya.
Tidak bisa dipungkiri, fakta membuktikan bahwa Turki hari ini tumbuh sebagai negara adidaya baru yang ditandai denÂgan loncatan pertumbuhan ekoÂnomi fantastis dengan perkapita 11.000 USD dan masuk negara G 10. Selain itu Erdogan juga menÂdorong kehidupan Islami rakyatÂnya dengan menghidupkan kemÂbali pengajian-pengajian Islam, kajian-kajian al Qur’an tumbuh pesat, pengajian bahasa Arab diÂhidupkan kembali, penggunaan jilbab di kalangan muslimah disÂemarakkan yang pada zaman sekulerisme Atturk dilarang, bahkan sains dan teknologi menÂgalami kemajuan pesat.
Dalam kondisi ini Erdogan diÂanggap terlalu mengarah kepada Islamis oleh kalangan sekuler terÂutama militer. Meski harus diakui juga bahwa Erdogan juga menoÂlak usulan penerapan konstitusi Islam, menghentikan penerbitan media massa mainstream, ErdoÂgan juga tidak terlepas dari tuduÂhan-tuduhan korupsi bahkan ia juga menjalin kerja sama dengan Israel yang jelas-jelas banyak menzolimi kaum muslimin PalesÂtina. Wajar jika kemudian ada peÂnilaian bahwa Erdogan juga tetap ingin mempertahankan negara demokrasi Turki dengan meÂnyatakan dukungannya kepada kemalisme, bukan ingin negara Islam Turki. Secarade facto, TurÂki hari ini masih sekuler.
Karena itu dalam perspeÂktif developmentalisme, Turki di tangan Erdogan adalah Turki yang memiliki semangat transÂformasi ke arah kehidupan yang lebih Islami dan semakin menÂjauh dari kehidupan yang sekulÂeristik. Kondisi inilah yang kemuÂdian menjadikan Turki hari ini menjadi kiblat dunia Islam yang diharapkan mampu mengembaÂlikan kejayaan Islam. Kondisi ini jugalah yang telah menggerakÂkan kaum Kemalis militer untuk melakukan kudeta agar Turki dalam kendali mereka untuk tetap mempertahankan sekulÂerisme. Tidak dipungkiri bahwa kaum liberalis dan sekuleris di Turki masih signifikan jumlahnÂya. Namun dalam perspektif idealisme Islam, Erdogan tentu belum bisa memenuhi cita-cita peradaban Islam masa lalu yang menjadikan konstitusi Islam sebÂagai dasar perundang-undangan negara sebagaimana diterapkan oleh Daulah Khilafah Ustmaniyah pada masa kejayaan Islam.
Penulis opini pernah menuÂlis skripsi tentang pemikiran dakwah M Natsir. Kudeta Turki seolah mengingatkan kembali memori lama tentang pandanÂgan Natsir tentang dinamika politik Turki. Dalam dinamika hubungan Islam dan negara yang berkembang di Turki, sejak awal Mohammad Natsir memberiÂkan perhatian yang besar. Dalam pandangan Natsir, sebagaimana diungkapkan oleh HAMKA dalam kata sambutan buku kapita seleÂkta M Natsir bahwa Islam tidak terpisah dengan negara.
Lebih lengkap HAMKA menuÂlis, “ M Natsir berpendapat, IsÂlam bukanlah semata-mata suatu agama, adalah suatu pandangan-hidup jang meliputi soal-soal politik, ekonomi, sosial dan kebuÂdajaan. Baginja Islam itu adalah sumber dari segala perdjuangan atau revolusi itu sendiri, sumber dari penentangan setiap matjam pendjadjahan : eksploitasi maÂnusia atas manusia ; pemberanÂtasan kebodohan, kedjahilan, pendewaan dan djuga sumber pembantrasan kemelaratan dan kemiskinan. Nasionalisme hanyÂalah langkah menuju persatuan manusia dibawah lindungan dan keridhaan ilahi. Islam tidak meÂmisahkan antara keagamaan dan kenegaraan. Sebab itu, Islam itu adalah primairâ€.
Lebih tegas dinyatakan Natsir bahwa Islam bukanlah semaÂta-mata agama “peribadatan†melainkan keseluruhan kaidah dalam muamalah dalam maÂsyarakat menurut garis-garis yang ditetapkan oleh Islam itu sendiri. Untuk menjaga supaya aturan-aturan dan patokan itu dapat berlaku dan berjalan sebÂagaimana mestinya, perlu dan tiÂdak boleh tidak, harus ada suatu kekuatan dalam pergaulan hidup berupa kekuasaan dalam negara. untuk memperkuat pandanganÂnya, Natsir mengutif sebuah hadÂist riwayat Ibnu Katsir, “ SesungÂguhnya Allah memegang dengan kekuasaan penguasa, yang tidak dapat dipelihara dan dipegang oleh al Qur’an ituâ€.
Dalam pandangan NatÂsir, hukum-hukum yang tertera dalam al Qur’an tidak mungkin bisa terterapkan dengan sendirinÂya, dengan semata-mata al Qur’an diletakkan di atas lemari atau sekalipun dijunjung diatas keÂpala. Penegasan itu ia ungkapkan setelah menelaah ucapan Kemal Attaturk (1973 : 437) , “ Jangan marah, kita bukan melemparkan agama kita, kita cuma menyerahÂkan agama ke tangan rakyat kemÂbali, lepas dari urusan negara suÂpaya agama dapat jadi subur†.
Natsir sangat kecewa terhaÂdap penggambaran buruk yang dilakukan oleh para sejarawan Eropa terhadap Daulah Turki Ustmani. Sejarawan Eropa telah menulis dan menyebarkan keÂagungan kekhalifahan Islam dengan gambaran pemimpin Islam yang sangat buruk peranÂgai dengan nada tulisan yang penuh kebencian yang dalam bahasa Natsir ditulis dengan nada vooroordeel (su udzdzan). Padahal Islam jelas mewajibkan memilih pemimpin yang beriÂman, tunduk sepenuhnya kepaÂda perintah Allah dan RasulNya (1973:439).
Jikapun ditemukan berbagai perilaku yang tidak mulia dari kalangan pemimpin Islam, maka yang harus dipisahkan bukanlah Islamnya dari negara. Natsir menÂegaskan yang harus dipisahkan adalah kejahatannya, kemaksiÂatannya, kesyirikannya, kerakuÂsannya, dan kesombongannya. Sebab perilaku-perilaku itulah yang telah menjadikan terperoÂsoknya kejayaan Islam di dunia dan keselamatan di akherat . Penting juga ditanamkan dalam dada penduduk negara satu falÂsafah kehidupan yang luhur dan suci, satu ideologi yang mengÂhidupkan semangat untuk berÂjuang mencapai kejayaan dunia dan kemenangan akherat. Semua itu terkandung dalam satu susuÂnan, satu stensel, satu kultur, satu ajaran, dan satu ideologi yang bernama…..Islam. (1973 : 440).
Dalam perspektif pandangan Natsir, maka Turki pasca kudeta masih harus menjalani dinamika politik panjang. Kaum kemalis yang tak rela Turki kembali meÂnyatukan antara agama dan negÂara akan terus berusaha mengÂhalangi. Meski Erdogan sendiri belum benar-benar nampak inÂgin mengembalikan penyatuan antara agama dan negara. NaÂmun setidaknya ini menjadi cermin bagi upaya perjuangan menegakkan ideologi Islam yang tidak akan sepi dari penentangan kaum liberal dan sekuler. Hal ini juga membuktikan bahwa jalan demokrasi bukanlah jalan unÂtuk menerapkan ideologi Islam secara kaffah. Sebab bagi Natsir, demokrasi kebenaran mutlak seÂbagaimana Islam itu sendiri.
Separo benar, lantaran itu : tidak benar !. Itulah kalimat banÂtahan Natsir terhadap tulisan Dr. I.J. Brugmans dalam bukuÂnya Geschiedenis van het OnderÂwijs in net Indie yang dengan tajam mengkritik ajaran Islam namun tidak memiliki cukup pemahaman terhadap hakekat Islam itu sendiri. Padahal negÂara adalah satu intergreerend deel dengan Islam yang jika diterapkan secara benar dan meÂnyeluruh akan membawa kebaiÂkan bagi kehidupan dunia mauÂpun kehidupan akherat kelak. Baik di Turki maupun di seluruh penjuru dunia. (*)
Bagi Halaman