PADA Februari lalu, Kemensos mencatat ada 168 daerah yang memiliki lokalisasi prostitusi, denÂgan jumlah PSK (Pekerja Seks Komersial) 56.000 orang. Penutupan dilakukan dilakukan secara bertahap.
Ketika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta meÂnutup Kalijodo, beberapa waktu lalu, Jumlah loÂkalisasi di Indonesia kini tinggal 99 tempat. Dari jumlah tersebut, sebanyak 35 lokalisasi berlokasi di Kalimantan Timur, 12 di antaranya di Kukar.
Dalam berbagai kesempatan, Khofifah selalu menyosialisasikan alasan pemerintah menutup semua lokalisasi. Yang paling mendasar, karena tidak ada satu pun UU di Indonesia yang melegalÂkan dan membenarkan lokalisasi prostitusi.
Selain itu ada empat masalah fundamental yang ada di balik prostitusi, yaitu perbudakan, tindak kejahatan, eksploitasi, serta perdagangan manusia.
Khofifah sangat menyadari bahwa kebijakan menutup lokalisasi prostitusi, akan mendapatÂkan berbagai kritikan. Ia juga tidak menafikkan bila penutupan lokaliasi, justru akan menjadikan prostitusi menyebar. Karena ketika ada lokalisasi pun prostitusi sudah menyebar via dunia maya.
Memang pemerintah tak hanya menutup loÂkalisasi, lalu membiarkan PSK yang ada di temÂpat itu. Terhadap PSK, pemerintah memberikan kompensasi berupa bantuan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) Rp3 juta per orang. Juga Jaminan Hidup ( Jadup) sebesar Rp10 ribu x 90 hari total Rp5.050.000. Serta beragam pelatihan kejuruan (vocational training).
Tak bisa dihindari, setiap penutupan lokaÂlisasi selalu muncul pro-kontra. Ada yang meÂminta segera dilakukan, dan sebaliknya ada yang meminta mengurungkan. Ketika Walikota SuraÂbaya Tri Rismahrini, menutup lokalisasi Dolly, ia menghadapi hal serupa.
Para pimpinan umat meminta lokalisasi segera ditutup. Alasannya prostitusi adalah kejaÂhatan terhadap kesusilaan dan moral, yang melaÂwan hukum. Tapi banyak penggiat sosial yang minta Dolly tak perlu ditutup.
Alasannya selain persoalan ekonomi, PSK juga akan menyebar dan makin tidak terkontrol. Padahal PSK membawa risiko penularan penyaÂkit, termasuk HIV/AIDS.
Risma menyadari, tak mudah menutup seÂbuah lokalisasi. Terutama, karena ia tahu Pemkot Surabaya tak mungkin bisa menghidupi semua PSK yang ada di tempat itu, setelah penutupan. Namun akhirnya Risma punya alasan yang kuat, tak sekadar kekuasaan dan pijakan hukum, tapi ada aspek kemanusiaan, pendidikan bahkan psikososial, yang melatarbelakanginya.
Salah satunya adalah cerita miris, yang ia dapatkan dari seorang berusia 60 tahun. PSK ini sudah melacurkan diri sejak usia 19 tahun. Di usia senjanya pun ia masih menjalani pekerjaan itu. Pelanggannya adalah anak SD dan SMP, dengan tarif Rp1000-Rp2000, sesuai uang jajan anak-anak tersebut.
Pemerintah kota Surabaya ingin melindungi banyak hal dalam penutupan Dolly. Dari penÂegakan hukum, kemanusiaan, sampai pendidiÂkan anak, dan lingkungan sosial anak.
Nah dalam konteks penutupan lokaliasasi seÂcara nasional pun, Mensos punya alasan serupa. Yaitu posisi tegas negara dalam melindungi wargÂanya, dari perdagangan manusia yang terlemÂbaga. Bila lokalisasi tidak ditutup, berarti negara juga melegalkan perdagangan manusia.
Pemerintah memang punya otoritas untuk menutup lokalisasi prostitusi. Karena memang keberadaan lokalisasi selama ini, hanya berdasarÂkan kebijakan pemerintahan kota yang tidak merujuk pada UU. Namun pemerintah juga harus menyadari bahwa penghapusan lokalisasi, tidak sama artinya dengan menghapuskan PSK.
Kompensasi uang dan pelatihan keterampilan dan kewirausahaan yang diberikan tersebut, beÂlum tentu bisa mengentaskan PSK dari profesinÂya. Tak semua orang bisa menjadi wirausahawan. Jika percaya prinsip Pareto, hanya 20 persen PSK yang berpotensi memanfaatkan bantuan UEP, seÂcara baik dan menghasilkan karya produktif.
Pelacur dan pelacuran di Indonesia, adalah persoalan yang sangat kompleks. Penyebab munculnya pelacuran tak hanya soal kemiskinan (ekonomi). Tapi tingginya aspirasi material dan dukungan budaya, meski peranan kemiskinan tidak dapat diabaikan.
Artinya keberadaan pelacur dan rumah borÂdil, bukan sekadar adanya lokalisasi dan PSK, tapi ada aneka rentetan kepentingan dan bisnis di belakangnya.
Menurut situs Global Black Market InformaÂtion, Havoscope, perolehan bisnis pelacuran di Indonesia mencapai USD2,25 miliar, atau sekitar Rp30 triliun setahun. (*)
Bagi Halaman