Selain itu, biaya logistik yang tinggi menjadi salah satu kendala karena persoalan infrastruktur dan konektivitas. Tidak hanya itu, perÂsoalan regulasi dan birokrasi juga berkontribusi menyulitkan pelaku usaha di sektor manufaktur. “PeÂrusahaan-perusahaan Indonesia mengeluarkan biaya yang besar karena buruknya logistik, kesenÂjangan infrastruktur, dan prosedur izin dan lisensi yang membatasi. Ini yang melemahkan perusahaan-peÂrusahaan yang berlokasi di IndoneÂsia dibandingkan negara pembandÂingnya yang beroperasi dengan biaya lebih rendah,†kata Diop.
Turunnya pertumbuhan sektor manufakturing ini menurut Diop harus kembali digenjot pemerintah. Hal itu karena pertumbuhan sektor manufaktur ini berkontribusi terhaÂdap pertumbuhan GDP.
“Rendahnya kinerja manufaktur pasca tahun 2000 ini tampaknya menurunkan pertumbuhan ekoÂnomi secara keseluruhan. PertumÂbuhan manufaktur berkontribusi terhadap pertumbuhan GDP, koreÂlasinya jelas, di tahun 1990 pertumÂbuhannya cepat dan Pertumbuhan GDP-nya juga cepat,†ujar Diop.
Menurutnya, jika Indonesia kembali menghidupkan sektor manufaktur bisa berdampak pada pertumbuhan GDP Indonesia. Hal itu terjadi karena adanya hubunÂgan yang kuat antara pertumbuhan manufaktur dengan pertumbuhan ekonomi. Manufaktur bisa menyerÂap 13% tenaga kerja yang tersedia di bursa tenaga kerja Indonesia.
“Kunci kontribusinya di balik dari pertumbuhan itu mungkin jika kita mengatur dan menghidupkan kembali manufaktur akan GDP berÂtumbuh. Kuatnya korelasi antara pertumbuhan manufaktur dan keÂseluruhan pertumbuhan ekonomi tidak mengejutkan karena manuÂfaktur mencakup hampir seperlima dari jumlah produksi dan 13% dari keseluruhan lapangan kerja di IndoÂnesia,†ujar Ndiame.
Bank Dunia menekankan, tingginya biaya logistik semakin menggerogoti daya saing manuÂfaktur Indonesia. Pasalnya, saat ini rata-rata 25 persen dari hasil penjualan produk manufaktur habis hanya untuk biaya logistik.(*)