Kritik tajam mengenai wacana full day school yang belum lama ini digulirkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy tengah mewarnai dunia pendidikan tanah air Indonesia.Tentunya gagasan ini dilontarkan tiada lain untuk memberikan pendidikan karakter yang memadai kepada para peserta didik di sekolah.Namun,di luar dugaan gagasan Menteri Muhadjir mendapat kritik tajam dari berbagai kalangan,dari orang awam hingga cendikiawan.Hanya sehari setelah wacana itu dicanangkan,kritikpun membuncah.Ada apa dengan full day school?
Oleh: NELI LANTIPAH
Guru Bahasa Indonesia SMP Negeri 1 Dramaga Bogor
Tujuan dari full day school yaitu peneraÂpan sistem belajar sehari penuh. MenuÂrut Menteri MuhadÂjir FDS ini tidak berarti peserta didik belajar seharian penuh, tetapi memastikan bahwa peserta didik dapat mengikuti kegiatan- kegiatan penanamanÂpendidikan karakter, seperti mengikuti kegiatan ekstrakuÂlikuler.Kegiatan belajar sehari penuh di sekolah ,seperti yang diungkapkan oleh Ahmad SasÂtra, dosen literasi UIKA Bogor mengandung makna belajar seÂharian.Jadi, seharusnya menuÂrut beliau FULL DAY LEARNING. Ungkapan itu benar adanya jika ditinjau dari sisi makna. Peserta didik bukan hanya diam di sekoÂlah ,melainkan mereka berakÂtivitas untuk belajar.Kalau full day school bermakna seharian di sekolah.
Apalagi seperti yang diungÂkapkan oleh Menteri Muhadjir bahwa tujuan FDS ini untuk membendung pengaruh-pengaÂruh buruk yang diterima anak saat orang tua sibuk bekerja dan tak sempat mengawasi.Selain itu, banyak hal yang bisa dipelaÂjari anak-anak untuk menambah wawasan mereka.Hal itu sangat bagus mengingat betapa banÂyak anak didik yang sudah tidak dapat terkontrol lagi pergaulanÂnya.Orang tua sibuk bekerja, pergi subuh pulang malam seÂhingga pengawasan terhadap anak berkurang. Namun tentunÂya, tidak semua orang tua seperti itu, masih banyak yang bisa memengontrol anak –anaknya.
Pada intinya kenapa waÂcana FDS digulirkan ,jawabanÂnya adalah biar anak belajar di sekolah seharian dan tentunya dengan kegiatan eskul. Bukan seharian di sekolah tanpa aktiviÂtas.Jadi,istilah full day learning itulah yang bermakna belajar seÂharian.Banyak alasan bagi merÂeka yang kurang setuju,seperti yang diungkapkan Rizma seorang guru dari Tegal bahwa sore hari banyak peserta diÂdik yang belajar di madrasah. Jadi,kalau sekolah seharian penÂdidikan akhiratnya terabaikan.
Selain itu,kondisi peserta didik tidak sama.Bagi mereka yang kondisinya kuat, mungkin tak ada hambatan kalau belajar sampai sore. Adakalanya walauÂpun kuat, kondisi psikis mereka belum tentu kuat ,ikhlas, mengÂhabiskan waktunya seharian di sekolah, apalagi belum terbiasa. Sistem yang sekarang saja maÂsih banyak peserta didik yang kurang konsentrasi. PenyebabÂnya bisa beragam dari mulai pengaruh virus medsos atau banyak masalah keluarga,dll.
Seperti yang diungkapkan Ketua Dewan Pembina Komnas Perlindungan Anak Seto MuÂlyadi, dia menjelaskan bahwa penerapan sistem FDS itu diÂwacanakan agar semua pihak ,termasuk masyarakat,memberi masukan.Namun ,menurut beÂliau kesannya terlalu terburu –buru diumumkan.Butuh pengÂkajian lebih dalam dari respon masyarakat terhadap usulan kebijakan FDS setiap daerah meÂmiliki kebijakan masing-masing dalam penerapan waktu kegÂiatan belajar mengajar.Selain itu,hak-hak anak perlu diperÂtimbangkan.Yang penting proses belajar itu harus ramah anak.
Walaupun wacana ini merupakan pelaksanaan ke depan,yakni menyangkut karaÂkter bangsa kiranya gagasan ini perlu dikaji ulang.Mengingat beÂlum tentu FDS ini cocok untuk semua sekolah ,apalagi sekolah daerah terpencil.Pada umumÂnya di daerah terpencil ,sepuÂlang sekolah banyak peserta didik yang membantu orang tuanya baik berladang,mencari ikan,dll. Di daerah-daerah terÂtentu banyak peserta didik unÂtuk berangkat dan pulang saja memerlukan waktu dua atau tiga jam.Sebaliknya bagi sekoÂlah-sekolah seperti boarding school, pesantren, hal itu tidak menjadi perdebatan karena suÂdah sekian lama menerapkan sistem belajar sampai sore.
Dilihat dari padatnya kegÂiatan akademik selama di sekoÂlah 6 jam ditambah dengan keÂgiatan lainnya,tugas-tugas yang harus dikerjakan di rumah, les, dll, FDS, dikhawatirkan akan membuat peserta didik tertekan dan jenuh secara fisik maupun psikologis. Berada di sekolah seharian walau mengerjakan tugas sambil menunggu diÂjemput orang tuanya, kiranya akan merasa nyaman kalau mengerjakan tugas di rumah. Kalau semua guru dan orang tua mampu bekerja sama dalam hal mengawasi perkembangan anak, hal-hal yang negaÂtif berupa kekerasan seksual, buliying, tawuran, dll kiranya dapat diatasi dengan cara sama-sama berkomunikasi dan berkoordinasi secara rutin juga diÂjadwalkan pertemuannya.
Seperti diketahui Undang-undang Guru dan Dosen (UUGD), tepatnya Undang –UnÂdang nomor14/2005 tentang Guru dan Dosen . UU itu bahkan sudah diperkuat oleh Peraturan Pemerintah (PP) No.74Tahun 2008 tentang Guru yang ditanÂdatangani oleh Presiden RepubÂlik Indonesia per 1 Desember 2008. Pada pasal 35 14/2005 disebutkan bahwa beban kerja guru mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaÂran, melaksanakan pembelajaÂran, menilaihasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserÂta didik,serta melaksanakan tugas tambahan. Beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat 1 adalah sekurang-kurangnya 24(dua puluh empat) jamtatap muka dan sebanyak-banyaknya 40(empa puluh)jam tatap muka dalam satu minggu tersebut merupakan bagian jam kerja sebagai pegawai yang seÂcara keseluruhan paling sedikit 37,5(tiga puluh tujuh koma lima) jam kerja dalam satu minggu.
Perlu kiranya dikritisi oleh semua pihak untuk menyikapÂinya menanggapi gagasan FDS tersebut karena akan mengarah pada pengubahan UUGD Yang membutuhkan proses politik dan biaya mahal seperti yang diungkapkan oleh MUHAMÂMAD LATIEF jurnalis KOMPAS. Sebenarnya gagasan FDS meÂmang sangat baik,terutama membuat peserta didik akan lebih terkontrol.Namun, model semacam ini kiranya belum bisa dilaksanakan,di sekolah negÂeri yang kenyataannya masih menampung peserta didik di seluruh Indonesia dibandingÂkan kehadiran sekolah swata. Selain itu, beliau mempertanÂyakan tentang bagaimana denÂgan fasilitas untuk menanggung para peserta didik seharian penuh,mulai alat bantu belajar dan mengajar sampai urusan makannya.
Semua butuh aturan, butuh payung hukum sebagai konÂsekuensi menerapkan perubaÂhan dari yang sudah ada menjadi kebijakan baru.Walaupun gagaÂsan itu tak sepenuhnya kurang tepat, tak ada salahnya apabila gagasan itu terlebih dahulu ditata dan diukur.Apalagi di era MenÂteri Pendidikan dan Kebudayaan M.NUH ,kebijakan penambahan jam belajar 4-6 jam per minggu sesuai amanat Kurikulum 2013 membawa wacana baru saat itu tentang pelaksanaan FDS .Saat itu jelas –jelas bahwa pelaksaÂnaan program ini belum bisa diterapkan di sekolah negeri karena jam belajar pendidikan dasar di Indonesia masih kurang dan tertinggal jauh dengan negaÂra-negara lain. Sebagai gambaran dikutip dari sejumlah sumber, inilah negara yang memberlakuÂkan jam belajar panjang:
- Singapura
Tidak jauh dari Indonesia, di Singapura peserta didik tingkat SD mulai bersekolah pada pukul 07.30 -13 00.Sedangkan untuk tingkat SMP dan SMA 07.30- 16.00. Kalau ada kegiatan ekstrÂakurikuler mereka pulang pukul 18.00.Negara ini terbilang komÂpetitif untuk sistem pendidikan warganya. Dari hasil tes literasi membaca dan dan matematika yang diberikan pada peserta didik yang berusia 15 tahun, Singapura menduduki rangking pertama di dunia,mengalahkan negara-negara maju lainnya. Prestasi ini diikuti Hong Kong dan Korea Selatan.
2.Korea Selatan,SD dari pukul 08.30-13.00.SMP 08.00- 16.30.SMA 08.00-21.00.
3.China, umumnya sekolah dimulai pukul 07.30-17.00,bahÂkan ada yang sampai puÂkul22.00.
Saatnya mempertimbangÂkan wacana tersebut agar maÂsyarakat Indonesia tidak resah dan gelisah.Alangkah baik bila dikaji ulang. (*)
Bagi Halaman