Dalam konteks itu, kita menyesalkan, sanÂgat menyesalkan, perilaku orangtua siswa yang menganiaya guru di Makassar, Sulawesi SeÂlatan, Rabu (10/8). Sebelumnya, sejumlah guru juga menghadapi perlakuan tidak menyenangÂkan, kekerasan, hingga pemidanaan.
Kejadian tidak mengenakkan yang menÂimpa para guru semestinya kita jadikan moÂmentum untuk menata ulang hubungan guru, murid, dan orangtua, dengan mengubah paraÂdigma pendidikan dan pengajaran. Pendidikan, sekolah, juga guru, tak boleh lagi memandang pikiran peserta didik sebagai bejana yang siap diisi, tetapi api yang harus dinyalakan.
Paradigma pendidikan yang menjadikan peserta didik sebagai bejana yang siap diisi hanÂya menghasilkan interaksi satu arah dari guru ke murid. Guru akan menjejalkan dan memakÂsakan ilmu dan pengetahuan kepada peserta didik melalui pengajaran yang indoktrinatif, pekerjaan rumah berlebihan, disiplin berlebiÂhan, bahkan kekerasan berlebihan. Pemaksaan oleh guru pada titik tertentu akan menghasilkan perlawanan berupa pembangkangan, kekerasan verbal, hingga kekerasan fisik dari peserta didik.
Paradigma pendidikan yang memandang pikiran peserta didik sebagai api yang harus dinyalakan akan menciptakan interaksi timÂbal balik dalam proses belajar dan mengajar. Guru bertugas menyalakan, memancing, dan memunculkan kreativitas dan karakter peserta didik. Peserta didik akan mengekspresikan poÂtensi-potensi kreatif mereka.
Paradigma pendidikan bahwa pikiran peserÂta didik ialah api yang harus dinyalakan akan menciptakan sikap saling memuliakan. Hanya sikap saling memuliakan antara guru dan muÂrid yang akan mencegah kekerasan berulang dalam dunia pendidikan kita.(*)