1-tidak-merokokSALAH satu kebijakan pemerintah terhadap masalah rokok yaitu diberlakukannya Peraturan Pemerintah (PP) no. 109 tahun 2012 tentang penanganan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan yang telah berjalan selama kurang lebih 4 tahun sejak ditetapkan pada tanggal 24 Desember 2012.

Meskipun dalam pasal 2 ayat 1 dan 2 diatur tentang penyelenggaraan pengamanan penggunaan produk tembakau agar tidak membahayakan kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat dan lingkungan, namun dalam kenyataanya penerapan peraturan pemerintah ini belum berdampak pada perubahan perilaku merokok di masyarakat, faktanya adalah semakin meningkatnya jumlah perokok hampir di semua  kelompok usia, baik remaja, dewasa, orang tua, bahkan data dari Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2014  terdapat 7,3% anak laki-laki dan 4% anak perempuan Indonesia usia kurang dari 7 tahun yang mencoba merokok pertama kali, padahal di dalam peraturan pemerintah tersebut terdapat larangan merokok bagi anak usia di bawah 18 tahun.

Menurut data WHO, Indonesia merupakan negara  ke-tiga dengan jumlah perokok terbesar di dunia, setelah Cina dan India. Angka kerugian akibat merokok setiap tahun mencapai U$$ 200 juta dolar, sedangkan angka kematian akibat penyakit yang diakibatkan merokok terus meningkat. Hasil analisis dari data Riskesdas tahun 2007 atau 2013, dan dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013  terjadi peningkatan proporsi masyarakat yang merokok tiap hari dari tahun 2007 ke tahun 2013 yaitu 23,7% menjadi 24,3%. (Infodatin Kemenkes)

Berdasarkan rata-rata jumlah batang rokok yang dihisap perhari pada tahun 2007 rata rata 12 batang per hari, sedangkan pada tahun 2013 terjadi sedikit peningkatan menjadi 12,3 batang sehari. Peningkatan jumlah perokok diperkuat juga dengan data yang disampaikan oleh Agus Dwi Susanto dari Departemen Pulmologi dan ilmu kedokteran Respirasi Fakultas kedokteran UI yang menyatakan bahwa peningkatan prevalensi perokok diikuti dengan peningkatan kasus penyakit paru obstruktif (PPOK).

Pada tahun 2011 kunjungan pasien PPOK di RS Persahabatan mencapai 1,274 orang, tahun 2013 sebanyak 1,702 dan terus meningkat pada tahun 2014 mencapai 1.905 pasien, 94,4 persen diantaranya merupakan perokok dan 5,6 persen bukan perokok. Rokok juga meningkatkan kasus bronkitis, sebanyak 42 persen penderita bronkitis adalah perokok dan 26 persen adalah bekas perokok dan 24 persen bukan perokok, rokok juga meningkatkan serangan asma dan menurunkan fungsi paru. (Tribun-Timur.Com). Hal ini menunjukkan bahwa tidak hanya jumlah perokoknya yang meningkat tetapi juga kuatitas rokok serta masalah kesehatan akibat merokokpun turut bertambah proporsinya dari tahun ke tahun.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Rokok seolah-olah sudah menjadi kebutuhan pokok sama halnya dengan makanan, kapan saja, di mana saja dan  oleh siapa saja rokok mudah dicari. Meskipun di dalam peraturan pemerintah tersebut telah mewajikan mencantmkan peringatan kesehatan pada setiap produk tambakau, tampaknya masyarakat sudah tidak menghiraukan adanya label gambar  yang tertera pada kemasan bungkus rokok tentang bahaya dan gangguan kesehatan.

Di dalam PP no 109 tahun 2012 pasal 50  telah ditentukan kawasan tanpa rokok (KTR). Kawasan Tanpa Rokok (KTR) diatur dalam Peraturan Daerah masing-masing, misalnya pemerintah DKI Jakarta memberlakukan Perda DKI Jakarta no. 2 tahun 2005 tentang pengendalian pencemaran udara, pasal 13 ayat 1, tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja dan tempat yang secara spesifik sebagai tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah dan angkutan umum dinyatakan sebagai kawasan dilarang merokok, pelanggarannya diancam dengan sanksi pidana berupa denda maksimum 50 juta atau 6 bulan kurungan. Tetapi faktanya masih jarang  kita  jumpai peringatan  larangan merokok di tempat-tempat itu, kalaupun ada,  seolah sudah tidak ada maknanya hanya sebatas tulisan saja, masih banyak orang  yang merokok di tempat-tempat yang dilarang.

Sebagian besar masyarakat juga sudah sangat familiar dengan peringatan  bahaya merokok dapat menimbulkan penyakit jatung, kanker paru, diabetes, impotensi, kebutaan, penyakit mulut, gangguan janin, gangguan pernafasan dan lain sebagainya, namun sepertinya belum menjadikan masyarakat khawatir , karena ternyata jumlah perokok bukan semakin berkurang malah meningkat. Peraturan-peraturan yang sudah diberlakukan  ini seperti antara ada dan tiada.

BACA JUGA :  SAHUR OF THE ROAD RAWAN DENGAN TAWURAN PELAJAR

Dalam hal ini WHO menyatakan bahwa Indonesia masih setengah hati dalam kiprahnya mengurangi kebiasaan merokok. Kebijakan pemerintah tentang rokok diibaratkan seperti pisau bermata dua, satu sisi adalah ingin melindungi masyarakat  dari bahaya  rokok, namun  di sisi lain berkaitan dengan pendapatan negara dari pajak cukai rokok yang  jumlahnya cukup besar. Rencana kebijakan pemerintah akan menaikan harga rokok menjadi dua kali lipat yaitu Rp. 50.000 dapat diyakini  menurunkan perilaku kebiasaan merokok bagi masyarakat dan dapat meningkatkan tambahan dana sebesar Rp. 70 triliyun dibidang kesehatan.

Meskipun masih timbul pro dan kontra,  perlu dilakukan analisis yang lebih jauh dengan  berbasis solusi dari berbagi dampak yang mungkin ditimbulkan. Karena  bisa  saja terjadi masyarakat yang sudah terbiasa merokok, lebih mengutamakan rokoknya dibanding membeli makanan pokok, yang justru akan memunculkan masalah kesehatan baru seperti kekurangan gizi, penyakit dan sebagainya. Masalah lain adalah bagi masyarakat yang tidak mampu (miskin) yang sudah kecanduan rokok, bisa beralih menggunakan rokok ‘Tengwe’ (istilah jawa =‘nglinting dewe’ ) yang justru lebih membahayakan kesehatan karena rokok tersebut tanpa  filter.

Berdasarkan hal tersebut diatas,  ada dua hal yang perlu dicermati dari  kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah terkait rokok diantaranya adalah  pertama, sebagian besar masyarakat belum memahami  tentang isi peraturan pemerintah terkait rokok karena sosialisasi yang kurang, dan yang kedua, lemahnya pengawasan dan ketegasan dalam implementasi  peraturan tersebut, sehingga tidak terjadi perubahan perilaku masyarakat dalam merokok bahkan cendrung meningkat.

Oleh karena itu perlu  ketegasan dan konsistensi pemerintah dalam mengimplementasikan  peraturan-peraturan ataupun kebijakan yang telah dibuat baik oleh pemerintah di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Dengan kata lain sangsi-sangi yang ditetapkan harus betul-betul dijalankan sesuai dengan ketentuan.  Sosialisasi peraturan pemerintah tsb tidak hanya dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga melibatkan seluruh elemen masyarakat, tokoh masyarakat, guru, mahasiswa, pelajar, keluarga dsb agar mendapat dukungan penuh dari masyarakat.

============================================================
============================================================
============================================================