Tahun 2015 dan 2016 situasi mulai memunculkan Desa yang kreatif, transparan, berdikari, berdaya, namun berkontestasi dengan aparat Desa yang OTT  (Operasi Tertangkap Tangan) mengambil keuntungan “APB Desa”. Dana Desa menjadi sorotan publik, sekaligus reduksi atas Keuangan Desa yang berskala lebih luas. Ditambah isu rekrutmen pendampingan Desa, Holding BUM Desa, sampai dengan retorika Kawasan Perdesaan yang “fundamentalis-delineasi”.

Posisi pendamping Desa belum stabil dalam pendekatan pro-politik partisipasi warga, karena dalam beberapa hal masih terbebani dengan urusan pendataan administrasi Desa. Isu Holding BUM Desa yang sentralistik atas BUM Desa juga sulit diterapkan karena keragaman tipologi BUM Desa, tapi jenis usaha BUM Desa yang berkarakter “holding” (unit usaha variatif) sudah bermunculan. BUM Desa di Desa Nglanggeran Gunungkidul salah satu contoh BUM Desa “holding” dengan unit usaha Desa Wisata, simpan pinjam, pengelolaan sampah, dan lainnya. Wajar kiranya, Desa Nglanggeran menjadi buah bibir di Yunani, acara Kick Andy, dan Desa Wisata ASEAN.

BACA JUGA :  KUSTA, KENALI PENYAKITNYA RANGKUL PENDERITANYA

Sejumlah penetapan kawasan perdesaan masih dilakukan dengan delineasi kawasan atau menggores kanvas kosong tanpa peduli didalamnya ada kolaborasi antar-Desa. Kedekatan wilayah lebih diutamakan daripada kesamaan potensi (ekonomi, sumberdaya alam, budaya) sebagai modal kolaborasi Desa di kawasan perdesaan. Ditengah kondisi ini, hadir rintisan BUM Desa Bersama yang dimiliki 2 (dua) Desa atau lebih untuk melakukan kolaborasi pelayanan usaha antar-Desa di kawasan perdesaan.

Kabar ironis pula atas perubahan UU Desa. Mahkamah Konsitusi membatalkan 2 (dua) norma hukum dalam UU Desa, yakni calon Kades dan Perangkat Desa tidak wajib lagi dari domisili Desa setempat. Pro kontra mengemuka, Pilkades analogis dengan Pilkada? Bagaimana mungkin warga perantauan akan langsung paham berjibun urusan administrasi dan partisipasi Desa? Putusan yudisial-konstitusional sebaiknya menempuh jalur demokrasi-deliberatif dengan mengajak dialog Desa yang sudah otonom dan sukses. Baru kemudian memproduksi putusan yang non-legisme.

Kini, menapak tahun 2017, aparatus supra Desa mulai aras pusat dan daerah, saatnya revolusi paradigmatik. Sibuk di lapangan, memfasilitasi Desa, dan tak asal menerbitkan peraturan sebatas Monumen Legisme. Stelsel norma dalam UU Desa dapat dipandang sebagai stelsel norma ultimate rule of recognition (H.L.A. Hart). Keseluruhan norma UU Desa adalah fakta politik, fakta sosial, fakta ideologis, yang dapat diselidiki secara empiris.

BACA JUGA :  JELANG LAGA MALAM INI, TIMNAS VS AUSTRALIA

Desa dan aparatus supra Desa akan punya keragaman ultimate rule of recognition. Partisipasi Desa dibalut dengan rekognisi, subsidiaritas, musyawarah, dan berjibun asas hukum UU Desa. Partisipasi muncul variatif ketika mendarat di lapangan yang terjal. Kekakuan implementasi UU Desa selama ini diatasi dengan partisipasi warga melalui Musyawarah Desa sebagai secondary rule of recognition. Musyawarah Desa yang memberikan kuasa kepada institusi Desa seperti BUM Desa, lembaga kemasyarakatan Desa, atau lainnya sebagai faktor pengubah hukum berdesa yang dinamis.

Selamat merayakan 3 (tiga) tahun UU Desa, 15 Januari 2017. Kedepan, tanggal “keramat” ini menjadi ruang reflektif meski hanya satu hari saja, yakni Hari Desa.(*)

IMG-20170118-WA0052

Halaman:
« 1 2 » Semua
============================================================
============================================================
============================================================