Oleh:

Yuska Apitya Aji S.Sos,

Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Pamulang (Unpam)

 

Dikeluarkannya Undang-Undang tentang Pers Nomor 40 Tahun 1999, peranan dan pengaruh media massa kian kental dalam merubah gaya hidup, budaya lokal dan arah kebijakan pemerintah, dengan cara mempengaruhi (persuade) cara berfikir pemerintah dalam menentukan kebijakan, baik hukum maupun politik. Sementara hukum dan politik sangat berkaitan.

Politik merupakan salah satu masukan (input) dalam sistem sosial. Menurut Mahfud.MD, relasi antara politik dengan hukum, dalam pandangannya bahwa suatu proses dan konfigurasi politik dan rezim tertentu akan sangat signifikan pengaruhnya terhadap suatu produk hukum yang dilahirkan. Dalam Negara konfigurasi politiknya demokrasi, produk hukumnya berkarakter responsive dan populistik. Sedangkan Negara yang konfigurasinya otoriter, produk hukumnya berkarakter ortodoks atau konservatif-elitis. (Mahfud MS, 2011,  “Politik Hukum di Indonesia”. Rajawali Press. Jakarta, Hlm:15)

Media massa juga memiliki peran dan pengaruh dalam kehidupan masyarakat, yang mampu mempengaruhi dan merubah cara berpikir suatu organisasi politik. Kekuatan media massa ini juga digunakan oleh pemerintah maupun suatu kelompok masyarakat tertentu di suatu pemerintahan untuk mempengaruhi opini publik. Dari opini publik inilah tercipta sebuah aspek baru yang berpotensi mengubah budaya hukum.

Sesuai dengan teori Lawrance.M. Friedman yang mengatakan bahwa komponen hukum yang tidak berbentuk peraturan formal maupun institusi-institusi melainkan suatu yang lebih bersifat spriritual disebut budaya hukum. Budaya hukum itu berupa nilai-nilai, tradisi, dan lain-lain kekuatan spiritual yang menentukan bagaimana hukum itu dan dijalankan dalam masyarakat. Suatu bangsa bisa menggunakan suatu sistem hukum tertentu tetapi apakah dalam kenyatan ia akan digunakan adalah soal yang lain dan hal itu berkaitan dengan budaya hukumnya.

Oleh karenanya dalam rangka memahami suatu hukum suatu bangsa secara lengkap tidak hanya dilakukan melalui pengamatan terhadap sistem formalnya, melainkan sampai pada budaya hukumnya. Dengan kata lain budaya hukum merupakan semacam kekuatan yang menggerakkan bekerjanya hukum. Hukum sangat dipengaruhi oleh yang namanya subsistem sosial budaya. Hukum tidak bisa dilepaskan dari subsistem ini, hukum menjadi aspek yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh aspek sosial budaya.(Satjipto Raharjo, 2004,  Ibid, hlm:79).

Dalam dunia politik pun media massa digunakan sebagai alat penyampaian informasi dan pesan yang sangat efektif dan efisien. Tampilan media massa akan mengemban beberapa fungsi yang menggambarkan kedemokrasian dalam pemberitaannya. Fungsi-fungsi tersebut merupakan subsistem dari sistem politik yang ada.

Menurut Gurevitch dan Blumer (1990:270) fungsi-fungsi media massa adalah:

  1. Sebagai pengamat lingkungan dari kondisi sosial politik yang ada. Media massa berfungsi sebagai alat kontrol sosial politik yang dapat memberikan berbagai informasi mengenai penyimpangan sosial itu sendiri, yang dilakukan baik oleh pihak pemerintah, swasta, maupun oleh pihak masyarakat. Contoh penyimpangan-penyimpangan seperti praktik KKN oleh pemerintah, penjualan pasir ke Singapura yang mengakibatkan tujuh pulau hilang dan tenggelam (suatu kerugian yang lebih besar dari sekadar perebutan pulau Sipadan dan Ligitan), perilaku masyarakat yang tidak tertib hukum/anarkis, polemik Susno-Polri, dan lain-lain. Berbagai permasalahan sosial tersebut akan membuka mata kita bahwa telah terjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan aturan yang ada.
  2. Sebagai pembentuk agenda (agenda setting) yang penting dalam isi pemberitaannya. Pembentukan opini dengan cara pembentukan agenda atau pengkondisian politik sehingga masyarakat terpengaruh untuk mengikuti dan mendukung rencana-rencana pemerintah. Contohnya: wacana pembatasan subsidi BBM untuk sepeda motor, SKPP Bibit-Candra, dan lain-lain.
  3. Media massa merupakan platform (batasan) dari mereka yang punya advokasi dengan bukti-bukti yang jelas bagi para politisi, jurubicara, dan kelompok kepentingan. Ada pembagian lain dari komunikator politik, yaitu yang disebut dengan komunikator profesional (Carey, 1969). Pembagian ini muncul karena kemajuan-kemajuan dalam dunia teknologi komunikasi. Sehingga ada batasan/pembagian tugas dan peranan penyampaian pesan politik.
  4. Media massa mampu menjadi tempat berdialog tentang perbedaan pandangan yang ada dalam masyarakat atau diantara pemegang kekuasaan (yang sekarang maupun yang akan datang). Media massa sebagai sarana untuk menampung berbagai pendapat, pandangan, dan paradigma dari masyarakat yang ingin ikut andil dalam membangun sistem politik yang lebih baik.
  5. Media massa merupakan bagian dari mekanisme penguasa untuk mempertahankan kedudukannya melalui keterangan-keterangan yang diungkapkan dalam media massa. Hal ini kerap terjadi pada masa Orba, ketika masa Presiden Soeharto berkuasa yang selalu menyampaikan keberhasilan-keberhasilan dengan maksud agar masyarakat mengetahui bahwa pemerintahan tersebut harus dipertahankan apabila ingin mengalami kemajuan yang berkesinambungan.
  6. Media massa bisa merupakan insentif untuk publik tentang bagaimana belajar, memilih, dan menjadi terlibat daripada ikut campur dalam proses politik. Keikutsertaan masyarakat dalam menentukan kebijakan politik bisa disampaikan melalui media massa dengan partisipasi dalam poling jajak pendapat dan dialog interaktif. Hasil dari poling atau jajak pendapat tersebut akan merefleksikan arah kebijakan para politisi. Seperti hasil poling akhir-akhir ini dinyatakan bahwa sebagian besar masyarakat pemilih pada pemilu 2009, mengharapkan pemerintah hasil Pemilu dapat memprioritaskan perbaikan ekonomi. Hanya sebagian kecil dari masyarakat yang memilih untuk prioritas pemberantasan korupsi. Hal ini yang menjadi kekhawatiran para aktivis anti korupsi bahwa hasil itu akan mempengatuhi arah kebijakan pemerintah sebagai kecenderungan sebagian besar kelompok masyarakat.
  7. Media massa bisa menjadi penentang utama terhadap semua upaya dari kekuatan-kekuatan yang datang dari luar media massa dan menyusup ke dalam kebebasannya,integritasnya, dan kemampuannya di dalam melayani masyarakat. Fakta-fakta kebenaran yang diungkapkan oleh media massa dapat menyadarkan masyarakat tentang adanya kekuatan-kekuatan berupa terorisme atau premanisme, maupun intimidasi dari pihak-pihak tertentu yang mencoba mengkaburkan suatu permasalahan.
  8. Media massa punya rasa hormat kepada anggota khalayak masyarakat, sebagai kelompok yang punya potensi untuk peduli dan membuat sesuatu menjadi masuk akal dari lingkungan politiknya. Adanya kecenderungan dalam menilai para politisi, komunikator politik, aktivis adalah sebagai pihak yang selalu bicara dengan publik.
BACA JUGA :  JELANG LAGA MALAM INI, TIMNAS VS AUSTRALIA

 

Media massa sebagai kekuatan strategis dalam menyebarkan informasi itu merupakan salah satu otoritas sosial yang berpengaruh dalam membentuk sikap dan norma sosial suatu masyarakat. Media massa tidak hanya memiliki efek langsung terhadap individu, tetapi juga mempengaruhi kultur, pengetahuan kolektif dan juga norma serta nilai-nilai dari suatu masyarakat. Media massa telah dapat menghadirkan seperangkat citra atau images, gagasan dan evaluasi dari mana khalayak dapat memilih dan juga menjadikan acuan bagi perilakunya. Misalnya saja dalam hal perilaku pemberian hadiah kepada parpejabat, media massa memberikan suatu pandangan komulatif mengenai apa yang dianggap normal atau juga wajar dan yang tidak wajar.

Dewasa ini, tindak pidana korupsi selalu menarik perhatian media massa sebagai bahan liputan. Hal ini terjadi karena adanya 2 (dua) faktor yang saling berkaitan. Pertama, dewasa ini hukum berada di era teknologi informasi dan komunikasi sehingga hampir mustahil bahwa kehidupan hukum itu dipisahkan dari media massa. Konsekuensinya perlu peran aktif dari aparat penegak hukum untuk melibatkan media massa dalam penanggulangan kejahatan termasuk tindak pidana korupsi. Kedua, hukum dalam bentuk tingkah laku dan pernyataan para aktor publik lazimnya selalu mempunyai nilai berita sekalipun peristiwa hukum itu bersifat rutin belaka, seperti pembunuhan, pencurian. Apalagi jika peristiwa hukum itu bersifat luar biasa seperti kejahatan kerah putih dan lain sebagainya. Liputan peristiwa hukum cenderung lebih rumit ketimbang reportase di bidang kehidupan lainnya. Pada satu pihak, liputan hukum memiliki dimensi pembentukan opini publik atau public opinion,baik yang diharapkan oleh para penegak hukum maupun oleh wartawan. Putusan pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi diharapkan mempengaruhi sikap khalayak mengenai perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa.

BACA JUGA :  KURANG ELOK PRAMUKA BERUBAH DARI EKSKUL WAJIB JADI PILIHAN

Misalnya pemberitaan sidang korupsi terhadap Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Akil Mochtar. Media massa secara inten memberitakan jalannya sidang lantaran latar belakang Akil Mochtar yang menduduki posisi penting sebelumnya. Hakim sidang pun memiliki beban moril ketika media massa dengan inten memberitakan proses jalannya sidang. Alhasil, vonis yang dijatuhkan Hakim Pengadilan Tipikor terhadap Akil adalah seumur hidup. Begitupun dengan MA yang menolak permohonan kasasi yang dilakukan oleh Akil.

Kasus lain yang terbaru adalah skandal racun kopi terhadap Mirna Salihin. Dalam kasus ini, media massa begitu inten menyiarkan jalannya sidang terhadap terdakwa Jessica Kumala Wonso. Majelis Hakim pun memiliki beban moril dalam memimpin jalannya sidang karena dilakukan terbuka dan disiarkan langsung oleh stasiun televisi. Kencangnya tekanan public dan pengaruh media massa membuat hakim menjatuhkan Jesscia dengan vonis 20 tahun penjara.

DPR RI sebagai lembaga legislatif penyusun Undang Undang sering menjadikan berita-berita di media massa sebagai referensi dalam merevisi kebijakan hukum atau menciptakan aturan-aturan hukum baru. Sebagai contoh, adalah maraknya pemberitaan terhadap kekerasan seks terhadap anak di Indonesia. Kencangnya pemberitaan media massa membuat DPR dan Pemerintah inten membahas sanksi pemberatan terhadap pelaku kejahatan kekerasan seks terhadap anak. Sanksi yang diwacanaka mulai kebiri hingga hukuman mati.

Dalam komunikasi politik antara pemerintah dan DPR RI, aspek pembentukan opini di media massa menjadi bagian yang tak bisa dipisahkan, karena hal ini akan mempengaruhi pencapaian-pencapaian tujuan pembentukan aturan hukum yang berkeadilan bagi masyarakat.

Sistem dan dinamika media massa dapat dijadikan tolak ukur untuk menilai sistem demokrasi dan hukum di Indonesia. Oleh karena itu pemerintah diharapkan dapat me-manage seluruh media massa sebagai alat untuk pembangunan politik, sesuai dengan harapan seluruh masyarakat. Jadi berita yang ditampilkan tidak selalu memojokkan pemerintahan yang berkuasa dan cenderung sekadar menjatuhkan, tetapi seharusnya menjadi sarana kritik yang konstruktif dan objektif bagi kelangsungan pembangunan hukum yang demokratis.

Peranan Pers menurut UU No.40/1999 pasal 6 adalah memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan HAM, serta menghormati kebhinnekaan. Dari fungsi dan peran inilah sudah semestinya pers menyuguhkan informasi yang tepat, akurat dan benar-benar menampung kritik, koreksi, dan saran terhadap kebijakan hukum yang dikeluarkan oleh Pemerintah dan DPR agar tercipta produk hukum yang berkeadilan. Dengan keberadaan pers di Indonesia, sudah semestinya pemerintah menerima masukan atas kritik dan usulan masyarakat yang dituangkan dalam media massa, sehingga tercipta sebuah sinergitas komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah.(*)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================