Oleh: Bahagia Sedang Menempuh Progrom Doktor Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB dan Dosen tetap Universitas Ibn Khaldun Bogor

Bencana ekologis seperti banjir dan tanah longsor bukan lagi satu dan dua kali terjadi. Sepanjang tahun selalu di alami oleh manusia. Bencana itu sedikitpun tidak berkorelasi positif terhadap kesadaran manusia. Justru berkorelasi negatif dengan kesadaran. Bukankah alam bebas itu katanya mendidik manusia. Sampai sekarang tidak sadar-sadar juga dengan bencana. Dari dulu hingga hari ini manusia terus melakukan kerusakan.
Manusia jaman dahulu di musnahkan tidak lain karena melakukan kerusakan. Kita masih ingat kaum Ad, kaum nabi Nuh dan kaum Tsamud. Pengikut para nabi itu dimusnahkan oleh Allah dengan kekuatan bencana alam. Saat ini kita juga mengalami hal yang sama. Bencana alam tidak berhenti melanda hidup kita. Tentu dari dulu hingga sekarang persoalan bencana terletak kepada kerusakan akhlak manusia.
Misalkan bencana banjir di Kabupaten Garut yang menelan banyak korban. Ditambah lagi bencana banjir di Bima yang menelan banyak korban. Sebanyak 105.753 jiwa masyarakat Kota Bima terdampak banjir. Banjir merendam 33 desa di 5 kecamatan di Kota Bima. Diperkirakan kerugian akibat kerusakan banjir mencapai 1 tryliun rupiah (BNPB,2015).
Bencana ini menunjukkan bahwa kesadaran bencana belum tumbuh. Apa yang membuat manusia tidak sadar terhadap bencana. Pertama, manusia sedang di hadapkan dengan desakan kehidupan. Ekonomi harus terpenuhi sementara untuk memenuhi kebutuhan ekonomi harus mengorbakan pelestarian lingkungan. Petani harus menggarap lahan. Lahan pegunungan jadi korban meskipun nanti terjadi longsor dari gunung itu.
Terjadi banjir akibat lahan di alihkan fungsinya. Meskipun demikian tetap saja petani menggarap lahan pegunungan. Mereka juga menggarap lahan pada daerah yang curam. Kedua, sebagian besar tidak mengetahui dampak perilaku terhadap bencana. Misalkan, dampak perilaku membakar sampah. Bagi sebagian masyarakat membakar sampah bukan persoalan. Dianggap cara terbaik untuk membersihkan lingkungan.
Tentu masyarakat kita masih minim pengetahuan ekologis meskipun sudah di depan matanya masalah itu. Ketiga, perilaku menunda-nunda. Masyarakat sudah tau akan terjadi bencana tetapi tidak lekas mau pindah. Misalkan, mereka yang tinggal dipinggiran sungai. Mereka tau bahaya longsor dan banjir sewaktu-waktu dapat mengancam mereka. Mereka tetap tinggal disana. Menganggap daerah itu termasuk harta pusaka dari nenek moyongnya.
Seandainya pindah nanti hilang sejarah hidup. Budaya ini membuat banyak penduduk tinggal di bantaran sungai. Di tambah lagi pemerintah tidak terus memberikan sosialisi penuh kepada mereka. Buktikan dan ganti sesuai dengan harta mereka yang berada dipinggir sungai. Bahkan lebihkan dari nilai harta itu agar mereka mau pindah. Ingat biaya akan lebih besar dikeluarkan kalau mereka tidak segera dipindahkan.
Sudah berapa miliar negeri ini dihabiskan untuk penanganan pasca bencana. Kempat, belum tau pertanggungjawab kepada tuhan. Menggarap bumi kemudian menimbulkan kerusakan bukan dianggap persoalan ketuhanan. Selalu menganggap hal itu biasa saja. Lebih ironis lagi kalau dianggap bumi tidak perlu diperbaiki. Perilaku ini membuat manusia tidak merasa bersalah dengan perilaku merusaknya.
Kelima, selalu menyalahkan alam. Misalkan, banjir akibat curah hujan tinggi. Padahal curah hujan itu dari dulu ya segitu saja. Bahkan curah hujan makin rendah dan hari hujan makin rendah. Misalnya Propinsi Jawa Barat, curah hujan tahun (2014) berkisar 2 388,00 mm kemudian menuruun pada tahun (2015) menjadi 2199,30 mm. Sama halnya dengan daerah sentra pangan lainnya. Mengapa banjir terjadi? pikirkan perilaku yang tidak pro ekologis.
Manusia merusak sistem ekologis di daratan bukan hujannya yang salah. Tentu bencana banjir dan longsor ditentukan oleh benar atau tidak manusia menggarap bumi. Kita menbuat daratan banjir sampah. Saat hujan turun maka bukan hujan yang salah tetapi mengapa banyak sampah berserakan di sungai. Mengapa pohon diperkotaan ditebangi?. Mengapa sungai menjdi dangkal?. Persoalan bencana berkaitan erat dengan rendahnya kesadaran manusia baik di kota dan di desa.
Sementara rangsangan untuk menumbuhkan kesadaran nyaris tidak dilakukan. Sementara manusia dapat tau apabila pernah mengalami pendidikan bencana dan lingkungan. Pendidikan mengalami bencana tidak cukup membuat seseorang tobat terhadap bencana. Harus ada tekanan dari pemerintah untuk memberikan solusi kepada mereka sehingga kesadaran jadi tumbuh. Benar dalam perilaku karena paham total kesalahan yang dilakukan.
Ada beberapa strategi yang harus dilakukan. Pertama, penyuluhan bencana tidak hanya dilakukan pada sekolah formal. Sebagian besar masyarakat kita tergolong petani. Lakukan penyuluhan dampak ekologis kepada petani. Manusia berubah sikap dan perilaku jika mereka tau dan mengerti keterkaitan kerusakan dengan bencana. Kedua, mengulang-ngulang penyuluhan dan monitoring perilaku. Penyuluhan bencana jangan dilakukan hanya sekali saja. Selanjutnya tidak dilakukan lagi.
Apa yang telah dilakukan juga tidak dilakukan evaluasi. Apakah masyarakat sudah tau dan paham dengan dampak bencana. Buatkan pretes secara terus menerus sampai mereka berperilaku hijau dan pengetahuannya meningkat tentang ekologis. Ketiga, pendidikan bencana juga dilakukan melalui sekolah baik sekolah umum dan sekolah bernuansa agama. Selama ini pendidikan lingkungan hidup dan bencana selalu menjadi nomor dua.
Ironisnya lagi dianggap hanya pelengkap. Satu sisi manusia tidak bisa terpisah dengan alam. Justri disini masalahnya. Mereka akhirnya tidak menjadi generasi hijau yang siap melestarikan lingkungan. Perlu dilakukan perombakan total terhadap kurikulum sekolah baik yang umum dan yang bernuansa agama. Apalagi membawa nama agama pasti pertanggungjawab lebih berat lagi karena tidak menghasilkan perilaku yang ramah alam.
Akar masalah tidak terjadi regenerasi hijau lantaran sekolah tidak sukses mendidik generasi hijau. Pada saat dirumah juga demikian. Justru orang tua dari anak banyak yang melakukan kerusakan ekologis. Seperti membuang sampah dari mobil. Anak yang melihat akan mengikuti perilaku orang tua. Sedangkan untuk petani tadi harus diberikan solusi untuk kehidupan mereka.
Mereka tidak harus mengolah lahan pegunungan dengan topografi yang curam. Didik mereka dengan inovasi dan teknologi yang lebih baik. Mulai buktikan bahwa pertanian organik menjadi solusi dan menghindari bencana. Pemerintah harus segera membuktikan ini. Indonesia punya banyak ternak dan punya banyak kotoran ternak. Pakai kotoran ternak itu untuk pupuk.

BACA JUGA :  DARI PREMAN TERMINAL, SEKDES HINGGA ANGGOTA DPRD PROVINSI JABAR
Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================