Yuska Apitya Aji Iswanto S.Sos

Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Pamulang (Unpam)/ Anggota Forum Komunikasi Mahasiswa Magister Jakarta-Tangerang.*

 

Publik kembali dibuat bingung dengan mandeknya proses eksekusi mati terpidana narkotika. Saya tak begitu sulit menemukan alasan mengapa Presiden lamban dan terkesan menimang nasib terpidana mati. Salah satunya mungkin karena Indonesia sejauh ini banyak berhutang budi terhadap bangsa-bangsa Barat. Budi ini bisa berbentuk pinjaman, hutang atau materi lain yang sifatnya menuntut imbalan. Agak miris untuk bangsa sekelas Indonesia, memutus perkara narkoba dengan bunuh-membunuh bandarnya. Ini mungkin lebih menyoal harga diri dan perbaikan mental bangsa. Tapi, yang harus dipelajari detil oleh Pemerintah adalah payung hukum dan legitimasi (keabsahan) dari pelaksanaan hukuman ini. Sejatinya hukuman mati sudah sering dijatuhkan dan eksekusi mati pun sudah kesekian kalinya dilaksanakan di Indonesia.

Sejauh ini, baru Belanda dan Brasil yang berani menghapus aturan itu. Belanda menghapuskan hukuman mati dalam sistem peradilan pidananya dan Brasil juga telah menghapuskan hukuman mati kecuali untuk kejahatan yang luar biasa berat. Lantas, apakah eksekusi mati memang harus dilakukan dan memiliki legitimasi sistem hukum Indonesia ataupun hukum internasional? Pertanyaan kedua, apakah memang terpidana mati harus menjemput ajal dengan ditembak oleh regu tembak?

Kalangan yang tidak setuju pidana mati beralasan hukuman mati adalah cara keji, di luar perikemanusiaan, dan melanggar hak asasi manusia (HAM), utamanya hak hidup. Juga, sebagai salah satu bentuk pidana, hukuman mati dianggap tak menimbulkan efek edukatif terhadap masyarakat serta tak juga menimbulkan efek jera untuk calon-calon pelaku kejahatan. Lalu, apabila di kemudian hari ditemukan kesalahan dalam penjatuhan vonis, hukuman itu tak dapat dikoreksi karena sang terpidana telanjur dieksekusi. Hal ini mungkin terjadi mengingat pengadilan di Indonesia belum terbukti benar-benar bersih, independen, dan profesional.

BACA JUGA :  JELANG LAGA MALAM INI, TIMNAS VS AUSTRALIA

Di Indonesia, legalitas hukuman mati paling tidak berasal dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk pasal pembunuhan berencana, UU tentang Narkotika Tahun 2009, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tahun 1999 dan 2001, UU Pengadilan HAM No 26 Tahun 2000, dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Tahun 2003.

Di level masyarakat Indonesia, hukuman mati tidak menjadi isu sangat serius karena masih banyak praktik adat dan kebiasaan di beberapa masyarakat di Indonesia yang ‘menoleransi pengadilan jalanan’ sebagai bagian nilai budaya yang hidup. Juga, masih lekatnya pengaruh hukum agama, sebutlah hukum pidana Islam yang mengatur hukuman mati untuk jenis kejahatan tertentu (Hadd/Qishas).

Pengaturan ini membuat sebagian masyarakat Muslim Indonesia menganggap hukuman mati wajar adanya. Bagi sebagian korban dan keluarga korban tindak pidana, hukuman mati untuk pelaku justru dianggap memberikan keadilan bagi mereka dan tidak melanggar HAM.

Permasalahan muncul ketika pascareformasi 1998, Indonesia banyak melahirkan UU bernuasa HAM, antara lain, UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, dilanjutkan dengan ratifikasi dua Kovenan Internasional, masing-masing International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic Social and Cultural Rights (ICESCR) pada 2005.

Mandat dari instrumen HAM tersebut (ICCPR), antara lain, negara harus menghargai hak hidup dan mewajibkan negara memiliki policy dan legislasi yang melindungi hak hidup dan martabat kemanusiaan. Maka, kendati tidak eksplisit menyerukan hukuman mati, hadirnya instrumen itu semakin menegaskan kesenjangan dengan produk perundang-undangan Indonesia yang mengatur hukuman mati.

BACA JUGA :  KURANG ELOK PRAMUKA BERUBAH DARI EKSKUL WAJIB JADI PILIHAN

Permasalahan selanjutnya, manajemen dan hukum acara eksekusi mati di Indonesia. Rata-rata para terpidana mati harus menunggu cukup lama sejak putusan pengadilan negeri sampai dengan grasi ditolak dan eksekusi mati dilakukan. Kalangan awam akan bertanya, mengapa harus memenjara orang hingga 20 tahun kalau akhirnya dieksekusi mati juga?

Cara mengeksekusi mati juga perlu dikaji kembali. Apakah masih tepat menggunakan tembakan (senjata api) oleh sekelompok regu tembak kepolisian yang bekerja berdasarkan UU No 2/ PNPS/ 1964 jo Peraturan Kapolri No 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, ataukah ada cara lain yang lebih efektif dan meringankan penderitaan sang terpidana semisal suntikan mati, kursi listrik, kamar gas beracun, digantung, ataupun dipenggal kepalanya, misalnya? Negara-negara di dunia yang masih menerapkan pidana mati bervariasi dalam pilihan metode eksekusi ini. Maka, amat wajar apabila Indonesia meninjau kembali metode eksekusi mati, apalagi produk hukumnya sudah berusia lebih dari 50 tahun (UU No 2/ PNPS/ 1964).  Apabila permasalahan di atas tidak dituntaskan, ke depannya Indonesia akan terus mengalami kontroversi dan ‘perang urat saraf’ yang akhirnya melebar tak lagi di ranah hukum, juga masuk ke wilayah sosial dan politik ini, baik datang dari dalam maupun luar negeri.(*)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================