Oleh : Yuska Apitya Aji Iswanto S.Sos

***Mahasiswa Pascasarjana Hukum Universitas Pamulang (Unpam) Tangerang/ Forum Komunikasi Mahasiswa Magister Jakarta-Banten

 

Korupsi berjamaah megaproyek E-KTP mulai memasuki babak baru. Kini, keberanian dan independensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali diuji oleh publik. Apakah KPK berani membongkar habis megarasuah yang disebut-sebut melibatkan sejumlah elite partai ini? atau mandek seiring tekanan politis elite parlemen.

Di sejumlah obrolan para akademisi hukum, korupsi E-KTP disebut bukan sembarang korupsi. Disini, ada jutaan masyarakat yang dinistakan haknya. Dalam hal ini, adalah hak  berkependudukan sesuai Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Disebutkan bahwa penduduk hanya diperbolehkan memiliki 1 (satu) KTP yang tercantum Nomor Induk Kependudukan (NIK). NIK merupakan identitas tunggal setiap penduduk dan berlaku seumur hidup”. Artinya, Nomor NIK yang ada di KTP-el inilah yang menjadi dasar dalam penerbitan segala dokumen pribadi, mulai dari paspor, SIM, NPWP, Polis Asuransi, Sertifikat atas Hak Tanah dan penerbitan dokumen identitas lainnya. Jika masyarakat belum memiliki E-KTP setidaknya hak mereka untuk mendapatkan pelayanan kependudukan sudah dinistakan oleh negara.

Jauh-jauh hari saat program e-KTP muncul, sebenarnya protes keras berdatangan terhadap DPR dan Pemerintah. Alasan logisnya adalah ketidaksiapan sarana prasarana. Ini pun bisa dibenarkan lantaran saat anggaran bergulir, baik DPR maupun Pemerintah terkesan memaksakan penggunaan anggaran yang nilainya di luar kewajaran. E-KTP adalah mega proyek yang tidak murah. Karena, selain menggunakan teknologi tinggi yang harganya mahal, program ini juga membutuhkan biaya besar dalam perawatannya. Belum lagi dengan luasnya wilayah Indonesia, target program untuk menjangkau hampir seluruh kabupaten, termasuk tim teknis di tiap daerah, akan menyedot APBN triliunan rupiah.

BACA JUGA :  SOLUSI AGAR GURU BEBAS DARI PINJOL

Mengingat besarnya biaya yang dibutuhkan, hemat saya, Kemendagri hendaknya memiliki perancanaan yang benar-benar terukur agar uang rakyat tidak sia-sia. Karena jika tidak, akan muncul tudingan bahwa program ini hanya berorientasi proyek dan mengejar target program terlaksana. Dan inipun terbukti.

Pada tataran praktek, e-KTP juga masih menyimpan potensi problem. Meskipun secara tegas Kemendagri menyatakan bahwa program ini tidak dipungut biaya, pungutan liar oleh oknum pejabat terkait masih mungkin terjadi apabila tidak ada pengawasan yang ketat. Untuk mengantisipasi hal itu, diperlukan sanksi yang tegas di semua level birokrasi terkait. Sanksi ini harus pula menjangkau bentuk pelanggaran lain seperti tindakan diskriminasi terhadap warga negara tertentu.

Pada tataran teknis, program ini masih memungkinkan terjadinya disparitas pelayanan antara wilayah perkotaan dan daerah-daerah pelosok. Program e-KTP ini misalnya, sangat tergantung pada jaringan listrik yang memadai, sehingga tidak menguntungkan bagi daerah-daerah yang belum ada jaringan listrik. Belum lagi hambatan geografis di daerah-daerah seperti Papua akan menjadi hambatan tersendiri bagi penduduk di sana. Karena itu, diperlukan model pelayanan yang berbeda di setiap daerah, dengan mempertimbangkan kondisi setempat.

BACA JUGA :  HARI KEBANGKITAN NASIONAL PERLU PELURUSAN SEJARAH?

Berbagai potensi problem inilah yang sejauh ini tak diperhatikan serius oleh para elite politik di tingkat pusat. Buntutnya, KPK mengendus ketidakberesan proyek ini dari nyanyian bekas Bendahara Umum (Bendum) Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin.

Digebernya penyidikan korupsi E-KTP oleh KPK sedianya menjadi pijar bagi masyarakat Indonesia ditengah gelapnya kabar status kependudukan mereka, setidaknya selama dua tahunan kebelakang. Publik (saya meyakini) sangat mendukung upaya pembersihan terhadap elite penista kependudukan ini. Presiden dan DPR pun sudah sepantasnya mendukung upaya KPK. Siapa yang terlibat harus ditindak tegas sesuai perundangan, tanpa pilih kasih, tanpa melihat merk warna dan tanpa melihat kedudukan. Ingat, hukum mengajarkan prinsip “Equality Before The Law: semua orang sama di hadapan hukum”. Jangan sampai, dogma dan slogan ini hanya sebatas citra yang bersemayam di lingkungan kampus semata.(*)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================