HUKUM DAN ‘HABITUS BERGANJA’

Anom Surya Putra, SH

’Pamulang of Inclusive Law’ ***

 

Fenomena tertangkapnya seorang artis (public figure) pengguna narkoba, bukanlah berita baru. Sosok artis berinisial “RR” hanya menambah daftar panjang dari jajaran artis pengguna narkoba dengan berbagai motif. Mulai motif penggunaan narkoba untuk mengatasi depresi kerja, pergaulan sosial, sampai dengan alibi konyol seperti ritus-sensual. Uniknya, sosok artis yang terpeleset ke arena narkoba punya akses tipis-tipis ke dunia politik praktis, sekalipun sekedar sebagai pemanis suara.

Keberhasilan aparatus hukum menangkap tersangka itu patut diapresiasi. Dilain pihak kampanye dari komunitas artis anti-narkoba sudah banyak dilakukan dengan modal (capital) kultural yang digenggam mereka. Sosialisasi anti-narkoba dari public figure diandaikan mampu menghentikan laju konsumsi narkoba dikalangan public figure itu sendiri. Tak kurang pula ribuan nasihat dari komunitas agamawan menghujam hati individu untuk menjauhi narkoba. Peristiwa hukum konsumsi narkoba bukan lagi sebagai proposisi teologis dan moralis, tapi proposisi sosiologis.

Adagium sosiologis bahwa hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah, terbilang runtuh sudah. Tersangka artis menduduki lapisan sosial yang lebih tinggi daripada seorang anggota rumah tangga miskin. Terlepas dari proses hukum acara pidana yang tengah berlangsung, terbersit pertanyaan fundamental, apakah dunia artis (public figure) menjadi ‘habitus berganja’ yang akan terus menerus diatasi penologi punitif? Selama ini, penologi sebagai sumber pengetahuan kriminologi bergerak secara punitif, semangat serba-menghukum, tapi terbukti nir-produktif untuk menghadirkan public figure bersih dari narkoba.

Habitus Berganja

Pemaknaan atas peristiwa hukum artis tersangka narkoba memberikan sumbangan bagi paradigma hukum untuk lebih inklusif. Pandangan ilmu hukum tak melulu hadir dalam kerangka kerja positivisme-yuridis atau legisme, yang diwarnai dengan logika deduksi. Sistem hukum kesehatan mulai dari UU Kesehatan dan peraturan turunannya tak kenal lelah melakukan upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif atas perilaku penggunaan narkoba. Pandangan ilmu hukum kini berjalan ko-eksistensi dengan paradigma sosiologi hukum.

Paradigma sosiologi hukum (sociology of law) bekerja inklusif dengan memanfaatkan sosiologi mutakhir. Sosiologi hukum berbeda dengan ilmu hukum sosiologis (sociological jurisprudence) yang tumbuh dari praktek peradilan, ala hakim Holmes (Amerika), putusan peradilan mempertimbangkan hukum dalam masyarakat (law in society). Hukum bersifat dinamis, secara keseluruhan tak melulu logis. Paradigma sosiologi hukum mulai mempersoalkan dunia objektif yang didalamnya bersemayam ‘habitus’ dan rangkaian konseptualnya, meminjam sosiolog Bourdieu asal Perancis. Fenomena public figure dan narkoba menarik ditelusuri lebih inklusif dalam sosiologi hukum, agar pengambil keputusan (hakim dan aparatus negara lainnya) bersiasat lebih konstitutif ketimbang punitif.

BACA JUGA :  KUSTA, KENALI PENYAKITNYA RANGKUL PENDERITANYA

‘Habitus Berganja’ adalah frasa penulis untuk menggambarkan dan memahami interaksi sang artis dengan kehendak yang taksadar. Kehendak taksadar itu distrukturkan melalui pengorganisasian atas seluruh praktek dan persepsi atas praktek berkesenian yang dituntut untuk diterima pasar. Tentu saja, praktek berkesenian ini didukung mesin ekonomi berskala besar. Pihak bandar narkoba membaca kecenderungan upaya keras sang artis untuk selalu melakukan internalisasi  atas dunia sosialnya yang kompleks. Tawaran narkoba memainkan peran sentral untuk menguatkan kedudukan klas sosial sang artis. Disinilah kiranya kita memahami sang artis secara faktual mudah terpeleset jatuh ke klas sosial yang lebih rendah tanpa dukungan zat adiktif narkoba. Posisi norma UU Kesehatan dan turunannya pun kian menduduki hirarki yang eksklusif yakni upaya rehabilitatif narkoba berskala mewah.

Modal (capital) menduduki posisi sentral dalam memahami relasi hukum dan artis yang terpeleset narkoba. Artis sebagai public figure menduduki klas sosial yang terbedakan dengan rumah tangga miskin. Sebagai klas sosial, artis mempunyai modal sebagai simbol ketimpangan dengan masyarakat yang terstratifikasi sosial lebih rendah. Artis yang terpeleset narkoba itu lebih mumpuni untuk mengakses keberadaan sang bandar, begitupula sebaliknya sang bandar mampu menerobos hirarki stratifikasi sosial. Mengapa? Sang bandar sebagai aktor ‘black economy’ berhasil menciptakan arena transaksional ‘pleasure and art’, yang didukung ‘Habitus Berganja’ dan ‘modal kultural’ sang artis.

Didalam ‘Habitus Berganja’ terdapat agen yang sedari awal menempati posisi dalam arena apapun, entah arena seni, arena industri televisi, arena musik, arena industri rekaman, dan lainnya. Fenomena terpelesetnya artis musik itu menandakan daya akses agen narkoba terhadap kekuasaan dan posisi dalam sebuah industri musik.

BACA JUGA :  KUSTA, KENALI PENYAKITNYA RANGKUL PENDERITANYA

Penologi Konstitutif

Amat disayangkan, sosok artis muda yang jago aransemen musik dangdut-klasik ke dunia musik kontemporer itu terpeleset narkoba. Sejenak ia berhasil mengembangkan kekhasan budaya musik tertentu untuk membangun keunggulan tersendiri. Fenomena sosiologis ini sebutlah sebagai ‘distingsi’ atas sejarah musik dangdut di Indonesia. Dalam konteks demikian, apakah konsepsi pemidanaan (penologi punitif) masih relevan untuk menghilangkan potensi modalitas sang artis?

Sistem pemenjaraan atas narkoba justru memunculkan arena baru yang menguatkan posisi bandar narkoba. Sang bandar malah melancarkan dominasi simbolik terhadap ’RR’ yang notabene masih muda, kaya imajinasi, dan berpeluang besar menjadi musisi transformatif. Dominasi simbolik dilancarkan untuk melakukan kontrol kekuasaan yang nyata terhadap musisi muda.

Akhirnya, pada kondisi faktual ini, penologi punitif mengalami diskontinuitas. Penghukuman tubuh kepada sang bandar, tembak mati pada gerombolan mafiosonya, sampai operasi tangkap tangan, adalah bentuk penologi punitif. Namun, bagi sang artis yang mudah terpeleset pada arena narkoba, lebih tepat diasuh dalam sistem penologi konstitutif. Upaya hukum yang lebih manusiawi atas sang artis adalah rehabilitasi, ketimbang pidana tubuh.

Kita perlu menendang urusan narkoba ini ke penologi konstitutif dalam sistem negara hukum deliberatif. Bolivia tegak berdiri dengan kaki-kaki hegemonik mafioso narkoba. Ketaatan atas perintah-politis lebih kuat ketimbang seperangkat sistem peraturan. Kiranya, fenomena sang artis muda ini janganlah dicap sebagai peristiwa individual, pendosa, atau stempel psikologis lainnya. Urusan ini sudah mendorong jauh ke alam kegelapan bahwa negara hukum sedang dikuasai gelombang interaksi agen dan struktur adiktif dalam ’Habitus Berganja’. Secara berdebar saya menyatakan, penologi konstitutif ataupun perilaku rehabilitatif untuk tersangka ’RR” lebih mudah dipertanggungjawabkan dihadapan sejarah hukum. Ketimbang menjadikannya sebagai tumbal atas kekuatan akses sang bandar dalam dunia musik dan public figure yang sarat dengan modal budaya (social capital).***

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================