Ia menjelaskan, dari diskusi dengan sejumlah dosen selama ini, proses penilaian karya ilmiah di Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi sangat membingungkan. Meski sering dilaksanakan seminar tentang jurnal internasional, tetapi keterangan dan syarat yang dijelaskan pejabat Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi selalu berbeda-beda.

“Lain orangnya, lain lagi pemahamannya meski mereka sama-sama dari Dikti,” kata dosen yang mengajar UIN Sumut, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), dan Sekolah Tinggi Jamaiyah Mahmudiyah di Tanjung Pura, Kabupaten Langkat itu.

Ketidakseragaman aturan dan pemahaman di Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi itu sangat merugikan kalangan akademisi yang membuat karya ilmiah. Kandidat doktor di Program Linguistik USU itu mencontohkan pengalaman sejumlah dosen yang karya ilmiahnya sering tidak tercatat dalam indeks schopus karena tidak meratanya pemahaman pejabat Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.

Kalau pun karya ilmiahnya sudah tercatat dan sudah diterbitkan, namun sering ditolak dan dinyatakan melewati periode untuk dikategorikan sebagai jurnal internasional. “Tentu saja itu merugikan para dosen. Untuk menyiapkan jurnal itu menghabiskan waktu dan pikiran. Lain lagi pengirimannya yang menghabiskan anggaran Rp10 juta hingga Rp20 juta,” ujar Muhammad Ridwan.(Yuska Apitya)

Halaman:
« 1 2 » Semua
============================================================
============================================================
============================================================