Majelis Hakim Kasasi dalam hal ini telah menempatkan diri berpihak kepada keinginan publik. Hakim yang memiliki kewenangan untuk membuat tafsir atas dasar keyakinan yang dimiliki tak lagi sekedar peniup terompet undang-undang yang kaku. Pada perkara LHI, para hakim agung lebih menampakan berpihak kepada peternak dan konsumen daging sapi yang dirugikan atas tindakan penyalahgunaan LHI sebagai anggota DPR RI. Lebih mempertimbangkan unsur memberatkan daripada meringankan atas tindakan korupsi yang dilakukan. Ada dua pesan yang disampaikan dalam putusan itu, yakni pertama, tindak korupsi adalah kejahatan luar biasa dan serius. Kedua, penyalahgunaan kuasa oleh pejabat publik yang dipilih lewat Pemilu dan mendapat amanah rakyat, dikategorikan sebagai korupsi politik.

Setelah membahas ide dasar hukum Majelis Hakim memperberat vonis terdakwa LHI, apakah kemudian keputusan tersebut sudah sesuai dengan harapan dari tujuan hukum? Berbicara masalah pandangan filsafat terhadap kasus korupsi, maka sebelumnya kita harus mengetahui terlebih dahulu masalah yang sering dikaji dalam filsafat hukum salah satunya adalah masalah “keadilan”. Prof.Dr.H. Muchsin, SH., menyatakan : “ Pada dasarnya konsep hukum itu sesungguhnya berbicara pada 2 (dua) konteks persoalan yaitu, konteks yang pertama adalah keadilan yang menyangkut tentang kebutuhan masyarakat akan rasa adil ditengah sekian banyak dinamika dan konflik di tengah masyarakat. Konteks yang kedua adalah aspek legalitas menyangkut apa yang disebut dengan hukum positif yaitu sebuah aturan yang ditetapkan oleh sebuah kekuasaan Negara yang sah dan dalam pemberlakuannya dapat dipaksakan atas nama hukum.

Dua konteks persoalan tersebut diatas seringkali terjadi benturan dimana terkadang hukum positif tidak menjamin sepenuhnya rasa keadilan dan sebaliknya rasa keadilan seringkali tidak memiliki kepastian hukum. Untuk mencari jalan tengahnya maka komprominya adalah bagaimana agar semua hukum positif yang ada selalu mencerminkan dari rasa keadilan itu sendiri”.

Sifat adil dianggap sebagai bagian konstitutif hukum karena hukum dipandang sebagai bagian tugas etis manusia di dunia ini, artinya manusia wajib membentuk hidup bersama yang baik dengan mengaturnya secara adil. Dengan kata lain kesadaran manusia yang timbul dari hati nurani tentang tugas pengemban misi keadilan secara spontan adalah penyebab mengapa keadilan menjadi unsur konstitutif hukum. Dalam bukunya Nicomachean Ethics, Aristoteles juga telah menulis secara panjang lebar tentang keadilan. Ia menyatakan, keadilan adalah kebajikan yang berkaitan dengan hubungan antar manusia.

Dalam norma-norma kehormatan Mahkamah Agung disebutkan “Bahwa adil pada hakikatnya bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya dimuka hukum”.  Keadilan versi positivisme sangatlah tekstual, melanggar undang-undang berarti melanggar hukum maka si pelanggar akan mendapatkan sanksi sesuai dengan sanksi yang ada pada undang-undang tanpa memikirkan kemungkinan-kemungkinan lain yang terjadi di luar kehendak si pelanggar, dengan begitu terciptalah keadilan yang sejati.

BACA JUGA :  BERGERAK BERSAMA, MELANJUTKAN MERDEKA BELAJAR

Maka dalam hal pemberatan vonis 18 tahun penjara dan pencabutan hak politik terhadap terdakwa LHI dinilai telah sesuai dengan tuntutan jaksa yakni 18 tahun penjara. Hukum yang diwakili undang-undang memang kerap mempertanyakan tentang rasa adil itu sendiri. Ukuran seperti apa yang pantas untuk mengukur rasa keadilan. Ketika undang-undang tersebut telah sampai pada sebuah institusi legal suatu negara dan diterapkan lewat putusan hakim maka akan tercipta keadilan versi paradigma si hakim. Dalam kasus LHI jelas sekali bahwa Majelis Hakim Agung adalah seorang penganut positivism hukum. Tanpa mengurangi esensi yang substansial dari suatu aturan perundang-undangan, majelis hakim telah jeli dan teliti melihat fakta lain yang mengusik hati nurani masyarakat sehingga memperberat putusan Majelis hakim Tipikor terhadap LHI.

Seorang hakim dalam menjatuhkan putusan tidak hanya mempedomani pasal 183 KUHAP semata mengenai dibutuhkannya minimal dua alat bukti, akan tetapi juga diperlukan pertimbangan dari keyakinan hakim yang turut berdasarkan kepada nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilainilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”

Oleh karena itu dalam memberikan putusan, hakim harus berdasar pada penafsiran hukum yang sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat. Tentu saja hal tersebut sangat berkaitan erat dengan situasi dan perkembangan sosial yang menyertai kasus tersebut. Jika dicermati, sesungguhnya hal ini sejalan dengan studi mengenai kejahatan itu sendiri dimana setidaknya ada 4 unsur yang harus diperhatikan dalam menilai sebuah kejahatan, yaitu: (1) Kejahatan; (2) Pelaku; (3) Korban; dan (4) Reaksi sosial.

Untuk itu, tentu bukanlah sebuah hal yang tepat jika kita membandingkan putusan antara sebuah kasus kejahatan dengan kejahatan yang lain sekalipun kejahatan tersebut memiliki jenis yang sama. Hal ini dikarenakan, situasi yang menyertai setiap kasus tentu akan sangat berbeda. Keadilan dapat diartikan sebagai memberikan hak yang setara dengan kapasitas seseorang atau pemberlakuan kepada tiap orang secara proporsional, tetapi juga bisa berarti memberi sama banyak kepada setiap orang apa yang menjadi jatahnya berdasarkan prinsip keseimbangan. Sementara itu, jika ditinjau dari aspek kepastian hukum, vonis terhadap LHI tersebut sudah memenuhi azas. Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten, dan konsekuen, yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.

BACA JUGA :  PENTINGNYA SERAGAM SEKOLAH UNTUK KEBERSAMAAN

Sedangkan dari sisi kemanfaatannya, hukum sedianya membawa kegunaan dalam tata sinergis antara keadilan dan kepastiannya. Sehingga dalam praktek, hukum membawa akibat (manfaat) kepada terciptanya rasa terlindungi dan keteraturan dalam kehidupan bersama dalam masyarakat. Situasi sosial yang mengikuti jalannya proses persidangan terdakwa LHI memang memunculkan berbagai polemik yang bisa merubah pola piker masyarakat secara sistemik. Alasannya adalah status LHI yang merupakan orang nomor satu di PKS. Pola pikir bahwa bencana korupsi yang menimpa negeri ini memang sangat meresahkan menjadi pertimbangan utama Majelis hakim Agung memperberat vonis terdakwa LHI.

.               Secara keseluruhan, putusan majelis hakim kasasi yang memperberat vonis terdakwa LHI menjadi 18 tahun penjara dan pencabutan hak politik pada dasarnya telah memenuhi tujuan hukum dalam memberikan keadilan, kemanfaatan, serta kepastian. Terlepas dari ada ataupun tidak ‘political will’ yang bermain, banyak dari masyarakat yang menyatakan vonis tersebut dirasa sangat tepat. Vonis tersebut juga menjawab ketidakpercayaan masyarakat terhadap pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia yang sejauh ini masih dinilai tebang pilih. Ini artinya, sudah sepatutnya, vonis pencabutan hak politik bagi napi korupsi menjadi yurisperudensi bagi hakim lain dalam memutus perkara korupsi.(***)

 

Halaman:
« 1 2 » Semua
============================================================
============================================================
============================================================