JAKARTA TODAY- Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menilai sistem pendidikan di lingkungan sekolah Katolik telah memenuhi sebagian unsur pendidikan penguatan karakter (PPK) yang bakal diterapkan pemerintah.

Atas dasar itu, Muhadjir mengatakan ada rencana untuk mengadopsi metode pendidikan lembaga pendidikan Katolik untuk diaplikasikan dalam kebijakan PPK di lingkungan sekolah umum.

“Misal, penyelenggaraan boarding school. Hal ini jelas telah berbasis nilai dan karakter. Para Romo [pendeta] dan guru selalu bersama siswa, menjaga dasar nilai keagamaan sebagai penguatan karakter,” kata Muhadjir usai bertemu dengan sejumlah Uskup dari seluruh Indonesia yang tergabung dalam Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), di Kantor KWI, Jakarta Pusat, Jumat (25/8).

Muhadjir mengatakan sekolah sebagai salah satu tempat pembelajaran siswa harusnya mampu turut mengelola tumbuh kembang peserta didik. Itupun, sambungnya, dilengkapi lingkungan tempat tinggal terutama keluarga.

Muhadjir menginginkan sekolah tak hanya menjadi tempat transfer ilmu saja. Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang itu ingin sekolah pun menjadi tempat penguatan karakter serta pengembangan keterampilan.

BACA JUGA :  Wajib Tahu, Selada Air Punya Banyak Manfaat untuk Kesehatan, Simak Ini

Itu, kata Muhadjir, dimulai dari cara berpikir kritis dan analitis, kemampuan berkomunikasi yang baik, hingga berkolaborasi untuk menciptakan inovasi.

“Jadi, nantinya ada dua rapor. Rapor akademis dan rapor karakter,” kata Muhadjir. “Seorang murid yang nilak matematikanya jelek, bukan berarti buruk. Bisa saja dia punya keunikan lain yang membuat dia istimewa, yang buat dia berbeda. Sehingga anak-anak bisa jadi dirinya sendiri, tanpa perlu diseragamkan. Karena, tidak ada jaminan bahwa pemenang olimpiade sains bakal sukses.”

Di tempat yang sama, Ketua Umum KWI Ignatius Suharyo mengharapkan pemerintah menerapkan pendidikan religius di lingkungan sekolah umum. Itu, kata pria yang juga Uskup Agung Jakarta tersebut, harus masuk dalam pendidikan karakter lainnya seperti nasionalis, kemandirian, gotong royong, dan integritas.

“Jadi, anak-anak yang berbeda agama yang ada di satu kelas di ajak untuk berpikir bersama. Diminta mengumpulkan pemikiran terhadap suatu isu dari latar agama dan keluarga mereka masing-masing. Hal itu di-sharing di kelas. Efeknya bukan hanya dalam hal-hal yang berkaitan dengan agama, tapi juga dengan cara berkomunikasi antar sesama,” kata Ignatius Suharyo.

BACA JUGA :  Seleksi Paskibraka Kota Bogor Dibuka, Pendaftaran Online Jaring 36 Siswa

Selain itu, ia pun mengimbau pemerintah untuk berpikir kreatif dalam mendukung pengaplikasian pendidikan karakter di sekolah.


Salah satu contoh kreatif yang bisa diterapkan, kata Ignatius Haryanto, adalah mengadopsi metode live in (tinggal bersama) pada waktu-waktu tertentu. Ia mencontohkan, anak-anak yang selama ini tumbuh besar di kota besar, perlu diajak tinggal di daerah-daerah yang masih minim mendapatkan perhatian dari pemerintah. Hal itu, sambungnya, bisa menjadi ajang pembelajaran atas perbedaan dan tenggang rasa.

“Kalau di Jakarta listrik tinggal menyalakan, di sana ya harus cari minyak dulu. Mau air di sini tinggal buka keran, di sana harus jalan ke sungai sejauh 4 km dulu. Semacam itu. Hal ini saya rasa mampu membantu mengembangkan kepekaan sosial dan moral para peserta didik,” kata Ignatius. (Yuska Apitya)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================

1 KOMENTAR

  1. Setiap murid pasti memiliki keunggulan sendiri2 tidak bisa disamakan, karena minat dan bakat mereka pasti berbeda. jika sekolah anda membutuhkan kursi sekolah atau pun meja sekolah murah bisa menjelajahi situs kami di samudera-furniture.com