“Jadi HTI yang mengatakan bahwa ia anti kekerasan, itu bohong besar. Karena jika sudah kuat, tinggal satu perintah pemberontakan saja”, jelasnya.
Sedangkan HA. Khotimi Bahri menekankan bahwa argumentasi nash dan landasan sejarah yang dijadikan rujukan HTI sangat lemah. Pemerintah-pemerintah Islam seperti usmani, Abasyiah, Muawiyah, itu berbentuk Daulah dan dinasti, bukan Khilafah.
Belum lagi bicara syariat Islam. “Mereka anggap syariat Islam itu sesimpel yang ada dalam pikiran mereka”, katanya.
“Undang-undang tentang kehidupan sosial Turki Usmani misalnya. Terdiri dari seribu bab, itu terdiri dsri kaidah-kaidah ushul fiqih. Bukan ayat, bukan hadits”, tandasnya.
Terakhir, Sofiuddin menambahkan bahwa Pancasila itu sudah tepat untuk mempertemukan keberagaman di Indonesia. Pancasila itu sakt, lalu dimana letak kesaktiannya ? “Pancasila itu sakti karena ketika ditenggelamkan, Indonesia jadi kacau dan kehilangan identitasnya”, terangnya.
“Pancasila itu bukan agama, tapi di dalamnya terkandung nilai-nilai agama. Pancasila bukan jalan, tapi menjadi titik temu diantara perbedaan banyak jalan. Pancasila tidak hanya dibutuhkan Indonesia, tapi juga dunia”, pungkasnya.
Acara diskusi kebangsaan ini, diselenggarakan oleh Visi Islam Sunni, bekerjasama dengan Pusat Pengembangan Islam Bogor dan Penerbit Buku Pustaka Compass. (Yuska Apitya)