JAKARTA- Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Ginting menyatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berpeluang menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka. Langkah itu bisa dilakukan sepanjang KPK memiliki dua alat bukti yang sah.

“Hal itu telah dinyatakan dalam Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 dan Peraturan MA Nomor 4 Tahun 2016,” kata Miko melalui keterangan tertulisnya di Jakarta.

Hal itu, kata dia, dikarenakan putusan praperadilan Setya Novanto itu menyangkut aspek formil sah atau tidaknya penetapan tersangka terhadap dirinya, bukan aspek substansi apakah dia bersalah atau tidak bersalah. “Dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh Setya Novanto tidak secara otomatis gugur,” kata Miko.

Ia menjelaskan, praperadilan Setya Novanto bukan pemeriksaan pokok perkara tetapi hanya menguji apakah penetapan tersangka sah atau tidak. Hakim dalam konteks ini menurut Peraturan Mahkamah Agung  (Perma) Nomor 4 Tahun 2016 hanya menguji aspek formil dari minimal dua alat bukti yang sah yang dimiliki.

“Penentuan bersalah atau tidaknya Setya Novanto nanti akan dilakukan pada pemeriksaan pokok perkara. Artinya, putusan praperadilan ini tidak menggugurkan dugaan bahwa telah terjadi tindak pidana,” tutur dia.

BACA JUGA :  Rekomendasi 5 Tempat Olahraga Golf Favorit di Bogor, Dijamin Sejuk

Selain itu, kata dia, permohonan praperadilan Setya Novanto jangan dikaitkan dengan Panitia Khusus Hak Angket di DPR RI. “Ini penting menjadi catatan bagi Panitia Khusus Hak Angket untuk tidak mengaitkan putusan praperadilan Setya Novanto dengan laporan dan rekomendasi kelak,” jelas dia.

Sementara itu, ia pun menyatakan ada beberapa kejanggalan dari sisi proses pada persidangan praperadilan Novanto. Hakim mengabaikan permohonan intervensi dengan alasan belum tercatat dalam sistem administrasi registrasi perkara.

“Maupun penasehat hukum Setya Novanto yang membawa sejumlah bukti dari Pansus Hak Angket, seharusnya menjadi ruang untuk mengevaluasi putusan praperadilan tersebut,” ucap Miko.

Meskipun, Peraturan MA Nomor 4 Tahun 2016 menyatakan putusan praperadilan tidak dapat diajukan peninjauan kembali, regulasi itu memberi ruang bagi MA untuk melakukan pengawasan terhadap putusan praperadilan. “Begitu juga KY yang juga dapat melakukan evaluasi dari sisi perilaku dan etik hakim. Oleh karena itu, MA dan KY seharusnya memberikan respons terhadap putusan praperadilan ini,” ujar dia.

BACA JUGA :  Kendaraan Dinas Terlibat Kecelakaan Beruntun di Ciampea Bogor, Hampir Adu Banteng

Dari sisi substansi, menurut dia, salah satu pertimbangan yang mencolok adalah ketika hakim menyatakan bukti untuk menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka tidak sah karena muncul dan digunakan dalam perkara lain. Pertimbangan ini dianggap bermasalah.

“Karena mengasumsikan satu bukti hanya berlaku untuk satu orang dan perbuatan saja. Apabila logika ini digunakan, maka tidak ada pengusutan perkara tindak pidana korupsi yang berdasar pada pengembangan kasus lain,” ucap Miko.

Kemudian, pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa penetapan tersangka terhadap Setya Novanto tidak sah karena dilakukan pada awal penyidikan. Menurut hakim, hal ini menyimpang dari Pasal 44 Undang-Undang ndang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

“Padahal jika dirunut bahwa penetapan tersangka terhadap SN dilakukan melalui pengembangan kasus yang kesimpulannya adalah telah diperoleh minimum dua alat bukti yang sah untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka,” kata Miko.(Yuska Apitya)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================