CIBINONG TODAY – Sepertinya, visi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor tertuang dalam RPJMD 2013-2018 tersebut, dinilai masih kurang jelas parameter capaian dan penilaiannya.

Hal tersebut menjadi simpulan kegiatan diskusi dengan tema ‘Kabupaten Bogor Termaju, Antara Fakta dan Cita-Cita’ yang digelar Komisi I DPRD Kabupaten Bogor bersama Kelompok Wartawan DPRD Kabupaten Bogor, di Loby Utama Gedung DPRD Kabupaten Bogor, Rabu (26/9/2018).

“Ada hal substansial yang tidak ada dalam konstruksi dan desain visi tersebut. Karena kita tidak pernah mengukur diri, kita ini darimana, berangkatnya darimana. Kalau siswa ujian yang nilai guru, bukan siswanya sendiri,” ujar pengamat Kebijakan Publik, Yusfitriadi.

Menurut Yus ada capaian pemerintahan sebagai ukuran, yaitu capaian kuantitatif yakni berupa angka-angka. Yus menyoal, karena angka-angka statistik yang diklaim oleh Pemda, seringkali bertentangan dengan kondisi rill di lapangan. “Termasuk data dari BPS (Badan Pusat Statisik),” katanya.

Adapun data kualitatif adalah tingkat kepuasan masyarakat terhadap hasil dari program yang dijalankan oleh pemerintah. Menurut Yus, data kualitatif juga susah untuk dijadikan ukuran.

“Seperti fatamorgana. Terlihat tapi tidak bisa disentuh. Kalau pemerintah diukur pemerintah, hampir pasti hasilnya baik. Ini tidak akan fair karena tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja dan pelayanan serta capaian kinerja pemkab dengan alat ukur dari masyarakat, tidak dilakukan. Jadi ini sangat subjektif,” kata Yus.

Merespon pernyataan Yus, Kepala Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik BPS Kabupaten Bogor Ujang Jaelani. Menurut Ujang, BPS merupakan lembaga dengan garis vertical dan tidak dipengaruhi oleh Pemda. “Kami juga punya metodologi ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan,” katanya.

BACA JUGA :  Penemuan Mayat Perempuan Telentang di Bantaran Sungai Cicatih Sukabumi

Ia mengungkapkan, Pemkab Bogor memiliki perhitungan sendiri dalam progres capaian penciri yang dimiliki. Seharusnya, pemkab mengkomparasi data yang dimiliki dengan data BPS untuk perbandingan.

“Kami punya data makro untuk setiap komponen. Terutama dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan setiap tahun, dalam lima tahun terakhir program IPM rata-rata 0,19 persen. Jika dibanding dengan sesama kabupaten, Bogor tertinggi. Tapi, jika dengan kota masih jauh,” kata dia.

Pemkab Bogor, kata dia, baru menggunakan data BPS mulai tahun 2016. Sementara sebelum itu, pemkab hanya menggunakan perhitungan sendiri, terutama saat ada revisi perhitungan garis kemiskinan dan RLS pada 2016 itu.

Dalam acara yang sama, Kepala Bidang Perencanaan Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Daerah Bappedalitbang Dadang Iskandar menegaskan, visi menjadi Kabupaten Bogor Termaju di Indonesia digagas oleh Bupati dan Wakil Bupati Periode 2013-2018.

Saat ini, kondisi dari 25 indikator untuk mencapai visi itu hanya dua poin yang belum tercapai. Yakni Angka Harapan Hidup (AHH) yang baru tercapai 70,70 tahun pada 2017 lalu, sementara target di akhir Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2013-2018 adalah 71,20 tahun.

BACA JUGA :  Penemuan Mayat Pria di Parit Mandan Sukoharjo, Tak Ditemukan Kartu Identitas

“Itu masih berusaha kami kejar sampai akhir tahun ini. Perlu koordinasi lintas sektoral untuk mencapainya, seperti kesehatan masyarakat dan sanitasi lingkungan. Faktor penentunya banyak,” ujar Dadang.

Kemudian yang tidak bisa terealisasi yakni pembangunan Jalan Poros Tengah-Timur (Puncak II) dan Jalan Bojonggede-Kemang (Poros Barat-Utara). “Itu karena ada perubahan kebijakan di tengah jalan. Tapi, ini sudah masuk untuk dilanjutkan nanti di Bupati berikutnya. Karena kalau menggunakan APBD kita tidak akan kuat,” katanya.

Meski begitu, Dadang mengatakan, hasil diskusi ini menjadi masukan yang sangat baik bagi Bappedalitbang untuk menyusun RPJMD Pemerintahan 2018-2023 yang akan menggantikan pemerintahan sekarang.

Sementara, Ketua Komisi I DPRD Kabupaten Bogor, Kukuh Sri Widodo menegaskan, visi menjadi kabupaten termaju terlalu tinggi. Pemkab Bogor dianggap terlalu memaksakan mengejar predikat internal ketimbang memaksimalkan pelayanan dasar bagi masyarakat.

“Misalnya pelayanan di RSUD. Okelah kalau empat RSUD kita sudah terakreditasi, tapi pelayanannya bagaimana? Apa ada daerah lain yang bisa menjadi komparasi. Ini kan semua penilaian sendiri dari pemkab tidak ada pembandingnya,” tegas Kukuh.

Kukuh pun mengakui masih sering mendapatkan keluhan dari masyarakat soal pelayanan kesehatan yang dipersulit RSUD, terutama pasien BPJS Kesehatan. “Apa orang miskin tidak boleh sakit? Pelayanan yang bagus itu mengedepankan kesembuhan pasien. Bukan punya uang atau tidak,” katanya. (Iman R Hakim)

Bagi Halaman
============================================================
============================================================
============================================================