Selama periode awal kolonial Belanda, pria Eropa yang hendak memperoleh kepuasan seksual mulai mempekerjakan pelacur atau selir yang berasal dari wanita lokal. Para perempuan lokal dengan senang hati melakoni aksi prostitusi ini demi termotivasi oleh masalah finansial, bahkan tak jarang ada keluarga, yang mengajukan anak perempuan mereka untuk dilacurkan. Aturan tentang larangan pernikahan antar ras oleh penguasa kolonial membuat praktik prostitusi adalah hal yang paling bisa diterima oleh para pemimpin Belanda.

Pada awal tahun 1800-an praktik prostitusi mulai meluas, ketika itu jumlah selir dipelihara oleh tentara Kerajaan Hindia Belanda dan pejabat pemerintah menurun. Sementara perpindahan laki-laki pribumi meninggalkan istri dan keluarga mereka untuk mencari pekerjaan di daerah lain juga memberikan kontribusi besar bagi maraknya praktik prostitusi pada masa itu.
Pada tahun 1852 pemerintah kolonial mulai membutuhkan pemeriksaan kesehatan secara teratur pelacur untuk memeriksa sifilis dan penyakit kelamin lainnya. Para pelacur juga diharuskan membawa kartu identitas pekerjaan mereka, meskipun kebijakan ini tidak berhasil menekan angka pertumbuhan prostitusi yang meningkat secara dramatis selama periode pembangunan yang berlangsung secara luas hingga akhir 1800.

BACA JUGA :  JJB Terbitakan Tatib Dan Reshuffle Keanggotaan 

Jika melihat riwayat bisnis ini, prostitusi memang bisnis tua yang sulit untuk diberantas dari akar. Selama negara ini belum bisa mewujudkan kesejahteraan batin dan moril, bisnis ini tetap akan selalu ada. Pertanyaannya kemudian, apakah negara ini memang setengah hati memperbaiki moral? Atau perbaikan moral hanya beranjak di pondok pesantren dan sekolah-sekolah formal? Mari kita belajar dari kasus Vanessa. (*)

Halaman:
« ‹ 1 2 » Semua
============================================================
============================================================
============================================================