Ketika mengurus di Kedubes Iran di New Delhi, India  juga ditolak. ”Mengapa tak diurus di Jakarta,’’ kata petugas Kedubes Iran penuh selidik. Melintas antar negara lewat darat dianggap tidak normal. Karena itu penulis selalu dicurigai mata-mata dan kurir narkoba.

Tak heran, setiap melintas perbatasan bukan main ketatnya pemeriksaan. Semua barang digeledah tak kecuali celana dalam sekali pun. Semua barang bawaan diobrak abrik. Sebab, biasanya melintas antar negara lewat border darat umumnya kurir narkoba atau mata mata.

Meski sudah dijelaskan waktunya mepet, makanya mengurus visa sambil jalan. Tapi, staf kedubes tetap curiga. ‘‘Mengapa tidak pakai pesawat saja. Lewat perbatasan darat terlalu berbahaya,’’ kata staf kedubes asing tadi.

Itu sangat beralasan, selain di perbatasan rata rata terjadi sengketa kedua negara, juga rawan konflik sektarian Sunni-Syiah seperti di perbatasan Pakistan-Iran. Mereka saling bunuh, saling ngebom.

Apalagi, selama haji darat penulis tidak pernah mengaku wartawan. Bahkan, penulis harus mengganti status jurnalis di paspor dengan mengurus paspor baru. Sebab, status wartawan kian menyulitkan dalam perjalanan. Sebab, banyak negara mencurigai wartawan sebagai mata-mata, terutama di wilayah konflik. Mengaku apa saja, turis, pengusaha, peñata taman, pekerja konstruksi. Menyesuaikan negara dilintasi. Kalau di negara muslim penulis katakan sedang melakukan nazar haji darat.

Begitu juga saat penulis mengurus visa di Kedubes Iran di Islamabad, Pakistan, kian sulit. Harus mengajukan aplikasi dulu ke Teheran, Iran. Selain tidak ada kepastian dikabulkan, jawabannya bisa seminggu lebih. Entah dapat laporan apa soal penulis, atau mungkin geregetan penulis yang tak segera masuk Iran, tiba-tiba Bos Dis telepon. ”Kamu takut mati ya,’’ semprot Dis sengak (pedas, tidak enak) tanpa basa basi. Itu memang gaya Dis. Tembak langsung. Sebenarnya maksudnya baik, untuk membangkitkan semangat, tapi caranya tak biasa. Penulis sudah paham gaya Dis. ”Tidak Bos. Kalau takut mati, saya tidak akan berada di Pakistan,’’ kata saya. ”Lalu apa masalahnya,’’ cercanya. ”Kesulitan mengurus visa Iran. Harus mengajukan aplikasi ke Teheran dulu lewat Kedubes Iran. Itu belum jaminan dikabulkan, jawabannya juga lama,’’ kata penulis. Padahal, waktu masuk ke Makkah makin mepet, tinggal belasan hari.

”Oh, gitu ya… nanti biar dibantu Agus (orang PLN) kita ada kerjasama dengan Iran,’’ kata Dis.

Tak lama Agus pun telepon penulis. ”Sampeyan naik pesawat saja ke Teheran. Kan visa Iran bisa on arrival,’’ ujar Agus enteng. ”Lho, saya ini haji darat tidak boleh naik pesawat,’’ jelas penulis. Ganti Agus kebingungan. Setelah itu tak pernah kontak lagi. Mungkin Agus kurang paham haji darat.

Dis sebelumnya juga sempat ”protes’’ mengapa saya hanya sehari di Tibet. Sebab, banyak hal bisa ditulis di negeri atap dunia yang begitu eksotis itu. Penulis katakan visa masuk Pakistan tinggal beberapa hari. Kalau telat masuk, bisa hangus. Mengurus ulang belum tentu dapat. Itu akan membuyarkan rencana perjalanan darat. Apalagi jarak Tibet dengan Pakistan masih jauh. Harus menyeberang ke Nepal butuh dua hari. Lalu melintas India yang luas hingga ke Amritsar, Punjab, kota perbatasan India-Pakistan. Meski sedikit dongkol Bos Dis bisa memahami karena alasannya cukup logis. ”Sayang ya…,’’ gerutunya. Bos Dis meski berulang kali ke China, tapi belum pernah menginjakkan kaki di Tibet. Makanya, itu yang membuat Bos Dis penasaran.

Saat melintas negeri Panda, Tiongkok penulis merasakan betapa luasnya negeri tembok besar. Naik bus dari Hekou kota Tiongkok di dekat perbatasan Vietnam hingga Kunming, ibukota Yunan butuh waktu tempuh 15 jam.

Dari Yunan ke Chengdu ibukota Sichuan naik kereta api dengan kecepatan rata rata 200 kilometer per jam butuh waktu tempuh 22 jam. Dari Chengdu naik kereta api ke atap dunia Lhasa ibukota Tibet butuh waktu 44 jam atau hampir dua hari melewati bantalan kereta api tertinggi di dunia dengan melintas di atas ketinggian 5.000 meter diatas permukaan laut (dpl). Jarak Chengdu-Lhasa juga perjalanan paling lama asat haji darat. Dari Lhasa, Tibet menuju Zhangmu kota perbatasan Tiongkok dekat perbatasan Nepal, naik kendaraan perlu waktu sekitar 18 jam.

Selain terhambat masalah visa, penulis saat melintas di perbatasan Amritsar (India)  dan Wagah (Pakistan) nyaris diperas sopir bajaj. Ceritanya, dari perbatasan Wagah penulis naik angkot ke Lahore, Punjab Pakistan. Begitu keluar kantor imigrasi Pakistan jalanan Wagah, kota perbatasan Pakistan tampak bajaj berjejer.

Setelah tawar menawar tercapai kesepakatan harga 700 rupee sampai kota Lahore, ibukota Punjab, Pakistan. Jaraknya sekitar 25 kilometer dari Wagah kota perbatasan Pakistan dekat India.

Saat bajaj mulai jalan satu orang ikut serta. Ia duduk di bangku belakang. Perasaan saya tidak enak. Saya merasa ada yang tidak beres. Benar saja, orang tadi mulai nerocos menanyakan tas kecil barang bawaan saya berisi kamera dan laptop. Saya langsung sigap.

Saya teringat pengalaman Agustinus Wibowo, petualang negara-negara berakhiran Tan (Afghanistan, Kirgistan, Tajikistan,  dst) begitu menghadapi bahaya, hendak dirampok atau ditodong dalam mobil atau angkutan umum langsung membaca surah Al-Quran atau berdoa keras-keras, atau minimal didengar pelaku. Biasanya mereka akan mengurungkan niatnya.

Itu saya praktekan. Sambil waspada, saya baca surah-surah pendek dan dzikir tidak keras tapi cukup terdengar saja. Begitu orang tadi mengajak ngomong saya minta dia diam karena saya sedang dzikir.

Pertama manjur, dia pun diam. Tapi, lama lama dia tidak tahan. Dengan berbagai cara dia terus memancing ngobrol agar saya mau menjawab. Sesekali dia juga ngobrol sama temannya tadi.

Dia juga tanya apa isi tas. Tapi, tidak saya jawab. Dari, kaca spion sopir tampak dia terus memperhatikan saya dan barang bawaan. Duduk saya dan dia hanya dipisahkan tas besar saya berisi pakaian.  Mbatin saya, kalau berniat merampas tas kecil ini akan saya lawan. Karena ini alat kerja saya paling berharga..

Namun dalam perjalanan rasanya bajaj begitu lama sampai di hotel. Mendekati hotel si calo tadi terus nerocos. Dia minta tambahan 200 rupee. Tapi, saya pura-pura tidak dengar. Ini pemerasan, batin saya.

Begitu sampai di Peart Continental  (PC) Hotel, Lahore, Punjab, tas langsung saya amankan. Saya bayar 700 rupee seperti kesepakatan awal sama sopir. Tapi, orang tadi tadi turun dan marah-marah. Dia minta tambahan 200 rupee lagi. Alasannya, letak hotel cukup jauh. Agar tidak ribut saya tambah 100 lagi. Tapi, dia minta ngotot terus, Akhirnya, saya panggilkan petugas keamanan hotel yang berjaga di luar. Sopir dan si calo tadi buru-buru kabur dengan bajajnya. Saya bersyukur terhindar aksi kejahatan.

Menuju Gwadar Ditangkap Dua Kali

Saat menuju pelabuhan Gwadar di Propinsi Balochistan, berjarak 700 kilometer dari Karachi, Pakistan,   untuk menyeberang ke negara Oman penulis ditemani dua mahasiswa Indonesia di Pakistan. Abdul Kholik biasa disapa Alek fasih berbahasa Urdu kuliah di Karachi dan Akhmad Faruki mahasiswa di Islamabad.

Seperti diketahui Propinsi Balochistan berbatasan dengan Iran maupun Afghanistan merupakan daerah paling rawan di Pakistan. Kasus penculikan, perampokan, maupun pembunuhan warga negara asing kerap terjadi. Selain itu Balochistan daerah bergolak, karena sebagaian warganya memberontak menuntut pemisahan diri  dari wilayah Pakistan.

Baru dua jam perjalanan dari Karachi, sopir menghentikan mobil di daerah Gadani untuk menambah angin. Saat itu, Faruki keluar mobil untuk merokok sambil menunggu tambah angin. Tahu ada orang asing, sebuah mobil Corolla yang melintas mendadak menghentikan lajunya.

Beberapa polisi menenteng senjata turun. Sopir mobil tadi belakangan diketahui inspektur polisi Gadani minta indentitas Faruki. Baik kartu mahasiswa maupun pasport.

Juga ditanya ini itu. Begitu tahu tujuan kami Gwadar, mereka langsung memeriksa seisi mobil. Paspor saya juga ditahan. Meski sudah dijelaskan tujuan kami ke Gwadar mencari kapal melintas ke Oman dalam perjalanan haji darat.

Tapi, justru polisi kian curiga. Mereka menilai kami masuk daerah yang salah, terlarang bagi orang  asing dan sangat. Inspektur polisi tadi terus membolak balik paspor saya. Mereka makin curiga karena banyak cap visa dalam paspor. Mereka pun menahan paspor saya tanpa menghiraukan penjelasan sopir yang membawa kami.

Saya bersama Faruki dan sopir dikawal polisi bersenjata dibawa putar-putar mengikuti mobil polisi. Sedangkan Alek dibawa dalam mobil polisi yang lain. Kami sengaja dipisah untuk dikorek keterangan. Juga agar tidak kabur.

Pikiran saya was-was, cemas nggak karu-karuan. Bagaimana kalau paspor ditahan dan seterusnya. Selanjutnya, kami dibawa ke tempat sedikit jauh, sekitar satu kilometer dari kantor polisi. Kami berdua tidak boleh keluar mobil selama masa menunggu panggilan inspektur.

Baru sekitar pukul lima sore kami dibawa ke kantor polisi. Disana sedang berkumpul inspektur polisi Gadani dan sedikitnya tujuh anak buahnya. Mereka terus mencecar tujuan kami ke Gwadar.

Meski sudah dijelaskan berulang kali tujuanya hanya melintas ke Oman, tapi mereka tidak percaya. ‘’Kenapa haji tidak lewat udara. Selain berbahaya juga tidak masuk akal melakukan perjalanan darat berbulan-bulan. Dan, tentunya mahal,’’ katanya.

Polisi tadi umumnya tidak bisa bahasa Inggris. Sebagai gantinya mereka terus berbicara pakaia bahasa Urdu kepada Alek yang memang jago bahasa setempat itu. Meski sudah dirayu sama Alek, tapi polisi tadi bersikukuh terus memojokan kami.

Terutama saya yang akan melaksanakan haji darat. Katanya mata-mata lah, agen, kurir narkoba  dan tuduhan miring lainnya. ‘’Apa pekerjaanmu,’’ tanya inspektur tadi pada saya. Agar tidak makin curiga saya jawab saja art worker atau pekerja seni. Dia tidak melanjutkan pertanyaan lagi.

Hari menjelang magrib. Tapi, yang dituduhkan berputar-putar saja. Bahkan saat kami minta pengawalan juga tidak dipenuhi alasannya daerah itu terlalu berbahaya. Jadi, tidak ada solusi. Hanya ngomong ngalor ngidul saja. Malam kian larut.

Sebagai gantinya inspektur yang kata bawahannya bernama Mehdi Bakti itu mulai menujukkan karakter aslinya. Yakni, minta 5 Lhak, atau sekitar Rp 50 juta karena satu lhaks sama dengan Rp 10 juta sebagai syarat boleh ke Gwadar. ‘’Saya bilang kepada Alek suruh saja dia merampok saya,’’ kata saya biar saya tulis besar besar di koran saya.

Setelah tidak ada tanggapan baru inspektur tadi menurunkan tawarannya menjadi satu lhaks atau sekitar Rp 10 juta. Tapi, itu pun tidak kami tanggapi.

Malam itu, kantor polisi suasananya gelap gulita karena listrik mati. Tapi, mereka makin gayeng berbicara. Kini, bukan visa saya dan paspor yang dibicarakan. Tapi, macam-macam. Mulai bisnis, politik bahkan sewa mobil. ‘’Jadi, sudah ngelantur,’’ ujar Alek.

Uniknya, meksi baru marah dan menginterogasi kami, tak lama kemudian suasana sudah cair. Mereka sudah tidak lagi membicarakan soal paspor atau Gwadar.

Bahkan inspektur tadi menawari minum cae, minuman khas Pakistan -India dan negara tetangganya. Yakni, teh hangat campur susu kerbau. Tidak ada kesan bahwa dia beberapa jam lalu marah, curiga atau punya niat buruk lainnya pada kami. Kini, suasananya berbalik. Bahkan dia juga minta tolong didoakan sesampainya di Kabah nanti. Oalah.

Karena tidak ada keputusan apa apa, malam itu akhirnya kami putuskan balik dan menginap ke Karachi kurang lebih 100 kilometer dari Gadani.  Sebagai gantinya seorang polisi ikut bersama kami menumpang ke Karachi menengok keluarganya. Sebelum turun polisi tadi minta sangu sekedarnya. Saya juga iba dan memberi uang secukupnya. Polisi sangat beterima kasih dan mendoakan saya agar bisa sampai Makkah. Dan, dia titip doa agar segera dipanggil Allah ke Makkah. Saya iya kan saja.

BACA JUGA :  Warga Digegerkan Penemuan Jasad Korban Hanyut di Pamijahan 1 Bulan Lalu

Giliran Ditangkap Imigrasi

Esok paginya perjalanan ke Gwadar, Propinsi Balochistan  kami lanjutkan Sahid , 30 , sopir kami mengajak rekannya Abdul Somad 37, yang asli warga Balochistan ikut serta sebagai pengawal sekaligus sopir kedua. Abdul Somad berbadan kekar itu orangnya tidak banyak berbicara, pembawaannya tenang dengan sosot mata tajam. ‘’Saya banyak punya keluarga di Gwadar,’’ aku Abdul Somad. ‘’Jadi, jangan khawatir,’’ tambahnya.

Saya, Faruki dan Alek kali ini mengenakan baju kurta atau mirip baju sharwal gamez biasa dipakai orang Pakistan. Tujuannya, agar warga sepanjang jalan yang kami lewati mengira kami orang Pakistan.

Selain itu kaca mobil dilapisi kain kasa hitam agar kami di dalam mobil tak begitu kelihatan dari luar. Kami juga ekstra waspada tidak sembarangan keluar mobil apalagi kalau situasi tidak aman. Kami benar-benar belajar dari pengalaman kemarin. Ditangkap polisi hanya gara gara Ahmad Faruki, kebelet merokok dan keluar mobil. Tak lama lalu kami ditangkap polisi.

Karena berangkat pagi jalanan Karachi relatif lancar. Pagi itu tak banyak truk melintas. Namun sebagai umumnya jalan di Karachi, jalan menuju Gwadar yang berada di sekitar Karachi rusak berat. Truk-truk bermuatan penuh, bus banyak melintas di daerah ini.

Baru setelah keluar Gadani jalanan dua jalur seperti jalan high way layaknya menuju luar kota. Selain sepi kondisi jalan sangat bagus,rata dan mulus. Hingga mobil bisa dipacu hingga kecepatan 160 kilometer per jam. Sangat kencang. Suasana sekitar sangat sepi. Nyaris tidak ada rumah ratusan kilometer. Sepanjang perjalanan pemandangan didominasi gurun dan sesekali bukit gersang. Tidak ada perumahan warga akibat gersangnya kondisi tanah sekitarnya. Semuanya benar-benar kering dan panas. Padang gersang dan gurun apsir mendominasi.

Kalau pun ada rumah warga itu hanya satu dua saja di beberapa titik jalan. Itu pun jaraknya  puluhan kilometer atau bahkan ratusan kilometer. Umumnya mereka menjual bahan bakar minyak eceran merangkap tambal ban. Selebihnya, berupa gurun pasir dan bukit batu.

Sepanjang jalan banyak chek point oleh tentara Pakistan, atau tempat pemeriksaan penumpang, kendaraan yang melintas. Biasanya di jalan dibentangkan tali atau tampar untuk mencegat kendaraan. Atau cukup distop saja.

Agar tentara atau polisi tidak sempat melongok ke dalam mobil, Abdul Somad biasanya secepatnya turun dari mobil menghampiri petugas di tempatnya atau jemput bola.

Dengan bahasa setempat Somad mengatakan, beragam alasan. Mulai penumpang dibawa perempuan sampai teman kampungnya. Di setiap chek point Somad juga mengisi semacam buku tamu. Begitu pun saat balik nanti.

Tapi, prosesnya sangat singkat hanya tak lebih satu menit. Tujuanya, agar polisi atau tentara tidak banyak tanya ini itu. Biasanya Somad berlaku sok akrab. Setelah mengucapkan salam dan peluk badan sebagai salam khas Pakistan lalu mengisi buku tamu dan cepat-cepat pergi.

Biasanya yang dipakai alasan pertama. Yakni, penumpang yang dibawa keluarga perempuannya yang mau pulang kampung. Apalagi, saya dan rekan mahasiswa yang duduk di belakang nyaris tidak terlihat dari luar. Selain kacanya agak hitam juga dilapisi kain kasa hitam.

Budaya Pakistan dan Afghanistan menatap perempuan yang bukan mahramnya sesuatu aib atau memalukan. Karena meski tentara atau polisi kalau dikatakan penumpang yang dibawanya perempuan biasanya langsung percaya. Atau tidak ditengok.

Ini menguntungkan bagi kelancaran perjalanan. Sebab, kalau sampai ditanya ini itu, kami khawatir urusannya bisa merembet kemana-mana. Apalagi, daerah Balochistan merupakan wilayah tertutup bagi warga asing dan memerlukan ijin khusus.

Menjelang sore hari sekitar pukul 16.00 kendaraan yang kami tumpangi mulai masuk kota Gwadar. Sedikitnya ada dua chek point. Setelah lolos kami lega. Sahid yang asli Lahore, Propinsi Punjab, sopir kami senangnya bukan main. Dia terus tertawa sambil ngomong ngalor ngidul nggak karuan. Sedangkan Abdul Somad tampak tenang-tenang saja melihat tingkah konyol rekannya Sahid itu.

Menurut Alek yang lama tinggal di Karachi, warga Balochistan sangat keras. Bahkan sampai kini mereka masih dendam pada pemerintah. Sebab, kepala suku bekas kerajaan di Balochistan saat jamannya Presiden Pakistan dipimpin Jendral Musharaf membunuh kepala suku mereka.

Makanya, orang Balochistan tidak begitu suka terhadap warga Punjab, asal Musharaf kalau mereka masuk wilayah Balochistan. Sahid adalah warga Punjab, Pakistan.

Seperti kota kecil lainnya, Gwadar juga tidak tertata apik. Banyak debu dengan deretan toko di kiri kanan jalan. Makin mendekati pelabuhan, kian padat toko dan pemukiman.

Ada beberapa deretan bank, pertokoan, warung sampai hotel kelas melati. Yang membuat saya heran banyak bus dari berbagai luar kota mulai Islamabad, Karachi, Lahore, Queta  dan kota besar lainnya melayani rute ke kota ini. Itu terbukti dengan banyak jurusan bus seperti tertera dalam badan bus. ‘’Gwadar kota bisnis. Banyak pedagang luar kota datang ke sini. Semua barang dari Iran, Qatar, Uni Emirat  Arab bisa masuk lewat pelabuhan ini. Makanya ramai,’’ kata Abdul Somad.

Abdul Somad wanti-wanti pada saya dan rekan mahasiswa agar tidak sekali pun keluar mobil. Semua akan diurusnya termasuk mencari hotel. Somad dan Sahid keluar hotel mencari informasi.

Tapi, semua hotel penuh. Saya menyarankan tinggal di rumah keluarga Somad saja. Tapi, Somad dengan halus menolaknya bahwa tamu atau orang luar tidak boleh menginap di rumah keluarga yang ada perempunnya. Itu adat dan aturan Pakistan yang harus dijaga.

Akhirnya, kami jalan menyusuri kampung dan kota Gwadar yang tidak beraturan. Jalannya sempat seperti masuk kampung. Bedanya dengan kampung di Indonesia yang menghadap jalan.

Rumah warga Pakistan maupun Gwadar umumnya tertutup pagar tembok tinggi hingga orang tidak bisa melihatnya dalamnya. Jadinya, jalan mirip menyusuri kampung dengan rumah tembok tinggi yang lokasinya tidak beraturan.

Selain mencari hotel juga mencari kantor imigrasi nantinya untuk meminta stempel paspor keluar Pakistan. ‘’Tenang saja. Kami urus semua. Pokoknya, semua harus legal. Kalau tidak, selain berbahaya juga membahayakan perjalanan Anda. Kami tidak mau terjadi apa-apa pada tamu kami (saya, Red),’’ ujar Somad.

Mobil juga diarahkan ke pelabuhan Gwadar. Banyak perahu nelayan dan kapal barang kecil berlabuh di dermaga itu. Sahid dan Somad juga mencari tahu kepada nelayan kemungkinan adanya kapal disewa. Tapi, nelayan yang ditanya bertanya balik dan ragu kalau membawa orang asing. Apalagi, yang ilegal. ‘’Mereka bisa berbahaya kalau membawa penumpang ilegal. Sebab, di tengah laut akan dicegat patroli tentara dan polisi laut Pakistan,’’ ujar Somad menirukan nelayan tadi.

Di pelabuhan Somad juga menanyakan keberadaan kantor imigrasi di kantor polisi laut setempat. Meski Gwadar sudah diobok-obok sampai pelabuhan tidak ditemukan kantor imigrasi.

Sebaliknya, setelah tanya kantor imigrasi itu lah mulai mendatangkan masalah. Belakangan kami tahu, rupanya saat menuju kota mencari hotel ada intel yang membuntuti mobil kami.

Saat masuk hotel, Somad menyuruh kami masuk cepat-cepat. Tujuannya, selain agar tidak mengundang perhatian warga sekitar, juga lebih aman. ‘’Cepat..cepat langsung naik ke kamar,’’ pinta Sahid. Sedangkan barang bawaan nanti akan dibawa Sahid.

Meski hanya hotel kelas Melati tetapi cukup bersih. Namanya Sahil Guest House yang berlokasi  di Opposite Jama Makki Masjid, Airport  Road, Gwader, Balochistan, Pakistan. ‘’Jangan keluar kamar hotel kalau tidak ada kami. Berbahaya,’’ pesan Abdul Somad.

Baru sepuluh menit leyeh-leyeh di kamar hotel melati yang kami tempati, mendadak dua orang masuk kamar diantar penjaga hotel. Mereka intel mengecek dokumen kami.

Setelah tanya ini itu, dan mencatat nama, nomor paspor, petugas tadi keluar hotel. Tapi, hanya berselang beberapa puluh menit datang lagi petugas intel.

Belakangan kami tahu namanya Akmad Zan, Kepala Imigrasi Gwadar. Orangnya masih muda, sekitar 35 tahun mengenakan pakaian sharwal games khas Pakistan. Dia datang pukul 20.00 malam.

Zan ditemani satu petugas yang sebelumnya ikut memeriksa kami. Orangnya sudah berumur lebih 50 tahun. Jenggotanya tampak memutih semua. Dari balik bajunya tersembul pistol.

Berbeda dengan petugas sebelumnya, Zan tampak pintar dan penuh selidik. Dia fasih berbahasa Inggris. Dia  hanya berbasa basi sebentar lalu melakukan pemeriksaan menyeluruh sambil duduk di tempat tidur.

Karena saat itu saya sedang makan dan hanya mengenakan sarung, Zan memulai bertanya pada Alek atau Abdul Kholiq, mahasiswa Jamiah Binoria, Karachi, yang sudah belajar 5 tahun jurusan hadist. Alek yang hanya membawa sejenis kartu pelajar atau kartu mahasiswa menerangkan bahwa dirinya hanya mengantar saya ke Gwadar untuk menyeberang ke Oman.

Zan tak percaya begitu saja. Alek pun disuruh membaca beberapa ayat kursi Al-Quran sesuai jurusan yang ditekuni di salah ponpes di Karachi. Alek pun melafalkan keras-keras beberapa surat Al-Quran yang diminta Zan. Zan pun menyimak benar setiap lafalan Alek, seraya tersenyum kecut. ‘’Awak lupa ayat yang terakhir,’’ ujar Alek yang asal Medan itu cengingisan.

Zan juga mencerca mengapa tidak bawa paspor. Alek menyatakan, paspor ditahan di ponpes agar tidak hilang. Sebagai gantinya cukup dibekali kartu indentitas pelajar.

Tak percaya, Zan minta ditelponkan kepada kepala ponpes dimana Alek jadi salah muridnya. Alek pun menelpon gurunya. Setelah itu Zan ngobrol bersama guru Alek. Baru setelah itu, Zan sedikit percaya. Tapi, beberapa menit kemudian Zan kembali menelpon guru Alek untuk konfirmasi lagi.

Saat Zan mengiterogasi Alek, petugas yang satunya memeriksa semua barang bawaan kami. Semua barang dalam tas dikeluarkan. Semua foto, kartu pelajar, dokumen perjalanan, paspor dikeluarkan untuk diperiksa.

Bahkan celana dalam juga diacak-acak. Jadi lah seisi kamar kamar hotel berantakan. Tapi, petugas tadi tak peduli. Pokoknya, semua barang dikeluarkan. Baru setelah itu ia memilih barang yang mencurigakan dikumpulkan untuk diteliti Zan, atasanya.

Giliran saya diperiksa. Paling lama paspor yang banyak cap visanya dari berbagai negara. ‘’Kamboja, India’’ tanyanya. Ya, jawab saya.  Zan terus meneliti paspor. Cukup lama sekitar 10 menit. Dia terus membolak balik paspor dan meneliti kelengkapan dokumen satu per satu.

Dalam hati saya merasa bersyukur, sebelum ke Karachi lebih dulu memperpanjang visa Pakistan yang habis 23 Oktober lalu. Kalau tidak banyak menimbulkan masalah baru.

Indentitas Wartawan Terbongkar, Pasport Ditahan

DENGAN cermat Kepala Imigrasi Gwadar Akhmad Zan meneliti visa Pakistan saya. Zan terus membaca  berulang-ulang. Tapi, karena sudah lengkap dan legal  Zan tidak menemukan celah mencari kekeliruan soal paspor dan visa.

Laptop saya berisi file berita selama melakukan perjalanan haji nekat lewat jalur darat dan kamera juga diperiksa. Zan juga bertanya ejaan nama saya sambil mencocokan dalam paspor. Berkali-kali saya eja tapi terus disuruh mengulang. Akhirnya, saya sedikit emosi. Zan terkejut..

Tapi, Alek menenangkan. ‘’Jangan emosi, kita nanti yang rugi,’’ ujar Alek. Zan juga menanyakan siapa-siapa saja orang yang ada di foto, termasuk lokasinya. Saya terangkan  ini siapa, di Bangkok, Lhasa, India dan seterusnya sesuai gambar foto yang dibuka. Bahkan foto dokumen KTP saya yang tersimpan dalam foto untuk mengurus visa haji di Surabaya juga ditanya. Saya diminta mengeja nama saya yang dicocokan dengan nama di gambar tadi. Zan pun manggut-manggut.

Zan juga memeriksa isi laptop saya. Yang saya khawatirkan jika dia sampai menemukan kumpulan berita yang saya simpan dalam laptop.

Terus terang saya agak cemas karena selama ini tidak pernah mengaku wartawan. Sebab, itu akan mempersulit gerak saya masuk satu negara ke negara lainnya. Sebagai gantinya saya hanya mengaku turis, pekerja seni, pengusaha, kontraktor dan lainnya worker.  Beruntung Zan tidak tahu bahwa dalam laptop tersimpan file berita selama perjalanan haji darat. Syukur kata saya dalam hati.

BACA JUGA :  Profil Maarten Paes, Kiper FC Dallas jadi Pemain Naturalisasi Berdarah Kediri

Zan juga mercerca saya mengapa kalau haji tidak lewat udara. Kalau lewat darat selain berbahaya juga  biayanya mahal.Saya bilang ini untuk memenuhi nazar. Tapi, Zan sepertinya tidak percaya. Namun dia tidak punya alasan meski tetap menaruh curiga tas penjelasan saya.

Semua kartu indentitas, disket, atau USB yang dibawa Akhmad Faruki yang sebenarnya milik rekannya yang juga mahasiswa di Islamabad tak luput dari pemeriksaan.

Ternyata dalam disket itu ada gambar atau bangunan difoto berulang-ulang di Abotabad, tempat Pemimin Al-Qaedah Osama bin Laden tewas. Itu sangat mencurigakan Zan.

Apalagi, dalam dikset itu juga ada gambar atau logo tv salah swasta Jakarta sedang melakukan peliputan ditemani mahasiswa pemilik disket tadi. Jadi lah Zan makin curiga.

Saking seriusnya memeriksa gambar tadi, Zan minta gambar tadi untuk minta tolong di-zoom atau dibesarkan. Dia tampak serius meneliti gambar itu. Cukup lama. Dia juga bertanya pada Faruki soal gambar itu.

Juga foto-foto Faruki dalam berbagai kegiatan akademik mahasiswa yang ikut tersimpan dalam disket. Baik di Islamabad maupun Lahore. Faruki pun menerangkan apa adanya soal foto yang sekiranya kenal atau temannya. Zan tampak memahami.

Tapi, kalau gambar itu bukan temannya karena pemilik disket sebenarnya kawannya dia mengaku tidak tahu karena memang tidak kenal. Semula petugas tidak percaya, tapi karena memang tidak kenal petugas hanya bisa curiga saja.

Zan juga meneliti kartu pelajar, foto-foto dan semua apa saja yang ada dalam dompet. Semua diteliti satu per satu. Tidak ada satu pun barang yang luput dari pemeriksaan.

Selama melakukan pemeriksaan kami dilarang ngomong bahasa Indonesia satu sama lain. Karena Zan tidak paham hingga kalau kami saling ngomong dia curiga. ‘’Stop’’  atau Zan mengisyaratkan tanganya di mulut. Pertanda kami bertiga dilarang bicara satu sama lain.

Bahkan  saat telepon berdering di tengah interogasi atau menerima SMS pun Zan curiga. Dia melihat dulu siapa penelponnya. Kalau ada nomor yang mencurigakan Zan yang menjawab lebih dulu baru kemudian HP diberikan.

Puncaknya, saat anak buah Zan menemukan salah satu rekomendasi surat salah satu dubes Myanmar Sumarsono yang ditujukan kepada pemerintah Myanmar agar membantu saya melintas di perbatasan. Surat yang tersimpan itu menerangkan kalau saya wartawan. ‘’Kenapa harus berbohong,’’ tanya Zan sambil menujukkan surat itu kalau saya ini jurnalis. ‘’You profesional,’’ tanya Zan.  Saya pun dengan rela minta maaf.

Saya ungkapkan mengapa tidak mencantumkan status reporter semata hanya memudahkan dan melancarkan perjalanan haji darat serta melampangkan mencari visa di luar Indonesia.

Kalau berstatus reporter pengajuan visa bisa sulit karena harus memenuhi beberapa persyaratan dan harus seijin berbagai instansi di negara yang bersangkutan. Mendagri, Menlu, Kepolisian , Kejaksaan, Imigrasi dan lainnya. Sangat ribet.

Itu memakan waktu cukup lama dan prosesnya berbelit. Untuk memudahkan pencarian visa biasanya status turis lebih mudah.

Selain itu liputan terbatas masalah religius yang berkaitan dengan haji. Misalnya, soal kemegahan masjid, kehidupan masyarakat Islam, budaya Islam dan hal yang berkaitan  dengan Islam.

Tapi, Zan tetap dongkol karena merasa dibohongi sebab penulis sejak awal tidak berterus etrang mengaku sebagai wartawan. ‘’Enak saja minta maaf setelah berbelit belit,’’ kata Zan sengak. Ekspresinya wajahnya tidak enak dilihat bahkan melengos pada penulis.

Tapi, penulis tidak tahu harus berbuat apa selain minta maaf karena terpaksa berbohong untuk kelancaran perjalanan haji lewat jalur darat. Beruntung, belakangan sebelum mengghentikan interogasi yang melelahkan sampai dini hari itu tampaknya Zan memahami penjelasan saya meski raut kecewa tidak hilang karena penulis tidak berbicara terus terang sejak awal.

Malam itu, Zan menahan paspor saya dan kartu mahasiswa rekan saya. ‘’Kalian tidak boleh keluar hotel. Besok saya datang lagi ke sini,’’ kata Zan begitu saja meninggalkan kamar hotel yang baru diacak-acak.

Sepeningal Zan kami bertiga sibuk. Saya sendiri melaporlan kejadian itu langsung kepada Pimred Leak Kustiya. Sekedar jaga-jaga, jika terjadi hal yang tidak diinginkan.  Sebab, apa yang terjadi esok kami tidak tahu. Ditahan, diinterogasi ulang, atau malah dideporatsi dari Pakistan. Kami semua tidak tahu.

Agar redaksi Surabaya tidak panik, saya jelaskan pada Pimred, bahwa secara mental saya siap menerima segala resikonya termasuk jika ditahan gara-gara masalah ini.  Leak di ujung telpon tampak panik luar biasa. Ketakutan. ‘’Kok nggak sampeyan buang saja surat rekomendasi Pak Dubes, Mas,’’ kata Leak dengan suara tercekat. ‘’Saya nggak kepikiran Mas. Padahal  surat rekomendasi saya sembunyikan di tas paling bawah.  Tapi ketemu juga,’’ kata saya. ‘’Oh.. alla Mas. Terus yok opo iki (bagaimana ini)?’’ tanya Leak.

‘’Tenang mas. Nggak papa.  Saya hanya melapor saja supaya sampeyan tahu kondisi di sini (Gwadar). Sampeyan nggak usah panik, saya siap lahir batin, apa pun yang terjadi besok tak kabari lagi,’’ kata saya menenangkan Leak. Sebagai wartawan apa pun yang dialami bisa ditulis. Makin berat kian seru kisahnya. Termasuk jika harus ditahan pun tulisannya makin greget.

Sebagai PImred Jawa Pos saat itu, Leak orang kali pertama yang saya kabari terkait perjalanan haji darat. Termasuk  jika ada masalah seperti di Gwadar tadi.

Sedangkan Faruki memberitahukan kejadian ini kepada  teman dekatnya mahasiswa di Islamabad tapi tidak untuk disebarkan. Sedangkan Alek memberitahukan kasus ini pada rekanya di ponpes dan seorang rekannya di KJRI Karachi.

Malam itu kami sibuk berbenah, memasukan barang ke tas yang sudah diacak-acak Kepala Imigrasi Gwadar dan anak buahnya tadi.

Jum’at pagi (28/10/2011) sekitar pukul 09.30 Akhmad Zan bersama anak buahnya yang meng-interogasi semalam ikut datang sambil membawa segepok dokumen saya yang disita sebelumnya.

Kali ini muka Zan lebih cerah. Sambil mengucek-ucek matanya yang tampaknya masih menahan kanthuk, Zan mengeluarkan paspor dan kartu pelajar yang ditahan. Meski senang tapi, kami tidak boleh gembira dulu. Sebab, itu hanya pancingan.

Benar saja Zan kali melakukan interogasi lagi. Pertanyaannya juga diulang-ulang, mengapa tidak berterus terang, apa saja yang sudah ditulis selama perjalanan, dan apa rencananya setelah dari Gwadar.

Karena tahu saya reporter, Zan minta nama Pimred Jawa Pos diejakan  untuk dicocokan dengan surat yang ditujukan kepada para dubes Dimana ada nama Leak Kustiya sebagai Pimred. Saya pun mengejanya, Zan mencocokan. Setelah tepat Zan tersenyum.

Intinya, kami bertiga diminta segera keluar dari Gwadar. Sebab, imigrasi tidak akan mengeluarkan ijin keluar Pakistan dari pelabuhan Gwadar. Dan perahu nelayan tidak berani mengangkut orang asing keluar dari Gwadar tanpa dokumen lengkap.’’Pelabuhan ini hanya untuk angkutan barang bukan orang,’’ kata Zan.

Belum lagi banyak masalah di tengah laut. Banyak perompakan, patroli banyak negara. Oman, Pakistan maupun Iran. ‘’Anda juga tidak tahu apa yang terjadi ditengah laut. Siapa yang tahu nasib Anda. Kalau dirampok, dibunuh,’’ ingat Zan. ‘’Kalau itu yang terjadi kita (pemerintah Pakistan) ikut repot,’’ jelasnya.

‘’Anda ini ke Gwarda nekat,’’ tutur Zan. Dia menceritakan jarak Karachi-Gwarda beratus ratus kilometer jauhnya. Sepi dan tidak ada rumah penduduk. Seandainya Anda dirampok atau dibunuh di tengah jalan siapa yang susah,’’ terangnya.

‘’Anda punya istri, punya anak?’’ tanyanya. Saya jawab iya. Punya istri dan tiga anak. ‘’Balochistan ini berbeda dengan daerah Pakistan lainnya. Ini daerah gawat apalagi untuk orang asing seperti Anda. Anda dibunuh dibuang ke tengah jalan tidak ada yang tahu. Kami pemerintah jadi repot nanti,’’ ingatnya.

Meski demikian saya juga minta tolong kepada Zan agar memberi cap keluar imigrasi Pakistan hingga bisa naik perahu atau menyewa untuk mengantar ke Oman.

‘’Tidak bisa. Ini terakhir kali saya ngomong. Perahu pun tidak ada yang mau disewa orang asing. Makanya, Anda harus keluar dari Gwarda secepatnya,’’ pintanya. Interogasi dua jam itu berakhir sekitar pukul 11.30

Untuk memastikannya, Zan minta saya menelpon Pimred Leak Kustiya untuk memberitahukan bahwa saya akan ke Karachi. Meski tidak bisa bahasa Indonesia Zan tampak paham. ‘’Waktunya lima menit untuk persiapan keluar hotel,’’ pinta Zan yang kali ini sedikit ramah.

Bahkan melihat kuku saya yang agak panjang Zan bertanya dan menyarankan untuk dipotong. ‘’Kalau kuku dipotong lebih sehat,’’ sarannya.

Kami pun cepat-cepat membereskan perlengkapan untuk bersiap meninggalkan hotel. Dikawal Zan dan tiga anak buahnya mobil beriringan keluar hotel menuju batas kota Gwarda. Satu petugas imigrasi ditempatkan di mobil yang saya tumpangi. Sedangkan Sahid, sopir saya pindah ke mobil Zan. Mungkin Sahid mendapat arahan, indoktrinasi dari Zan.

Sekitar 30 kilometer batas kota Gwarda menuju Karachi, mobil Zan berhenti. Dia turun dari mobil lalu mendatangi mobil kami. Saya dan dua rekan mahasiswa tetap dilarang turun dari mobil sebagai gantinya Zan yang menghampiri mobil kami.

Dia sekali lagi mengingatkan tetap komitmen ke Karachi lalu melajutkan perjalananke haji ke Arab lewat Oman. ‘’Yang penting hajinya tidak batal,’’ tuturnya seraya menyalami saya. Zan juga minta didoakan sesampainya di tanah suci agar bisa segera dipanggil juga ke tanah suci. ‘’Berdoa untuk saya di Mekkah,’’ pintanya sambil menengadahkan tangan ke atas. Zan kali ini juga ramah memberi tahu nama dan jabatan. Tapi, untuk nomor telepon dia masih merahasiakannya.

Siang itu, kami harus balik ke Karachi berjarak sekitar 700 kilometer dari Gwarda. Mobil oleh Abdul Somad dilarikan bak kesetanan, cukup kencang. Rata-rata 130, 140 bahkan 150 km kilometer per jam.

Sahid yang semula ceria dan banyak ngomong terlihat murung dan pendiam. Dia tampak ketakutan. Sejak dua hari bersama Sahid, saya amati sopir ini banyak ngomong. Tapi, nyalinya kecil kalau menghadapi masalah.

Bahkan sering ikut campur yang bukan urusannya. Bahkan begitu sampai Karachi mendadak tawa Sahid pecah. ‘’Sudah sampai Karachi, bukan Gwardar,’’ katanya semringah. Bahkan dia dengan bangga bercerita kepada teman-temanya di Karachi kalau baru saja dari tiba dari Gwardar.

Sebaliknya, Abdul Somad tetap fokus dan terlihat tegar. Meski di Gwardar maupun Karachi dia tetap tenang dan tidak banyak ngomong. Orangnya juga baik. Saya lebih respek  pada Abdul Somad. Makanya, fee nya saya kasih lebih besar dari Sahid.

Esoknya karena sudah mengantongi visa Oman, penulis melanjutkan perjalanan seorang diri ke Muscat, Oman. Karena waktunya sudah mepet penulis bergabung dengan jamaah haji Oman menuju Jeddah. Alhamdulillah, berkat pertolongan Yang Kuasa penulis akhirnya bisa masuk Makkah beberapa jam sebelum Jeddah ditutup dari jamaah haji. Artinya, penulis tidak perlu keliling dunia untuk masuk Makkah tahun berikutnya. Syukur alhamdulilah, akhirnya Gusti Allah membukakan rumahnya bagi penulis.

Meliput di wilayah konflik membuat ketagihan karena memicu andrenalin. Semakin panas wilayah yang diliput kian memicu andrenalin. Penulis terobsesi meliput wilayah konflik seperti,  Palestina, Syria atau wilayah d dunia bergolak lainnya.

Penulis ingin memotret, merasakan, mengabadikan, menulis  bagaimana penderitaan rakyat Palestina tak menganal takut dan lelah terus berjuang penjajah Israel. Selain liputan Palestina bisa ditulis untuk media secara bersambung. Unjungnya liputan akan dibukukan. Hasil penjualan buku 100 persen disumbangkan ke rakyat Palestina. Kalau ada dermawan, donator yang mau mensponsori ke Palestina,  penulis sangat siap. (Bahari)

Halaman:
« 1 2 » Semua
============================================================
============================================================
============================================================