Menurut pengamatan Kokom, para ahli gastronomi sudah berupaya mengangkat makanan daerah tersebut pada level yang lebih tinggi khususnya dikaitkan dengan wisata kuliner. Langkah ini tak berlebihan karena kesan makanan orang miskin, kini perlahan hilang berganti makanan yang khas atau unik yang semakin banyak dicari.

“Perkembangannya cukup baik. Mengangkat makanan tersebut dalam event-event bergensi. Misalnya di UNY saat pengukuhan guru besar disajikan makanan seperti itu. Di hotel dan katering juga dengan dilakukan platting yang menarik,” terangnya.

Menurut Kaprodi Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) UNY ini, pemerintah perlu memberikan subsidi untuk konsumsi bahan makanan lokal. Dia mencontohkan saat ini harga tepung singkong lebih mahal daripada tepung terigu. Kondisi ini yang membuat masyarakat sulit beralih ke produk lokal.

BACA JUGA :  Duel dengan 2 Preman Gara-Gara Tato, Pria di Banyumas Tewas

“Ini yang membuat masih sulit berkembang. Buktinya belum ada kebijakan membuka restoran-restoran di berbagai negara. Kalaupun ada, masih inisiasi individu,” terang Kokom.

Dari tiwul Gunungkidul, mimpi warga bisa hidup makmur perlahan menjadi nyata. Ini seperti dirasakan Slamet Riyadi, warga Desa Wonosari, Kecamatan Wonosari yang membidik usaha tiwul. Lewat usaha yang digeluti sejak 2003 lalu, Slamet turut memopulerkan tiwul hingga mancanegara. Usahanya pun tergolong maju. Selain penjualan konvensional, tiwul Slamet berkembang pesat karena juga sudah bisa dibeli via daring.

Slamet berhasil mengenalkan tiwul bukan lagi sebagai makanan pengganti nasi ketika paceklik melanda. Tiwul sudah bermetamorfosa menjadi makanan yang memiliki nilai cita rasa dan disukai masyarakat. “Usaha saya terlihat berkembang di tahun 2006 lalu hingga sekarang. Dalam sehari, rata-rata 50 kilogram tepung gaplek saya buat tiwul,” ungkapnya.

BACA JUGA :  Pj.Bupati Bogor : Kampung Ciguha Kini Sudah Merdeka Sinyal

Soal penjualan, gerainya di Wonosari juga tak pernah sepi pembeli. Banyak pegawai kantoran ataupun warga luar daerah sengaja datang ke Gunungkidul demi bisa mencicipi tiwul. Agar tiwul bisa terus diterima lidah banyak kalangan, dia pun membuat inovasi rasa untuk tiwul manis buatannya. “Ada yang orisinal, cokelat, dan nangka,” ujarnya.

Tiwul orisinal harganya Rp17.000, sedangkan tiwul dengan varian rasa dipatok Rp21.000. Dirinya mengaku menerima lonjakan order saat musim liburan terutama Idul Fitri. “Kalau libur Lebaran bisa 200 kilogram tepung gaplek saya buat,” kata pemilik Pusat Oleh-Oleh Thiwul Yu Tum ini. Seperti yang dikutip oleh SINDO NEWS. (Mutiara/pkl/net).

Halaman:
« 1 2 » Semua
============================================================
============================================================
============================================================