Berkaca pada tahun sebelumnya, sepertinya kebijakan impor masih  menjadi andalan pemerintah mengatasi kemelut  gula. Buktinya,  awal 2020 ini Bulog  mengusulkan pemerintah segera mengimpor gula konsumsi sebanyak 200.000 ton. Begitupun Badan Ketahanan Pangan (BKP) ga mau ketinggalan  telah mengusulkan importasi baru untuk gula  konsumsi sebanyak 130.000 ton dari India. Alasannya  harga yang terus melonjak. Hal ini menambah deretan angka impor yang ugal-ugalan. Jauh sebelum itu, data Badan Pusat Statistik (BPS 2018) menyebut pada  Januari -November impor gula Indonesia mencapai 4,6 juta ton (1,66 milliar dolar AS). Demikian mengalami peningkatan di diperiode yang sama pada 2017 sebesar 4,48 juta ton. Sementara itu data USDA pada 2018 menyebut pada 2017-2018 Indonesia merupakan negara importir gula terbesar dunia (4,45 juta metrik ton) mengungguli Amerika Serikat dan Tiongkok.

Sebenarnya, awal 2019lalu Kementerian Perdagangan telah menerbitkan Persetujuan Impor (PI) 1,4 juta ton gula mentah (raw sugar) untuk diolah menjadi gula kristal rafinasi (GKR) bagi keperluan industri.  Adapun PI tersebut merupakan bagian dari kuota impor gula mentah untuk keperluan industri  2019 sebanyak 2,8 juta ton.

BACA JUGA :  Tega, Suami di Tuban Cekik Istri hingga Tewas, Diduga usai Cekcok

Kuoto impor jadi kue lezat menggiurkan para pemburu rente meraup untung. Distorsi harga domestik (Rp 14.500) per kg dengan  harga internasional sekitar (Rp 4.500 ) per kg atau sepertiga harga jual gula kristal putih eceran dalam negeri. Hal tersebut membuat Indonesia kian terlena dalam kubangan kelompok  negara elit net importir gula. Kondisi ini ikut mendorong tumbuh suburnya para pemburu rente. Kondisi demikian ikut andil menjegal gagalnya kemandirian ekonomi nasional sektor pergulaan yang dicanangkan lewat swasembada gula yang mundur pada 2024.

Upaya Perbaikan

Pemerintah perlu fokus pada perbaikan kesejahteraan dan kedaulatan petani tebu sebagai penghasil bahan baku gula. Ketika kesejahteraan mereka meningkat, kegairahan bertani tebu semakin besarsehingga produksi tebu akan naik. Kebijakan selama ini  dinilai tidak efektif, terbukti dengan mandeknya produksigula tetapi gila-gilaan mengejar impor. Tanpa keberpihakan pada petani lokal, iklim usaha tebu rakyat akan mati perlahan.

Selanjutnya, perlu peningkatan luas areal perkebunan tebu, dan meningkatkan produktivitas (menaikan rendemen gula), efisiensi pabrik dinaikan dengan teknologi mesin giling baru. Revitalisasi pabrik BUMN yang sudah usang untuk  meningkatkan kapasitas produksi perlu ditekankan lagi. Disamping meningkatkan efisiensi agar produksi gula rakyat (non rafinasi) lebih  kompetitif. Dengan demikian  bisa mereduksi disparitas harga gula rakyat dengan gula impor.

BACA JUGA :  Jadwal Lokasi SIM Keliling Kota Bogor, Rabu 1 Mei 2024

Tak kalah penting perbaiki data gula.Perlu menyusun neraca gula yang akurat, untuk memastikan ketersediaan dan kebutuhan, berguna untuk mengelola pasokan dalam meredam gejolak harga gula dunia. Kemudian, beri petani tebu kita harga jual yang menguntungkan, lindungi pasar domestik nya dari serbuan produk gula impor yang semakin masif, permudah akses permodalan. Jangan diserahkan  sepenuhnya kepada mekanisme pasar bebas yang menjerat.

Kerjasama harmonis antar kementrian / lembaga terkait dinilai perlu. Pemerintah sebaiknya meninjau ulang sistem kuota impor. Skema tersebut terbukti hanya jadi bancakan elit tertentu  dan menyebabkan ekonomi biaya tinggi.Bila tidak bergerak cepat target baru swasembada gula 2024 hanya halusinasi ditengah stagnasi ekonomi. (*)

Halaman:
« 1 2 » Semua
============================================================
============================================================
============================================================