“Kuncinya satu yaitu ada kemauan. Budidaya magot ini tidak perlu biaya mahal bahkan tidak perlu lahan yang luas, seperti halnya yang kita lakukan ini, kita cukup menggunakan ember dan tong-tong bekas. Kemudian kalau kita olah sampah menggunakan magot ini ada dua keuntungan, yaitu magotnya yang bisa kita jual kemudian komposnya juga bisa dijual ke tukang tanaman atau petani,” ujarnya. Saat ini, lanjut Dimas, pihaknya baru mengolah sampah organik yang bersumber dari pegawai DLH yang dibawanya dari rumah, dan setelah diolah selama 11 hari ternyata tak terasa sampah-sampah yang bersumber dari pegawai DLH mencapai 33 kg. “Sejak kita memulai budidaya magot, kita selalu mencatat sampah-sampah organik dari teman-teman DLH yang mereka bawa dari rumahnya, dan selama 11 hari tak terasa sudah mencapai 33 kg, ditambah sampah yang kita angkut menggunakan armada dan totalnya mencapai 253 kg. Artinya sampah-sampah yang beredar, tidak perlu dibawa ke TPA Galuga. Nah, kalau kita aplikasikan ini ke masyarakat mulai tingkat kelurahan hingga RT-RW maka timbulan sampah-sampah tersebut semakin banyak juga yang berkurang,” jelasnya. Bukan itu saja, dirinya pun membuka dan sangat menyambut baik apabila ada masyarakat yang ingin belajar pengolahan sampah dengan metode budidaya magot di kantornya. “Di sini juga kita sangat menyambut baik ya, kalau ada masyarakat yang ingin belajar budidaya magot dan tim kami pastinya dengan senang hati memberikan edukasi tersebut,” ujarnya. (Heri)
Halaman:
« ‹ 1 2 » Semua
BACA JUGA :  Hadiri Musrenbangnas 2024, Pj Wali Kota Bogor Tekankan Sinkronisasi Perencanaan Jangka Panjang dan Menengah
============================================================
============================================================
============================================================