Rangkaian Sejarah Dibalik Nama Indonesia yang Diambil Dari Bahasa Sensakerta
Rangkaian Sejarah Dibalik Nama Indonesia yang Diambil Dari Bahasa Sensakerta.

BOGOR-TODAY.COM – Nama Indonesia berasal dari berbagai rangkaian sejarah yang puncaknya terjadi di pertengahan abad ke-19. Catatan masa lalu menyebut kepulauan di antara Indocina dan Australia dengan beragam nama, sementara kronik- kronik bangsa Tionghoa menyebut kawasan ini sebagai Nan-hai atau Kepulauan Laut Selatan. Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara  atau Kepulauan Tanah Seberang, nama yang diturunkan dari kata dalam bahasa sensakerta  dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang).

Melansir wikipedia.org, kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa atau Pulau Emas (Sekarang Pulau Sumatera) yang terletak di Kepulauan Dwipantara. Nama “Indonesia” diambil dari dua kata Yunani yakni, Indus  dan Nesos. Indus yang berarti “India” dan kata Nesos yang berarti pulau, maka Indo-nesia atau Indonesia berarti “kepulauan India”.

Sementara, Bangsa Arab menyebut wilayah Indonesia kepulauan itu sebagai Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin  untuk kemenyan, benzoe, berasal dari nama bahasa arab luban jawi (“kemenyan Jawa”), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax Sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil “orang Jawa” oleh orang Arab, termasuk untuk orang Indonesia dari luar Jawa sekali pun.

Konon, bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang ke Indonesia beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari orang Arab, Persia, India dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah Hindia. Jazirah Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”, sementara kepulauan ini memperoleh nama Kepulauan Hindia atau Hindia. Nama lain yang kelak juga dipakai adalah Kepulauan Melayu. Unit politik yang berada di bawah jajahan Belanda memiliki nama resmi Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda).  Sedangkan pemerintah  pendudukan Jepang 1942-1945 menyebut istilah To-Indo atau Hindia Timur.

BACA JUGA :  7 Manfaat Bawang Merah untuk Kesehatan, Wajib Tahu!

Eduard Douwes Dekker, yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah memakai nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia, yaitu Insulinde, yang artinya juga Kepulauan Hindia. Nama “Insulinde” ini selanjutnya kurang populer, meski pernah menjadi nama surat kabar dan organisasi pergerakan di awal abad ke-20.

Pada 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, bernama Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA) atau Jurnal Kepulauan Hindia dan Asia Timur, yang dikelola oleh James Ricardson Logan seorang warga negara Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh pada 1819 hingga 1869.

Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel  Pada Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua, Australia dan Melayu-Polinesia  Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas, sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia . Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dari Bahasa Inggris:

Penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu masing-masing akan menjadi Orang Indunesia  atau Orang Malayunesia,” tulis Earl.

BACA JUGA :  Laga Timnas Indonesia di Piala Asia U-23 Disorot Media Internasional

Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia  daripada, sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (sebutan Srilanka saat itu) dan Maldives (sebutan asing untuk Kepulauan Maladewa). Earl berpendapat juga bahwa bahasa melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.

Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel Etnologi dari Kepulauan Hindia. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan yang sekarang dikenal sebagai Indonesia, sebab istilah Indian Archipelago terlalu panjang dan membingungkan. Logan kemudian memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf U digantinya dengan huruf O agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.  Dan itu membuktikan bahwa sebagian kalangan Eropa tetap meyakini bahwa penduduk di kepulauan ini adalah orang India, sebuah julukan yang dipertahankan karena sudah terlanjur akrab di Eropa.

Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia):

Mr Earl menyarankan istilah etnografi Indunesian, tetapi menolaknya dan mendukung Malayunesian. Saya lebih suka istilah geografis murni Indonesia, yang hanya sinonim yang lebih pendek untuk Kepulauan Hindia

Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama Indonesia dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi.

============================================================
============================================================
============================================================