KEMELUT MINYAK GORENG

Adam Smith (1975), membedakan nilai dari suatu komoditi dalam dua kategori utama, yaitu value in use (nilai kegunaan) dan value in exchange (nilai tukar). Value in use berkaitan dengan nilai yang dimiliki untuk memenuhi suatu tujuan atau suatu harapan tertentu. Sedangkan value in exchange berkaitan dengan nilai maksimal yang dimiliki suatu komoditi bila dibandingkan dengan komoditi lain.

Menurut Jhon S. Mill (1874: 442), ada dua kondisi yang dapat mempengaruhi sehingga suatu komoditas memiliki nilai tukar. Pertama, tingkat urgensi dari komoditi yang bersangkutan terhadap pemenuhan harapan dan kebutuhan hidup manusia. Kedua, tingkat kelangkaan dan kesulitan komoditas tersebut.

Dalam isu pangan, minyak goreng merupakan komiditi yang memiliki nilai kegunaan (value in use) yang tinggi. Ia merupakan komoditi bahan pokok (bagian dari sembako) yang sangat mempengaruhi keberlangsungan hidup masyarakat Indonesia. Artinya, minyak goreng memiliki tingkat urgensi yang tinggi bagi hidup masyarakat Indonesia.

Dalam kenyataan, tidak ada masyarakat yang mampu memproduksi semua komoditas bahan pokok yang mereka perlukan (Deliarnov, 2020:25).  Karena itu, pemerintah, sebagai otoritas yang mengelola negara, punya tanggung jawab guna menjamin ketersedian minyak goreng. Tugas utama negara adalah memastikan komoditas yang mempunyai nilai kegunaan tinggi harus selalu ada.

Secara legal formal, tanggung jawab pemerintah itu termaktub dalam UU 18 Tahun 2012. UU itu mengatakan bahwa penyelenggaraan pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan. Dalam konteks hak atas pangan, negara dibebani kewajiban untuk memenuhinya.

BACA JUGA :  Wali Kota Bogor Tak Putus Asa Benahi Pasar Kebon Kembang

Negara memiliki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pangan yang terjangkau dan memadai. Selain menjamin ketersediaannya, pemerintah juga perlu melakukan pemantauan secara berkala distribusi minyak goreng.

Hal itu dapat dilakukan dengan cara meningkatkan peran institusional Bulog dalam menstabilisasi harga minyak goreng dengan misi penguatan cadangan minyak goreng nasional. Selain memiliki value in use yang tinggi, minyak goreng juga memiliki nilai memiliki value in exchange. Sebab komoditas tersebut memiliki tingkat urgensi yang tinggi terhadap pemenuhan kebutuhan manusia. Apalagi akhir-akhir ini, minyak goreng menjadi barang langka dan sulit diperoleh di pasaran.

Selain itu, mengikuti gagasan Sasmita (Kompas, 2022) apabila pemerintah memang ingin fokus membenahi distribusi minyak goreng, pemerintah seharusnya fokus mengamankan harga CPO untuk produsen dalam negeri, termasuk menetapkan secara tegas jatah domestic market obligation yang harus dipenuhi produsen CPO alias bukan fokus pada harga jual minyak goreng.

Sebab penyebab utamanya ada pada harga CPO yang mengikuti pergerakan harga komoditas internasional. Artinya pemerintah tidak boleh terbawa arus logika pasar yang hanya ingin meminimalkan kerugian dan memaksimalkan keuntungan.

BACA JUGA :  Puncak Arus Balik di Terminal Baranangsiang Diprediksi 15 April 2024

Pemerintah tidak boleh menyerah dan harus mampu menstabilisasi distribusi dan harga minyak goreng. Saat inilah waktu yang tepat untuk memastikan suplai CPO untuk pasar domestik dengan ketepatan harga yang jelas dan tegas. Pemerintah tidak boleh gerak lambat. Jangan sampai posisi Indonesia sebagai produsen dan eksportir CPO terbesar di dunia justeru tidak mampu berdaulat di dalam negeri sendiri.

Seperti telah disebutkan sebelumnya, hal itu dimungkinkan apabila pemerintah melihat masalah minyak goreng ini tidak hanya dari kacamata ekonomi. Tetapi lebih dari itu, stabilisasi distribusi dan harga minyak goreng merupakan bagian dari distribusi kemakmuran kepada seluruh masyarakat Indonesia.

Minyak goreng merupakan gambaran kehadiran negara di tengah masyarakat. Agar kemakmuran itu terwujud, pemerintah harus mampu mendesain tata kelola atau kebijakan yang efektif menyangkut distribusi, ketersediaan stok, dan harga minyak goreng.

Pemerintah tidak boleh lemah berhadapan arus pasar yang berorientasi profit. Apabila tidak, pengabaian terhadap masalah minyak goreng ini dengan sendirinya bisa dianggap sebagai kegagalan pemerintah dalam mengelola negara. (*)

Halaman:
« 1 2 » Semua
============================================================
============================================================
============================================================