Oleh : Dr. Dadan S Anwar (Analis Kebijakan Ahli Madya LAN & Pengurus ICMI Orsat Tanah Sareal)
DI TENGAH kesyukuran Peringatan Hari Ulang Tahun ke-79 Kemerdekaan Republik Indonesia, sampai akhir ini dan entah sampai kapan Indonesia masih belum sepenuhnya merdeka dari penyakit pelanggaran integritas khususnya korupsi.
Pada level elite kementerian, akhir-akhir ini mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menjadi bagian dari fenomena terkini korupsi tersebut.
Tanpa dibuat sistem integritas jabatan menteri, tidak menutup kemungkinan, calon menteri yang akan diakomodasi pemerintahan baru yang akan dinakhodai Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka juga rentan dengan pelanggaran integritas tersebut.
Kasus pelanggaran integritas berupa korupsi pada jabatan menteri sebenarnya hampir terjadi di hampir setiap rezim pemerintahan.
Dari laporan KPK, dari rezim ke rezim, setidaknya dari tahun 2004 sampai tahun 2023 terdapat 39 kasus korupsi kepala lembaga/ kementerian.
Kecenderungan tersebut secara menunjukkan bukti bahwa setiap pemerintahan akan selalu dalam bayang-bayang ancaman korupsi pada jabatan menteri.
Ancaman nyata tersebut tentu perlu diantisipasi pemerintahan baru. Namun, untuk melihat kemungkinan strategi antisipasinya perlu dideteksi terlebih dahulu faktor penyebab mengapa beberapa Menteri yang bahkan diantaranya sebelumnya sangat diapresiasi prestasinya tersangkut korupsi?
Ada setidaknya 3 hal yang bisa menjadi penyebabnya. Pertama, di dalam sosok Menteri tersebut dari awal sebelum diangkat menjadi Menteri sudah ada potensi korupsi.
Potensi korupsi tersebut diantaranya dapat disebabkan oleh adanya orientasi hidup yang cenderung lebih mementingkan diri sendiri (self interested).
Bagi pihak yang tingkat kepentingan dirinya tinggi bisa jadi tindakan publik sekalipun termasuk dalam jabatannya akan selalu melihat keuntungan pribadi apa yang akan didapat dari jabatan yang diemban.
Di samping itu, adalah tidak mengherankan apabila orientasi mementingkan diri sendiri juga tercermin dalam perilaku hedonis, berlebihan dan tidak peduli dengan pihak lain yang bahkan dapat melakukan tindakan yang merugikan orang lain demi keuntungan diri sendiri.
Sebagai contoh, kita tidak dapat membayangkan, betapa tercelanya tindakan salah satu menteri terpidana korupsi yang melakukan korupsi terhadap dana bantuan untuk penanganan covid
pada masa yang lalu. Dengan demikian, Nurani publiknya dapat dipastikan defisit.
Kedua, pada saat menjadi Menteri yang bersangkutan terkooptasi dengan nafsu kekuasaan yang membuat kepentingan apapun bisa didapatkan dengan otoritasnya.
Di sini berlaku the power tends to corrupt. Dalam posisinya tersebut yang bersangkutan memerintahkan apa saja ke bawahannya dengan dalih loyalitas.