Pengamat ekonomi Faisal Basri mempertanyakan, kebijakan penetapan harga Bahan Bakar MinÂyak (BBM) oleh pemerintah yang dijalankan PT Pertamina (PerÂsero). Pasalnya, harga BBM jenis Premium di Indonesia lebih maÂhal jika dibandingkan harga BBM RON 95 atau setara Pertamax Plus di Malaysia.
Padahal, Premium adalah benÂsin dengan kadar research octane number (RON) 88. Tetapi, harga jual Premium di Indonesia sebeÂsar Rp7.050 per liter, sedangkan BBM RON 95 di Malaysia hanya Rp5.916 per liter.
Dengan demikian, kata Faisal sangat tidak masuk akal jika PreÂmium yang kadar RON nya lebih rendah, dihargai lebih mahal dibanding RON 95 di Malaysia.
“Sialan enggak tuh PertamiÂna. Ya sialan. Jadi yang paling beÂsar untungnya adalah Pertamina. PLN sudah ngerasain lah bagaimaÂna menghadapi Pertamina itu,†kata Faisal di Kantor PLN Pusat, Jakarta, Jumat (22/1/2016).
Kendati demikian, Faisal tiÂdak serta merta menyalahkan Pertamina. Pasalnya, penetapan harga Premium adalah kebijakan dan formula yang ditetapkan oleh pemerintah lewat Pertamina.
Selain itu, dia mengatakan denÂgan anjloknya harga minyak dunia seharusnya bisa menjadi momenÂtum yang tepat untuk menghapusÂkan BBM jenis Premium RON 88. Tercatat, harga minyak dunia untuk west texas intermediate (WTI) beÂrada di kisaran USD29,87 per barel, sementara brent USD29,25 per barel. Posisi ini merupakan yang paling rendah sejak 12 tahun terakhir.
“Inilah saatnya membunuh palÂing baik Premium itu untuk kita pinÂdah ke Pertamax dengan harga yang lebih murah dari Premium sekarang. Harusnya itu. Tapi kita tidak seluruhÂnya menikmati, karena walaupun suÂdah diturunkan harga premium itu sekarang Rp7.050. Premium itu kan RON 88,â€tukasnya.
Seharusnya Lebih Murah
Smentara itu, harga minyak mentah dunia terus mengalami penurunan secara cukup signifikan. Bahkan saat ini diperdagangkan dikiÂsaran USD 27-28 per barelnya.
Dengan harga itu, tentunya harga BBM saat ini masih berpeluang untuk diturunkan kembali. Walaupun konÂsekuensinya, impor berpeluang naik dan menyebabkan defisit neraca perdagangan.
“Harga keekonomian BBM saat ini terus mengalami penurunan. Saya menghitung harga BBM sebenarnya bisa diturunkan hingga di bawah Rp.5.000 per liter. Akan tetapi tiÂdak semua negara melakukan penuÂrunan yang sama seperti penurunan harga minyak mentah dunia. KondisÂinya memang cukup dilematis, naÂmun sebaiknya harga BBM harus diturunkan,â€ujar Pengamat EkonoÂmi, Gunawan Benjamin.
Alasannya menurut Gunawan, adalah jika BBM kembali diturunkÂan maka daya beli masyarakat akan meningkat. Di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi saat ini, daya beli bisa menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi nasional. Karena konsumsi akan kembali meÂningkat dan akan menjadi bumper agar pertumbuhan ekonomi tidak melambat di bawah level 5%.
“Walaupun ada sejumlah resiko jika harga BBM diturunkan mengiÂkuti harga keekonomiannya. Yakni potensi konsumsi yang naik yang berpeluang untuk mendongkrak imÂpor. Jika impor naik di tengah kondisi ekspor yang tidak kunjung memÂbaik. Maka konsekuensi selanjutnya adalah Defisit neraca bisa melebar yang bisa menghempaskan Rupiah,†tandasnya.
Harga Minyak dunia yang lagi murah saat ini, lanjut Gunawan, tentunya akan menyeret harga koÂmoditas lain mengalami keterpuruÂkan. Ekspor bisa anjlok, khususnya ekspor migas. Masalah perlambatan ekonomi global saat ini memang haÂrus disiasati dengan cermat. PemerÂintah tidak sepenuhnya mengalami kerugian dengan penurunan harga minyak mentah tersebut.
Akan tetapi pemerintah dituntut kreatif agar mampu memaksimalkan potensi yang ada untuk mendongÂkrak pertumbuhan ekonomi nasiÂonal. Saya pikir rumusan yang sejauh ini dibuat sudah jelas. Khususnya dalam paket kebijakan ekonomi. Nah eksekusinya yang menjadi tolak ukur keberhasilannya.
“Pemerintah harus memikirkan matang-matang untuk menurunkan harga BBM di dalam negeri. WalauÂpun tidak harus segera. Kebijakan menurunkan BBM ini menjadi amuÂnisi yang kuat untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi di tengah melambatnya pertumbuhan ekonoÂmi dunia,†tukasnya.
(okezone)