POLITIK adalah sebuah tugas sedih. Reinhold Niebuhr, seorang theolog Protestan asal Amerika Serikat, menyebut, politik adalah usaha menegakkan keadilan di dunia yang penuh dengan dosa.
Oleh: YUSKA APITYA AJI S.SOS,
Jurnalis dan Analis Sosial
Tapi, pikiran Reinhold ini sepatutnya berÂlaku bagi tiap inteleÂktual publik ataupun pekerja politik diÂmanapun berada. Pekerja politik disini, tak harus kader partai. Pekerja politik bisa pegiat media massa, aktivis atau pejuang asasi dalam konteks independen.
Politik disebut tugas bukan karena komando sebuah partai atau kekuasaan apapun. Tugas itu muncul, di dalam diri kita, kareÂna ada sebuah luka. Kita merasa harus melakukan sesuatu karena itu. Luka itu terjadi ketika pada suatu hari, dalam kehidupan soÂsial kita, ada liyan yang dianiaya, ada sesama yang berbeda dan seÂbab itu hendak dibinasakan. Luka itu ketidak-adilan. Disebut ada “luka†karena persoalan ketidak-adilan bukanlah sesuatu yang abstrak, tapi konkrit, menyangÂkut tubuh, melibatkan perasaan, membangkitkan terenyuh dan juga amarah.
Oleh karena itu pekerja politik dan intelektual publik berbeda dengan seorang pegawai kantor atau buruh perbankan. Tak digaji berdasarkan jam kerja atau mengÂharap upah lebih karena otaknya dipakai siang dan malam.
Pekerja politik juga sudah semestinya berani menentukan garis. Memihak pada yang siapa yang harus diperjuangkan, dan memberontak pada suatu bentuk ketidakadilan atau kelaliman. KeÂberpihakan inilah yang sedianya mengajarkan pekerja intelektual bahwa politik adalah sebuah tuÂgas, panggilan hati, bukan untuk sebuah ambisi.(*)