PRESIDEN Joko Widodo setuju dilakukan revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), jika revisi tersebut dimaksudkan untuk memperkuat lembaga anti rasuah. Jika revisi tersebut justru melemahkan KPK, maka Presiden menarik diri.
ALFIAN MUJANI
[email protected]
Menurut juru bicara Presiden, Johan Budi, revisi Undang-undang KPK terseÂbut merupakan inisiatif DPR. “Jika itu sebaliknya, misalnya lembaga KPK dibatasi umurnya hanya 12 tahun, kewenanÂgan penuntutannya diambil, maka kata presiden, itu bisa menarik diri, tidak melanjutkan pembahasan,†kata Johan Budi saat menjadi pemÂbicara rilis hasil survei bertajuk ‘Revisi UU KPK dan Pertaruhan Popularitas Jokowi’ di kantor IndiÂkator, Cikini, Jakarta Pusat, Senin (8/2/2016).
Johan menambahkan, poin-poin draft revisi itu juga belum jelas. Masyarakat banyak yang tidak mengetahui. Sebab ada yang menÂgatakan empat poin dan ada yang tiga belas poin.
“Nah, ketidakjelasan itu menuÂrut saya, Menkum HAM pasti lebih paham detailnya, dari perspektif survei tadi, saya mengomentari hasil survei. Nah kalau pembiÂcaraannya nanti mengarah ke meÂlemahkan KPK, sikap presiden itu (menarik diri),†ujarnya. “Apakah Istana sudah menerima draftnya?†tanya wartawan, “Kalau soal detail ini, anda tanya ke Menkum HAM. Saya kan nggak dilapoÂrin ini. Tanya ke Menkum HAM apakah sudah ada draft yang dimaksud itu, jangan nanya ke saya,†jawabnya.
Johan mengaku belum bertanya ke presiden apakah sudah menerima draft terseÂbut. Namum dalam hal ini, Menkum HAM dan Menko PolÂhukam telah ditunjuk untuk mewakili pemerintah.
“Iya, (Memkumham pasti lapor ke presiden), saya beÂlum tahu, belum nanya, janÂgan diplintir. Saya belum tahu apakah presiden sudah mendapat laporan,†tandasÂnya.
Menurut Johan Budi, PresÂiden Joko Widodo mempunÂyai sikap yang tegas terhadap revisi Undang-undang KPK. Revisi UU KPK harus bertuÂjuan untuk memperkuat KPK. “Presiden tegas menyatakan, kalaupun ada revisi UU KPK, harus memperkuat KPK,†kata Johan.
Johan menjelaskan, PresÂiden Jokowi sangat memegang komitmen untuk memperkuat KPK. Bila revisi UU KPK malah akan melemahkan lembaga anti korupsi itu, maka Jokowi akan menolak.
“Sampai hari ini pemahaÂman publik itu enggak utuh, presiden sih jelas. Jika revisi dimaksudkan untuk memperÂlemah maka pemerintah akan menarik diri (dari pembaÂhasan),†ujarnya.
“Ada empat poin yang ini juga belum jelas. Soal revisi penyadapan bisa diasosiasikan melemahkan. Penyadapan diÂkurangi wewenang akan memÂlemahkan. Penyadapan lebih prudence kan itu menguatkan. Sikap presiden terbaru, bahwa revisi dilakukan harus untuk memperkuat KPK,†jelas JoÂhan.
Menurut Johan, sejak awal menjabat sebagai presiden, Jokowi selalu berusaha untuk menguatkan KPK. Salah satuÂnya dengan terus menambah anggaran KPK tiap tahunnya.
“Langkah-langkah yang telah dilakukan Presiden Jokowi untuk memperkuat KPK antara lain yaitu angÂgaran KPK yang langsung ditÂambah menjadi Rp 1,2 triliiun per 2015, dibagi dalam empat tahun di luar anggaran yang diterima KPK. Bahkan ketika memilih menteri, presiden juga mendenger second opinÂion yang artinya mendengar suara KPK juga,†tegas Johan.
Lembaga Survei IndikaÂtor Politik Indonesia mengÂgelar survei tentang isu revisi Undang-undang Komisi PemÂberantasan Korupsi. Hasilnya, mayoritas masyarakat meniÂlai revisi UU KPK justru meÂlemahkan KPK. “54.4 persen responden berpendapat revisi UU KPK adalah upaya untuk melemahkan KPK, 34.1 persen untuk memperkuat KPK, SeÂdangkan 11.5 persen tidak tahu atau tidak menjawab,†kata peneliti Indikator Politik IndoÂnesia, Hendro.
Hendro menyampaikan ini saat merilis hasil survei bertaÂjuk ‘Revisi UU KPK dan PertaÂruhan Popularitas Jokowi’ di kantor Indikator, Cikini, JakarÂta Pusat, Senin (8/2/2016). HaÂdir sebagai pembicara dalam acara itu, Jubir Presiden Johan Budi, Mantan Pimpinan KPK Bambang Widjojanto, Anggota Komisi XI DPR RI Maruarar Sirait, dan pengamat politik Ikrar Nusa Bakti.
Survei digelar dengan jumÂlah sampel 1.550 responden yang telah punya hak memilih pada pemilu di seluruh IndoÂnesia. Survei dilakukan pada 18 hingga 29 Januari 2016 denÂgan margin error sebesar 2.5 persen pada tingkat kepercayÂaan 95 persen.
Sementara itu, 83.9 persen responden tidak setuju keÂwenangan penyadapan KPK dibatasi. Hanya 14.4 persen reÂsponden yang setuju kewenanÂgan itu dibatasi.
“Mayoritas warga, yang mengetahui tentang beberapa kewenangan KPK yang diusulÂkan direvisi, tidak setuju jika kewenangan KPK melakukan penyadapan dibatasi dan juga tidak setuju jika kewenangan penuntutan oleh KPK dihapusÂkan,†ujarnya.
Di samping itu, sekitar 79.6 persen warga cukup atau sanÂgat percaya kepada lembaga penegak hukum KPK. Dalam setahun terakhir, kepercayaan warga kepada KPK juga kurang lebih stabil, sekitar 79-81 persen.
Buka ke Publik
Masyarakat disebut belum seluruhnya paham tentang jumlah poin dan isi draft revisi Undang-undang KPK. Karena itu, DPR RI diminta untuk memÂbuka draft tersebut ke publik.
“Dibuka saja, dibuat saja dibuka pada publik item per item. Sekarang kan zaman terbuka, bahkan kalau ada hal yang baik, seharusnya ada ruÂang demokrasi,†kata Politisi PDI Perjuangan Maruarar SirÂait saat menjadi pembicara di rilis hasil survei bertajuk ‘ReÂvisi UU KPK dan Pertaruhan Popularitas Jokowi.’.
Menurut Maruarar, memÂbuka draft itu ke publik perlu dilakukan agar masyarakat paÂham bahwa revisi tidak bertuÂjuan untuk melemahkan KPK. “Saya tidak pernah dengar ada anggota DPR dari fraksi atau partai manapun yang mau meÂlemahkan KPK,†ujar pria yang akrap disapa Ara itu.
Johan Budi sebelumnya menyampaikan poin-poin draft revisi itu juga belum jelas. Masyakarat banyak yang tidak mengetahui. Sebab ada yang mengatakan empat poin dan ada yang tiga belas poin.