PADA perjalanan hidup kebangsaan, Indonesia pernah mengalami kondisi ‘Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelekan.’ Rakyat kelaparan. Ironisnya, dalam situasi demikian, ara petinggi bergerak sendiri-sendiri.
Oleh : Bang Sem Haesy
DIDUGA, Ratu Nilakendra meninggalkan PaÂkuan ke suatu tempat yang dirahasiakan. Namun kemudian, diduga, hijrah ke Kaduhejo (wilayah Pandeglang sekarang). Bahkan, diduga Ratu Nilakendra mangkat di sana dan dimakamkan di Gunung Pulosari.
Dugaan itu mengemuka, karena kepemimpinan Pajajaran, kemudian dilanjutkan oleh Suryakancana yang di dalam naskah babad disebut Pucuk Umum Pulosari, dengan pusat pemerintahan di Kaduhejo – Mengger. Legenda yang berkemÂbang secara lisan menyebutkan, telah dataÂng ke daerah yang berada di dalam wilayah Menes, itu seorang raja tanpa mahkota. Lantas memerintah sebagai raja pendeta.
Kenyataan ini menjadi penguat asumsi, bahwa Pakuan sudah berada dalam taklukan laskar Banten. Cerita lain mengisahkan, mahkota Raja Pajajaran dilarikan ke Sumedang dan dipersimbagkan kepada Pangeran Angkawijaya yang kemudian dikenal sebagai Geusan Ulun Sumedang.
Lantas, apa yang dilakukan oleh sisa petinggi Pakuan dalam kendali Kesultanan Banten? Yaitu, membangkitkan kembali spirit unÂtuk memelihara eksistensi Pakuan sebagai sentra kekuasaan yang berpengaruh (secara inward mauÂpun outward).
Kolaborasi itu terjadi dengan menghidupkan kembali spirit : Mun teu ngopek moal nyapek. Bila tidak punya spirit untuk meneliti potensi daya di balik realitas keÂhidupan, tak akan ada pertimbanÂgan masak untuk menggerakkan perubahan hidup lebih dinamis. Perubahan untuk menjayakan kembali Pakuan, meski Pajajaran sudah murba – selesai.
Konflik juga dapat diredam, karena Suryakencana memilih cara bijak, yang kini kita kenal dengan istilah bobot pangatun timbang taraju. Bersikap obyektif logis dan wajar dalam menyikapi hidup dan segala fenomenanya. Suryakencana sadar, keterbatasan daya, harus mampu nimu luang tina burang, menemukan makna di setiap permasalahan. Termasuk neangan luang tipapada urang, belajar serius dari pengalaman para pendahulunya.
Inilah yang menyebabkan Suryakencana memilih jalan sinerÂgi kepada Banten: bengkung ngariÂung bongok ngaroronyok. Antara lain melalui proses dialektika dan dialog pemikiran untuk mengatasi masalah secara kolektif.
Di jaman ketika kita – kini — diombang-ambingkan fenomena yang hanya nampak di permuÂkaan, dipermainkan oleh realitas brutal penguasaan asing terhadap berbagai hal yang kita punya, piliÂhan Suryakencana mungkin meÂnarik dikaji ulang. Pengorbanan besar, harus membawa manfaat yang besar juga bagi rakyat dan bangsa.
Untuk itu diperlukan sikap (meski lembut tetapi tegas) yang akan membentuk integritas diri berbasis etika : Ulah lunca linci lunÂcat mulang udar tina tali gadang, omat ulah lali tina purwadaksina. Integritas diri yang dilaksanakan konsisten sesuai dengan tujuan perjuangan hidup meraih kejayaan yang kongkret.